Thursday, March 28, 2024
spot_img

Menjemput Sehat di Negeri Jiran (3-Tamat)

Di ruang berbeda, Hafsah Puteh duduk di hadapan DR. Jasmider Kaur, Consultant Physician / Respiratory and Sleep Physician. Wanita 58 tahun itu datang bersamaan Marzuki Mubin dan delapan wanita paruh biaya lain. Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kota Banda Aceh, kali ini memiliki tujuan yang sama, berobat ke KPJ Tawakkal, Malaysia. Padahal, mereka bisa berobat gratis bila di Negeri sendiri, ditanggung BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
[Baca juga: Menjemput Sehat di Negeri Jiran (2)]

Begitu keluar pintu Kuala Lumpur International Airport 2, mereka sudah ditunggu dua mobil VAN yang disiapkan pihak rumah sakit, fasilitas gratis yang disediakan. Dengan syarat sebelum berangkat berkoordinasi dengan pihak KPJ Tawakkal cabang Aceh, selain jemputan dari bandara, jadwal bertemu dokter juga dijadwalkan.

Begitu memasuki lobi rumah sakit mereka langsung disambut petugas, kemudian diantar untuk mengkonfirmasi kedatangan dan selanjutnya dibimbing ke ruang dokter.

“Ini yang membedakan di sini dari rumah sakit di kita, tak perlu antri karena dokter yang menunggu kita. Sementara perawat hanya mengantar, setelah itu menunggu di ruang tunggu,” jelas Hafsah yang hari itu untuk ketiga kalinya dia berobat ke rumah sakit tersebut, akibat kencing manis dan kolestrol.

“Di dalam hanya ada kita dan dokter. Yang memeriksa kita langsung dokternya. Kalau di Aceh bukan hanya perawat bahkan anak magang ikut memegang-megang kita.”

Hari itu, Hafsah juga meminta diperiksakan kerongkongannya, karena merasa susah menelan ludah dan nyeri bila makan. Setelah diperiksa, dokter menyatakan ada pembekakan akibat kelejar tiroid. Namun demikian, dr Jasmider tidak memberi obat pada Habsah. Dia hanya meminta Hafsah berkumur dengan air garam sebelum dan ketika bangun tidur.

Jasmider mengaku banyak pasiennya berasal dari Aceh, di antaranya bahkan pasangan dokter spesialis di Aceh.

“Sayapun ada banyak pasien dari pada Aceh, ada yang pasangan dokter, ada yang dia dokter ibunya berobat kat sini,” jelas Jasmider.

Direktur RSUD-ZA dr Fachrul Jamal, Sp.An. KIC tak percaya beberapa pasien yang berobat ke Malaysia pernah salah diagnosa oleh dokter di Aceh. Menurutnya, dokter di seluruh dunia belajar dari buku medis yang sama.

“Kita yakin betul, ilmu kita tidak beda dengan orang-orang di luar, karena apa buku yang saya pelajari sama dengan buku yang dipelajari di seluruh dunia. Itulah kesetaraannya di bidang medis, jadi kita punya pemahaman yang sama,” katanya saat dikonfirmasi acehkita.com.

Menurut dia, bisa jadi karena penyebab penyakit tidak berdiri sendiri. Kadang ada kasus yang terlewatkan diobservasi.

“Batuk atau influenza saja penyebabnya macam-macam,” jelasnya.

“Mungkin dokter di sini melihat dengan satu cara begini kemudian tidak sembuh, kemudian dia berobat ke Malaysia di sana disampaikan penangangan dan obat yang pernah diberikan. Lalu dokter di sana mengambil kesimpulan, treatment seperti sudah dilakukan tidak sembuh, maka dia melakukan treatment selanjutnya dan ternyata itu sesuai dengan penyakitnya.”

Fachrul menegaskan, secara keilmuan dokter di Malaysia sama saja dengan yang di Aceh. Begitu juga teknologi medis yang digunakan.

“Teknologi kalau dengan Malaysia saya bisa jamin sama, kita punya alat radiologi yang cukup canggih juga. CT Scan kita bisa scaning jantung yang sedang bergerak. Kita punya fasilitas pemecah batu tanpa perlu operasi. Kita punya alat untuk mengurangi besarnya gondok, di Indonesia baru kita yang ada. Tapi soal pelayanan kita akui di sana lebih baik, kita akan terus memperbaiki,” terangnya.

Walau tak ada angka pasti, diyakini tiap hari puluhan warga Aceh berangkat ke Penang dan Kuala Lumpur untuk berobat, walau di dalam negeri ditanggung BPJS. Umumnya, mereka sudah berusaha berobat di tanah air, tapi tak kunjung sembuh, malah ada yang merasa kapok karena mengaku pernah salah diagnosa.

Fachrul mengakui, pelayanan yang lebih bagus menjadi salah satu sebab masih ada masyarakat Aceh berobat ke luar, selain vacancy atau jalan-jalan.

Kenapa di Malaysia service-nya bisa lebih baik, kata dia, pertama soal kultural, di sana senyum sudah terbiasa dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, jumlah pasien yang dihadapi di sana lebih sedikit dibanding di Aceh.

“Kita bisa 1.000 pasien sehari, malah lebih sekarang. Di sana mungkin 200 orang, tidak. Gak mungkinlah ke 1.000 orang kita senyum, itu hampir tidak mungkin,” ujarnya.

***

Siang itu, Laily Pin sudah dua hari menunggui suaminya Ahsan yang terbaring di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD-ZA akibat kecelakaan yang dialaminya.

Rabu, (18/1/2017), ruang IGD RSUD-ZA disesaki pasien darurat. Bahkan di antara mereka terpaksa dipasangi infus di atas kursi roda, karena tak tersedia tempat tidur. Para pasien ini merupakan peserta BJPJS kesehatan, yang dirujuk dari berbagai rumah sakit umum daerah di Aceh.

Usai kecelakaan, warga keturunan Tionghua tersebut sempat dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Bunda. Dokter di sana, Ahsan diajurkan untuk dirawat di RSUD-ZA. Saat itu, muka Ahsan lebam membiru, mata dan mulutnya susah dibuka. Menurut Laily, semua gigi suaminya rontok akibat kecelakan ketika bersepeda.

“Ini lagi tunggu jadwal dokter untuk opresi, katanya hari ini, tapi belum tahu jamnya. Mudah-mudah secepatnya, kasihan bapak tidak bisa tidur di sini,” ungkap Laily.

Menurut dia, suaminya baru akan dipindah ke ruang inap setelah tindakan operasi dilakukan. “Katanya kamarnya sudah ada.”

Marzuki, Zulfikar, dan Hafsah tak perlu harus menunggu sampai dua hari seperti dialami Ahsan, saat mereka menjemput sehat di negeri jiran.[Tamat]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU