Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM

SEPASANG kaki menginjak pelepah pinang beralaskan daun pisang dalam sebuah talam. Kaki yang dihiasi inai itu milik seorang gadis pengantin atau dara baro. Dipangku ibunya, ia duduk di atas kursi yang telah dihias dengan kain warna kuning, hijau, dan merah. Kursi itu bertahta payung kuning beruntai manik sebagai lambang memuliakan.

Di depan gadis itu terdapat tujuh mundam, guci berbahan tembaga yang dilapisi kain tujuh rupa. Di dalam mundam itu tersedia air dengan beraneka ragam bunga, warna-warni. Ada seulanga, jeuma, mawar, melati, kupula, culan, dan daun pandan.

Hari itu, ratu sehari akan memulai prosesi manoe pucok, mandi dengan air tujuh rupa. Ini merupakan tradisi yang dijalani pengantin perempuan sebelum duduk di pelaminan. Tradisi manoe pucok dimulai dengan peusijuek yang dilakukan oleh keluarga terdekat. Tak lengkap jika memandikan mempelai wanita tanpa diselingi Tari Pho, tarian yang dipersembahkan penari wanita sambil menyanyikan Cahi tentang kisah si gadis sejak kecil hingga dewasa.

Memandikan mempelai pertama sekali dilakukan oleh perempuan yang dituakan. Seuntai besar boh jeruju yang berasal dari daun kelapa muda yang telah dihiasi diarahkan ke hadapan dara baro. Saat air mengguyur sekujur tubuh, dara baro harus menyemprot air pada boh jeruju sebanyak tiga kali dengan mulutnya. Sementara tetua wanita melepaskan dan menghentakkan ikatan jeruju tadi pada waktu bersamaan.

Tiba saatnya para wanita dan sanak saudara berselawat sambil maju satu persatu mengangkat gundam kuningan berisi air bunga tujuh rupa. Lalu semua orang bernyanyi lagu troen tajak manoe (turun mandi) terus menyiram hingga guci kosong. Si gadis yang masih dipangku ibunda hingga semua sanak saudara dari kaum wanita mendapat giliran menyiram.

Selesai mandi gadis ini dibalut dengan kain seunalen. Tradisi lama menyediakan selusin kain saat upacara manoe pucoek. Lalu ayah dara baro menggendong anak gadisnya dari tempat pemandian menuju ke dalam rumah.

Manoe pucok merupakan tradisi ketiga yang dilakukan setelah malam berinai dan khatam al-Quran dalam adat perkawinan seorang calon mempelai perempuan di Aceh Barat. Kegiatan memandikan ini diyakini untuk menyucikan si gadis sebelum melepas keperawanan.

Berbagai simbol keperawanan dalam acara manoe pucok seperti pelepah pinang yang belum pecah diletakkan di dalam talam, untaian boh jeruju dari pucuk daun kelapa dihiasi burung murai beserta umpannya. Pucuk daun kelapa ini lah yang disebut pucok.

Adat ini mulai jarang dilakukan secara lengkap. Tidak semua orang tua pengantin setuju dengan adat Tari Pho yang membangkitkan kesedihan dengan syair Cahi yang memilukan. Namun kebanyakan penari yang terdiri dari delapan hingga 12 perempuan kini digantikan dengan penari anak-anak.

“Supaya tidak terlalu sedih,” kata Cut Yan Faridah, 60 tahun, tokoh adat di Aceh Barat. “Juga sudah tidak sesuai dengan syariat Islam saat ini jika wanita dewasa menari.”

Cut Yan menyebutkan, tradisi manoe pucok sudah semakin hilang. Tak banyak lagi yang menerapkan tradisi ini saat mengawinkan anak gadisnya. “Gundam juga sangat sulit kita dapatkan sekarang. Harus pinjam sana-sini ke tetangga dna jarang dapat tujuh buah,” sebutnya. “Biasanya kami pakai tiga atau lima gundam.”

Padahal, kata Cut Yan, manoe pucok merupakan tradisi untuk melepaskan kepergian anak gadis untuk membina bahtera rumah tangga dengan lelaki pilihannya.

Memandikan dara baro juga memiliki filosofi untuk membersihkan si gadis dari gangguan setan sebelum ia dilepaskan dari keluarga kepada suaminya. Apalagi ada kegiatan ayah menggendong anak gadisnya untuk terakhir kali. “Jarang sekali ada ayah yang mau menggendong anak gadisnya saat ini,” sebut Cut Yan. []

YANTI OKTIVA (@nyak_ti)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.