Suparta ARZ/ACEHKITA.COM

SUATU sore yang cerah aku tiba di kota ini. Tertata di kaki bukit yang menjulang, dengan halaman pelabuhan dan laut.

Ketika baru memasukinya, ingatanku kembali tempat asalku, Aceh.

“Kota ini persis Tapak Tuan,” itu kesan pertamaku.

Tapak Tuan, kota indah di Selatan ibukota Provinsi Aceh. Hanya beberapa deret bangunan dan pertokoan di kaki bukit yang dihimpit lautan.

Makin memasuki kota kecil ini, di dalamnya sejumlah bangunan tua peninggalan Kolonial masih terawat, termasuk adat dan budayanya. Hal yang tidak ada di Tapak Tuan.

Inilah Kota Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kecamatan yang memiliki 20 desa ini dibangun di kaki gunung yang menjulang, Ile Mandiri (Gunung Tunggal), sekitar 500 tahun silam, oleh Portugis.

Dari depan pelabuhan terlihat anggun lapisan bukit Pulau Andonara, bersebelahan dengan Pulau Solor. Selat yang sempit antara Larantuka dan Adonara membuat arus laut yang deras, di beberapa titik bahkan kecepatannya mencapai 4.0 meter/detik.

Perbedaan tinggi permukaan air di Laut Flores dan Laut Sawu, kerena pasang surut dan pasang naik, penyebab arus kencang ini terjadi.

Menoleh ke kanan, gunung berapi kembar Lawotobi terlihat angkuh. Ketika ‘batuk’, muntahan lava pijar tampak dari kota ini. Sedang jauh ke kiri ada Laut Banda.

SEMPITAN GONZALES. Terletak di selat Larantuka, antara pulau Flores dan pulau Adonara (NTT). Inilah lokasi yang terkenal dengan arus laut yang energi kinetiknya sanggup menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. | FOTO: Ekspedisi Indonesia Biru
SEMPITAN GONZALES. Terletak di selat Larantuka, antara pulau Flores dan pulau Adonara (NTT). Inilah lokasi yang terkenal dengan arus laut yang energi kinetiknya sanggup menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik. | FOTO: Ekspedisi Indonesia Biru

Di kupingku nama kota ini asing. Larantu(la)ka yang pernah kubaca, hanya sosok misterius yang ada di novel trilogi Laskar Pelangi besutan Andrea Hirata.

700 tahun silam, Larantuka merupakan sebuah kerajaan, yang dipimpin suku asli Flores Timur, atau dikenal Suku Ile.

Konon pada abad 14, Larantuka takluk pada Majapahit. Sejak itu suku Jawa, Cina, Bugis, Makasar dan Ambon mulai berdatangan dan menetap di Larantuka.

Sekitar tahun 1600 pedagang Portugis mulai merambah ke pulau ini, kemudian kota pelabuhan ini menjadi pusat perdagangan terbesar mereka di bagian Timur Indonesia. Larantuka pernah menjadi stasiun internal Portugis untuk perdagangan kayu cendana dari Timor. Larantuka juga menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch East India Company (VOC).

Ketika pada 1641 Portugis dikalahkan oleh Belanda di di Malaka, tentara Portugis mengungsi ke Larantuka. Begitu pula ketika kekalahan mereka di Makassar pada 1660. Singkatnya, ketika di Selat Malaka dan Nusantara Portugis kalah perang, Larantuka menjadi banteng terakhir, sebelum mereka benar-benar meninggalkan Nusantara.

Namun sampai sekarang selain monumen, peningalan Portugis masih bisa didapati di kota ini, termasuk keturunannya.

Menjadi catatan sejarah, bangsa Portugis melakukan kawin silang dengan pribumi di manapun mereka berlabuh.

“Di kota ini pasti banyak gadis bermata biru.”.

Pikiran kembali menarikku ke Lamno, Aceh. Sebuah Kecamatan di Aceh Jaya, yang pernah disapu tsunami pada 2004 silam.

Di sana terdapat gadis-gadis cantik, berkulit bersih, hidung mancung, dan bermata biru. Mereka adalah keturunan Portugis. Pada masa Kerajaan Lamno (Meureuhom Daya), Portugis pernah datang dan berdagang di sana.

Tentang ‘si mata biru’ dari Lamno, aku tidak pernah melihat langsung mereka dari kampungnya. Namun kecantikan mereka menjadi cerita masa remaja kami, yang punya cita-cita suatu saat ingin menaklukkan hatinya. Kecantikan mereka juga digambarkan dalam syair-syair lagu daerah.

Hanya sepasang bocah ‘mata biru’ yang gembira bermain hujan-hujanan pernah kulihat, saat menunggu rakit penyebrangan ketika melintas Lamno di masa rekonstruksi pascatsunami. Selain sedikit, populasi mereka telah terenggut badai dasyat itu.

Ketika menginjak Flores, seorang teman di Bali (melalui sosial media) memprediksi dan mendoakan aku berjodoh di Larantuka. Doanya tak ku amini, karena aku tak mengenal penduduk dan kota ini.

Ketika tahu di kota ini banyak keturunan Portugis, rasanya menyesal telah mengabaikan doa tulus seorang kawan.

Semoga ada Mestizo yang membuka hatinya untukku berlabuh, sebelum esok lusa aku meninggalkan kota ini. []

SUPARTA ARZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.