Friday, March 29, 2024
spot_img

‘Main Pesawat-Pesawatan Yok’

Bagi Anda yang sedang membaca tulisan ini pasti pernah mengalami masa kanak-kanak. Saya jamin 99% masa kanak-kanak dulu itu adalah masa-masa yang paling berbahagia. Pengalaman masa kecil adalah pengalaman yang sulit dilupakan dan patut dicemburui. Beberapa orang dewasa sering beranggapan pola pikir dan tingkah laku anak-anak tak masuk di akal atau tidak dewasa. Tapi kali ini saya mengajak Anda untuk belajar dan meniru “isi kepala” dan tindak-tanduk anak-anak.

Sudah lazim saya membawa anak-anak menikmati sarapan pagi atau ngopi di warkop Cek Pan, dan itu biasanya terjadi di hari Minggu. Ngopi hanya istilah yang sudah jamak dipakai oleh pelanggan warkop, karena biasanya anak-anak jarang minum kopi, mereka hanya pesan teh atau jus. Di Aceh jarang kita dengar ada ajakan, “Ngeteh, yuuk.” Inkonsistensi ini sudah berlangsung sejak lama dan tidak perlu kita bahas kali ini.

Di warkop, anak-anak saya sering berjumpa dan bermain dengan anak si pemilik warung, Cek Pan. Kayaknya hampir semua yang dijumpai oleh mereka bisa dijadikan mainan, namanya juga anak-anak. Mereka butuh waktu kurang dari lima menit menikmati pesanannya, lalu memisahkan diri dari saya dengan satu tujuan, yaitu bermain.

Beberapa permainan langganan seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembuyian, hingga main jual-jualan, dan aktivitas lain yang berakhiran “an.”

Tidak sampai setengah jam, saya melihat putra Cek Pan yang berusia lima tahun berlari menuju ayahnya sambil menangis dan melapor. Entah apa yang dia laporkan. Tak lama kemudian, putra saya yang juga sebaya dengannya, berjalan ke arah saya sambil terdiam, lalu duduk di kursi dan menyeruput teh dingin, dan berbisik.

“Ayah, kita pulang yok.

Tumben. Biasanya jika mereka sedang asik bermain, justru saya yang kewalahan mengajaknya pulang. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Melihat anak Cek Pan yang mulai reda tangisnya, saya tanyakan apa yang telah terjadi.

Putra saya menarik napas dalam, ia mulai bercerita.

“Tadi kami lari, maen kejar-kejaran. Trus, abang (begitu ia menyebut dirinya), gak sengaja senggol kakinya. Ya, jatuh. Nangis. Tapi betul, Yah, itu gak sengaja.”

Saya melihat anak Cek Pan yang mulai reda tangisnya setelah dibelai sang bapak. Saya minta putra saya menghampiri mereka yang berjarak sekitar enam meter, untuk meminta maaf. Awalnya putra saya bersikeras tidak mau minta maaf, tapi saya mempertegas agar ia menyusul temannya itu. Ia akhirnya patuh dan menuju ke arah sahabat yang masih dalam keadaan setengah menangis. Di luar dugaan, putra Cek Pan justru menghindar, lalu setengah berlari menjauhi putra saya. Ia kembali mendekati saya.

“Dia gak mau kasih maaf, Ayah.”

Saya dan Cek Pan berpandang-pandangan dari jarak enam meter itu. Kami sama-sama tersenyum. Dia memberikan bahasa isyarat yang dapat saya simpulkan maknanya, maklum aja, namanya juga anak-anak.

Dua anak kecil yang sedang bermusuhan lantas tidak menjadikan kami sebagai orang dewasa ikut menabuh genderang perang. Sebagai orang dewasa dan berfikiran dewasa patut menganggap ini adalah hal yang biasa. Berhubung putra saya mulai tak nyaman, maka saya putuskan untuk segera pulang setelah membayar makanan dan minuman.

Sore hari, kami sekeluarga sedang menikmati tayangan televisi. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan koor salam dari seorang anak dan wanita.

“Assalamu’alaikum.”

 Saya menjawab salam sambil membuka pintu. Di hadapan saya telah berdiri Agam, putra Cek Pan, yang didampingi ibunya. Terlihat ia membawa sebuah mainan sedangkan istri Cek Pan membawa wadah berbahan plastik yang saya duga berisi makanan buatannya. Persahabatan saya dengan Cek Pan juga menular kepada istri kami. Sudah lazim juga istrinya berkunjung ke rumah kami sambil membawa sesuatu, pun begitu halnya jika istri saya berkunjung ke rumahnya. Si Agam, lalu bertanya.

“Om, Abang ada Om?”

“Oh, ada Nak.”

Saya mempersilakan mereka masuk. Putra saya mendengar suara yang familiar, langsung lari menuju pintu menyambut temannya. Mereka bersua, putra Cek Pan memperlihatkan mainan barunya. Terdengar tawa dari kedua anak-anak lucu itu.

“Bang, main pesawat-pesawatan, yok.

Saya tersenyum melihat perilaku dua anak ini. Hanya selang waktu beberapa jam mereka sudah melupakan permusuhan yang sebelumnya terjadi. Mereka kembali tertawa ceria seakan tidak terjadi apa-apa di warkop Cek Pan sebelumnya. Kalau boleh saya bilang, mereka adalah makhluk yang paling cepat move on. Begitulah dunia anak yang penuh keasyikan.

Beberapa hal dalam dunia anak ternyata berbanding lurus dengan dunia orang dewasa. Contoh sederhana dalam dunia politik. Dalam dunia ini ada adagium bahwa tidak ada musuh atau teman abadi, yang abadi hanyalah kepentingan.

Para politisi yang saling berseteru, bermusuhan, hingga yang sempat berkelahi sekalipun disaat ada satu kepentingan yang dirasa sama maka mereka akan bersatu. Tak peduli seberapa perih luka yang ditorehkan. Kepentingan beragam bentuknya, dapat berupa hasrat untuk menguasai atau memiliki sesuatu. Biasanya pihak-pihak yang bermusuhan akan tunduk pada kepentingan ekonomi, bisnis aka fulus.

Aceh dengan segala kekayaan alamnya, hutan, laut hingga bawah tanah belum lagi ditambah alokasi dana baik dalam bentuk anggaran tahunan dan dana-dana lainnya adalah titik temu bersatunya berbagai golongan bahkan yang saling berseberangan sekalipun, dalam satu kepentingan. Kepentingan untuk mengelola (bahasa halus dari menguasai) kekayaan Aceh membuat semua orang harus patuh pada satu hasrat. Aceh adalah gula yang selalu didatangi semut dari berbagai penjuru.

Semangat, lebih tepat disebut nafsu, mengelola sumber-sumber ekonomi dan uang di Aceh mampu mempertemukan dan mempersatukan siapa saja, kawan hingga lawan. Terlalu rugi membiarkan uang negara dalam wujud APBA, APBK, hingga dana otsus hanya digarap oleh satu kelompok saja. Argumen yang dibangun adalah jargon-jargon standar dan usang, seperti demi kepentingan rakyat dan demi kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya adalah rakyat yang mana?

Saya akhirnya sepakat pada kesimpulan bahwa dunia anak-anak dengan dunia politik orang dewasa ternyata banyak persamaannya. Bagi anak-anak, penting untuk memiliki suatu mainan yang bisa dimainkan bersama yang kemudian mempersatukan. Sementara, dunia orang dewasa “mainannya” adalah adanya kesamaan kepentingan. Lantas, bagaimana dengan idealisme? Jangan tanya masalah itu, idealisme sementara disimpan dan dikunci jika perlu dilempar dari ketinggian seribu kaki.[]

 

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU