Suparta Arz | Ekspedisi Indonesia Biru

DARI balik pengunungan, matahari mulai menampakkan rupa. Hawa sejuk menusuk tulang. Tapi sejumlah warga mulai lalu-lalang, mendatangi sebuah rumah yang ukurannya lebih besar dari rata-rata rumah di kampung itu.

Mereka menjinjing, menggendong, dan memanggul keranjang. Isinya mulai beras, ayam, kelapa, labu, jagung, dan beragam hasil kebun lainnya.

Hari itu, Ahad (11/1/2015), penduduk Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, menggelar hajatan besar yang dinamai ‘Haraka Huma’. Hajatan petanda berakhirnya masa turun sawah untuk menanam.

Hajatan yang berlangsung sampai dinihari itu, dipusatkan di ‘Imah Gede’. Rumah tempat tinggal pemimpin adat mereka, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.

Sejak pagi, secara gotong-royong, beragam sajian khas disiapkan, seperti bubur ketan hitam, bubur jagung gula aren, dan lainnya.

Lebih seratus ayam disembelih. Puluhan kilogram ikan emas dipanen. Di atas sebuah panggung di sisi dapur, kesenian tradisional dipentaskan untuk menghibur. Acara masak-memasak baru kelar menjelang senja.

Ketika hari mulai gelap, hidangan mulai disajikan untuk dimakan bersama, dilanjutkan pementasan wayang golek.

Itulah satu di antara 30 upacara adat di Kesepuhan Ciptagelar dalam setahun. Sebuah permukiman yang ‘terisolasi’ 27 km dari ibukota Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Mereka tinggal di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut, di sisi barat Gunung Halimun. Lokasinya berada di dalam kawasan yang oleh negara disebut ‘Taman Nasional Halimun Salak.

Masyarakat adat ini hidup ‘nomaden’ (berpindah-pindah) sejak 640 tahun lalu, berdasarkan ‘bisikan leluhur’. Ciptagelar adalah kampung baru bagi mereka sejak 2001 silam. Sebelumnya mereka menetap di Ciptarasa, sebuah kampung yang terletak 9 km dari kampung yang kini dihuni, dengan ketinggian sekitar 750 meter dari permukaan laut.

Pemimpinnya dipanggil Abah. Diwariskan secara turun-menurun kepada anak lelaki pertama. Kini giliran Abah Ugi, menggantikan ayahnya, Abah Anom, yang mangkat 2007 silam.

Walau usianya baru 29 tahun, Abah Ugi sangat dihormati oleh sekitar 29.000 jiwa warganya. Semua titah dan nasihatnya dilaksanakan.

Menanam padi setahun sekali, merupakan kebijakan adat untuk menghormati alam.

Logikanya agar sawah atau ladang memiliki waktu untuk memulihkan kesuburan atau menyegarkan kembali unsur hara tanah (top soil).

“Namun, kami bisa menyimpan padi minimal untuk kebutuhan tiga tahun mendatang,” jelas Yoyo Yogasmana warga Ciptagelar.

Yoyo baru belakangan menetap di sini. Sebelumnya, seniman internasional ini telah melanglang buana ke Eropa bahkan pernah tinggal di Kanada.

Sama seperti warga lainnya, Yoyo Yogasmana percaya bahwa peradaban di dunia dimulai dari Ciptagelar. Pada suatu saat akan kembali ke sini.

Menurut Yoyo, dalam bercocok tanam, warga juga tidak dibenarkan menggunakan obat-obatan kimia. Benih padi yang ditanam pun warisan leluhur. Ada sekitar 120 jenis bibit padi yang di wariskan.

“Di Ciptagelar, padi tidak dibenarkan untuk diperjualbelikan, semua hasil panen akan disimpan di leuit (lumbung),” ungkapnya.

Meski menjunjung adat dan tinggal di pegunungan, Abah Ugi tak menutup diri dari kemajuan zaman. Selain pencinta musik dan jago gitar, dia juga hobi mekanik.
Untuk kebutuhan energi warganya, Abah Ugi membangun pembangkit listrik mikro hidro, memanfaatkan air sungai yang melimpah dari penggunungan Halimun.

“Hampir 20 persen dari anak-anak (warga) saya dari sekitar 6.000 KK telah mendapat pasokan listrik,” kata Abah Ugi, yang juga pernah berkuliah di Bandung, namun tidak sampai tamat karena harus menggantikan posisi ayahnya yang mangkat.

“Mudah-mudahan beberapa waktu ke depan semua warga saya sudah dapat penerangan listrik,” lanjutnya, yang belakangan mulai menggunakan energi cahaya matahari.

Untuk hiburan dan informasi, Abah Ugi membangun telivisi komunitas yang dinamai CIGA-TV (Ciptagelar-TV).

“Dalam waktu dekat CIGA-TV akan saya buat dalam bentuk ciga.tv agar anak-anak saya di luar dapat mengikuti perkembangan di Ciptagelar,” jelas Ugi.

Selain TV, Ciptagelar juga memiliki radio kumunitas. Bahkan atas permintaannya, provider telekomunikasi menyediakan akses HSDPA untuk Kasepuhan Ciptagelar. Barang-barang elektronik juga tidak asing di tempat ini.

Walau tidak asing dengan teknologi, Abah Ugi dan warganya masih mempertahankan cara bertani secara tradisional. Tidak boleh menggarap dengan traktor dan hanya menumbuk padi dengan lesung.

Meski hidup dalam ‘hirarki’ dan ‘mengasingkan’ diri dari keramaian, mereka hidup damai dalam sejuknya udara pegunungan. Mereka ramah kepada setiap pendatang. Mereka percaya, semua ras suku bangsa muasalnya dari sini. Setiap yang datang dianggap menjeguk saudaranya. Mereka yang menetap, dianggap kembali ke tanah leluhur. []

SUPARTA ARZ | DANDHY LAKSONO | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.