Tuesday, March 19, 2024
spot_img

Libur 2 Hari, Sekolah 8 Jam (2)

SISTEM pendidikan makin jauh menyeret anak-anak dalam bias kepentingan orang dewasa (pekerja industri) lewat kebijakan sekolah delapan jam ala Menteri Muhadjir Effendy.(baca: Libur 2 Hari, Sekolah 8 Jam (1))

Aturan ini berbarengan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah 19/2017 tentang Guru yang menyebut bahwa setiap guru harus mengajar (tatap muka) minimal 24 jam dan maksimal 40 jam seminggu seperti jam kerja PNS pada umumnya, termasuk libur hari Sabtu. Dengan sekolah yang hanya sampai jam satu siang, dan konsep tatap muka dibatasi hanya jam pelajaran di kelas, target itu sulit dicapai seorang guru, dan memengaruhi tunjangannya.

Maka kita melihat lagi-lagi konsep pendidikan anak-anak harus beradaptasi dengan sistem administrasi dan birokrasi orang dewasa, alih-alih sebaliknya. Dari mana datangnya angka 24 jam pelajaran sepekan untuk setiap guru? Mengapa tidak 12, 37, atau 23,5 jam?

Tentu jawabannya kembali pada beragam menu mata pelajaran dan target yang ditetapkan kurikulum pemerintah sendiri. Maka di sinilah sumber masalahnya.

Jika dalam sistem baru ini ekstrakurikuler atau studi lapangan (field trip) dihitung sebagai bagian dari jam pelajaran seperti tatap muka di kelas, mengapa itu tidak dilakukan dalam kerangka 5-6 jam pelajaran sehari? Mengapa harus menambah menjadi delapan jam sekolah?

Sudah jelas pemerintah tak ingin mengurangi target kurikulum yang tetap ingin dijejalkan kepada anak-anak, mulai dari butir Pancasila, rumus Phytagoras, hapalan doa, nama latin tumbuhan, sampai pelajaran bahasa asing. Menu seperti ini berlaku nasional dari Sabang sampai Merauke, tak peduli sekolah itu ada di pedalaman Papua atau di pesisir Mentawai. 

Karena obsesinya memang menstandarkan nilai lewat ujian nasional. (Silakan baca catatan “REVOLUSI TONTONAN”). Sebab hanya itulah satu-satunya ukuran yang bisa diterima pasar kerja industri lewat ijazah dan IPK.

Tak peduli apakah buku-buku pelajaran biologi di Papua menyebut nama latin sagu. Toh, tak ada soal ujian nasional yang bertanya “Sebutkan kelebihan sagu dibanding beras bagi kesehatan manusia”. Atau jika dianggap terlalu sulit, “Sebutkan lima jenis makanan yang berbahan dasar sagu”.

Sebab kurikulum pendidikan kita memang tidak didesain untuk mendekatkan anak dengan potensi maksimalnya beradaptasi dengan konteks sosial dan lingkungan, melainkan menyiapkannya menjadi pelayan industri dan birokrasi.

Sistem sekolah kita membuat anak-anak di Pulau Galang tak ingin menjadi nelayan seperti orangtuanya, dan seorang guru di Rembang sibuk mendukung pendirian pabrik semen karena “saya tidak ingin murid-murid saya hanya menjadi petani”.

Maka ketika Menteri Muhadjir menyebut kebijakan sekolah delapan jam ini adalah bagian dari konsep “Penguatan Pendidikan Karakter” dari Presiden Jokowi, kita patut menggeledah, karakter apa yang dimaksud oleh presiden dan menterinya ini.

Karakter anak-anak di pedalaman Madobag dan Kahaungu Eti atau anak-anak di Menteng dan Pondok Indah?

Apalagi konsep sekolah delapan jam ini juga diklaim ingin mengembalikan hakikat guru sebagai pendidik (Kompas, 14 Juni 2017). Dengan sekolah delapan jam, guru dituntut terlibat dalam pendidikan ekstrakurikuler bahkan di luar sekolah dan tidak hanya lewat tatap muka di kelas. Sampai di sini idenya sudah benar.

Namun apakah negara sudah menyiapkan tenaga guru dengan kecakapan seperti itu?

Apakah sekolah negeri di Karangasem memiliki guru yang mengerti tenun geringsing agar anak-anak Tenganan dapat mempertahankan pengetahuan ini seratus tahun lagi? 

Atau benarkah negara sudah memprogram agar guru-guru memahami teknis memancing “huhate yang ramah lingkungan, sehingga “hakikat guru sebagai pendidik” dapat optimal dengan sekolah delapan jam bagi anak-anak nelayan di Tomalao?

Jika jawabannya tidak, maka ungkapan seperti “penguatan pendidikan karakter” atau “mengembalikan hakikat guru” adalah narasi-narasi besar yang tak ada kaitannya dengan apakah sekolah cukup lima atau jadi delapan jam. Karena bahkan negara dan pejabatnya tak cukup cakap mendefinisikan “karakter” dan “hakikat”.

Di Klojen, kami menyebutnya, “kakean cangkem”. Di Miliran disebut “asal mangap”. Tak ada yang butuh terjemahan atau keterangan lokasinya, karena ini semua tak akan ada di soal ujian nasional. [tamat]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU