Saturday, April 27, 2024
spot_img

Melejit Lewat Kredit

DARI bilah-bilah papan, angin menyusup ke tungku perapian. Di atasnya, drum bermuatan 220 kilogram biji kopi. Kayu-kayu bakar menyala bak semangat Mizwar. Demi tungku kopi itu, pria kelahiran 23 tahun silam ini rela meninggalkan kuliahnya di tengah jalan.

Sepintas, tak ada yang istimewa dari gubuk berukuran 4 x 6 meter yang dikepung pohon kelapa itu. Namun ’pabrik’ kopi itulah mesin uang keluarga Abdul Wahab, warga Ruyung, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Bahkan menjadi mata pencarian utama Afrizal, tetangganya.

Tahun lalu, Afrizal hanya kondektur labi-labi (angkot), jurusan Banda Aceh-Krueng Raya. Kala itu, sakunya jarang berisi. Sejak dilumat tsunami, penduduk kecamatan itu memang susut. Belum lagi, fungsi pelabuhan penyeberangan Krueng Raya-Sabang, beralih ke Ulee Lheue di ujung barat Banda Aceh, jelas membuat labi-labi sepi penumpang. Keluarga Abdul prihatin dan merekrutnya bekerja di gubuk kopi.

Abdul sendiri sudah memulai mengolah kopi jauh sebelum gelombang raya. Tapi usahanya punah setelah bencana lima tahun lampau itu. Untungnya, ia karib dengan beberapa staf Forum Bangun Aceh (FBA), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan livelihood.

Kebetulan sejak empat tahun lalu, FBA mengembangan microfinance simpan pinjam. Singkat cerita, pria yang akrab dipanggil Abi itu mendapat suntikkan kredit Rp15 juta. Bermodal asupan itulah, ia menghidupi kembali penggilingan kopi yang mulai aktif sejak enam bulan usai tsunami melanda. ”Uang itu juga dipakai untuk membeli biji kopi,” jelas Mizwar.

Bisnisnya melejit. Nyaris saban hari, gubuk kopi yang kemudian dikelola Mizwar, putra kelima Abdul, memproduksi 180 kilogram kopi kasar. ”Kalau pendapatan bersih sekitar Rp6 juta per bulan.”

Jumlah itu tak seberapa dibandingkan pendapatannya tahun-tahun awal usai bencana. Saat itu, ramai ekspatriat dan pekerja non-Aceh yang kecanduan kopi. Daftar pesanan panjang, ”Lima ratus kilogram laku seminggu, sekarang 370 kilogram,” jelas Mizwar.

Mesin penggiling juga semakin canggih. Kini gubuk kopi bermerek ‘Abi Wahid’ menggunakan Dongfang dengan kekuatan 16 pk. Sebelum tsunami hanya mengandalkan Yanmar berkuatan 8 pk. Mesin molen milik Abdul, menghasikan 150 kilogram bubuk kopi dalam 135 menit.

Walau diolah dari dalam gubuk, kopi produksi Abi Wahid tak hanya laris di desa sekitar. Pasarnya, sudah menembus ibu kota provinsi. Pelanggannya, tak hanya warung kopi tapi juga toko kelontong.

Mizwar berharap kelak usaha bubuk kopinya berbungkus alumunium foil. Selama ini, kedua adiknya yang bekerja di bagian packing, hanya memakai plastik. Dampaknya, sekitar 40 hari kemudian kopi mulai lembab. “Sekarang belum tahu di mana cetak alumunium foil, “kalau ada itu kopi bisa masuk supermarket,” terangnya tersenyum.

Fakhrurazi, Program Manajer Microfinance FBA, mengaku aset program yang diasuhnya sekarang mencapai Rp4 milyar. Padahal modal awal hanya dari satu becak.

Kisah dimulai empat tahun lalu. Sarwan, salah seorang korban tsunami, memohon bantuan becak. ”Ada yang kasih satu juta Rupiah, dua ratus ribu, dan lima ratus ribu,” kenangnya.

Tiga bulan selanjutnya, warga Lampulo itu kembali ke FBA. ”Dia bawa uang lima ratus ribu Rupiah. Tolong berikan pada orang lain, dia bilang,” imbuh Fakhrurazi. ”Peristiwa itulah pemicunya.” []

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU