Saturday, April 20, 2024
spot_img

Menggugat Konflik, Menabur Damai

ACEHKITA.COM, sebuah media alternatif yang dirancang untuk mengabarkan konflik Aceh dari bawah, telah memberikan bayangan kepada dunia, tentang kekejaman perang.

Darurat militer di Aceh yang ditetapkan pada 19 Mei 2003, memaksa media dan pekerja pers tak punya pilihan, selain tunduk kepada pemerintah. Kebebasan pers di Aceh nihil. Pemerintah melalui Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Mayor Jenderal Endang Suwarya kala itu membatasi gerak wartawan dengan Maklumat No. 5 Tahun 2003. Bunyinya, melarang wartawan dan media di Aceh untuk menjadikan GAM sebagai narasumber berita. Jika ini dilakukan saat itu, maka bisa saja PDMD mempunyai dalih untuk mengatakan wartawan dan media sebagai pihak yang membesarkan GAM.

Membatasi ruang gerak, juga dilakukan dengan mengidentifikasi wartawan melalui kartu pers Merah Putih, keluaran media center PDMD. Wartawan yang meliput di Aceh pun kewalahan, media memakai sumber berita dari satu pintu. Pers ikut memasuki masa darurat.

Kondisi inilah yang melahirkan acehkita, seperti pengakuan Dandhy Dwi Laksono, jurnalis yang kemudian ikut membidani acehkita. Dia tak ingat lagi kapan persisnya berangkat ke Aceh untuk mengumpulkan kekuatan, merekrut jurnalis dari berbagai wilayah di Aceh. Perkiraannya awal Juli 2003, karena pada 19 Juli 2003, media itu lahir ditandai dengan tayangnya berita-berita dari Aceh.

“Saya naik pesawat Hercules TNI Angkatan Udara (AU) dari Halim, karena justru bersama merekalah titik paling aman masuk ke Aceh,” kata Dandhy.

Dandhy tidak merasa takut untuk terjun ke Aceh, apalagi tujuannya menggalang kekuatan wartawan Aceh untuk media advokasi. “Saya tidak merasa terancam karena I did no wrong, atau tepatnya, kami belum melakukan apapun.”

Pintu masuk Dandhy bertemu dengan wartawan lokal Aceh adalah Murizal Hamzah, seorang wartawan senior di Aceh. Murizal-lah kemudian yang mengumpulkan beberapa kawan lainnya dari berbagai daerah. Mereka memilih Hotel Jeumpa, yang dikelola Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), di Lampineung, Banda Aceh.

Bukan tanpa alasan memilih hotel itu, pertimbangannya hotel itu tak ramai dan jarang ada pejabat atau aparat yang menginap di sana. Aktivitas politik saat itu tertuju pada hotel Kuala Tripa dan Hotel Sultan.

Dandhy mengenalkan diri kepada para awak yang dikumpulkan. Ini menjadi bagian penting agar tak dikira intel oleh mereka yang di Aceh, maklum sedang perang. Tak ada kesulitan dalam perkenalan awal, karena Murizal telah lebih dulu meyakinkan rekannya.

Di forum itu, Dandhy menyampaikan tujuan adanya acehkita yaitu memberikan informasi alternatif tentang jalannya perang sehari-hari dan dampaknya pada warga sipil. Dampak terhadap keluarga, tetangga, atau kerabat para wartawan sendiri. Tampaknya, kata Dandhy, ini yang membuat banyak jurnalis tertarik. “Kami tidak meminta mereka meliput perang atau kontak senjata, melainkan meliput dampak perang.”

Dandhy membayangkan tanpa media alternatif di Aceh, perang hanya diglorifikasi oleh media diawal-awal selanjutnya ditinggalkan. Padahal saat itu, tragedi kemanusiaan sesungguhnya terjadi: korban jatuh satu persatu setiap hari, tanpa ada yang mempertanyakan dan mempersoalkan lagi. Itulah alasan kenapa acekita harus ada?

Usai pertemuan, mantan produser Liputan 6 SCTV itu kembali ke Jakarta mengelola acehkita dari sana. Tepat 19 Juli 2003, media alternatif itu resmi berdiri dalam sebuah acara peluncuran di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Berita-berita tayang melalui alamat www.acehkita.com.

Risman A Rachman, pendiri acehkita lainnya menilai media acehkita dirancang karena merasa perang panjang telah membuat pers terganggu. Jika terus terjadi, media massa akan segera meninggalkan Aceh tanpa kontrol sebagaimana halnya media meninggalkan Timor Leste. “Media hanya akan meliput perang di masa-masa awal: merayakan kekerasan untuk sensasi publikasi, lalu meninggalkannya setelah mereka anggap penonton bosan,” ungkapnya.

Dalam catatan Risman, nama-nama pendirinya disebutkan adalah Risman A Rachman (mantan Direktur Koalisi NGO HAM Aceh), Dandhy Dwi Laksono (mantan Producer Liputan 6 SCTV), Smita Notosusanto (Direktur Eksekutif Cetro) dan J Kamal Farza (Koordinator SAMAK). Keempat orang ini berbagi tugas; Dandhy dan Kamal mengurus soal redaksi, sedangkan Risman dan Smita mengurus penggalangan dana.

Jurnalisme yang dipraktikkan Acehkita adalah jurnalisme damai. Bagi pelaku konflik junalisme ini merupakan musuh terbesar mereka. Vulgar dalam menyampaikan informasi lewat tulisan dan foto itulah yang menyebabkan acehkita menakutkan. Namun tetap membuat acehkita melonjak di mata pembaca dan selalu menjadi rujukan masa konflik. []

ADI WARSIDI | DESI BADRINA | TEUKU ARDIANSYAH, dari buku Inisiatif Masyarakat Sipil Aceh “Berbagi untuk Perubahan”, Katahati Institute.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU