Friday, March 29, 2024
spot_img

Merauke untuk Para Petani Berdasi

SEBUAH pesan masuk di inbox siang ini. Isinya mengabarkan bahwa telah beredar informasi lowongan kerja menjadi “petani berdasi” di Merauke. Saya dikirimi ini mungkin karena Ekspedisi Indonesia Biru baru saja merilis dokumenter kelima: THE MAHUZEs.

Iklan lowongan kerja itu ditujukan kepada semua orang (tak hanya “jurusan pertanian”) yang berusia di bawah 35 tahun. Mereka akan menggarap sawah modern, di mana satu orang dijanjikan dapat mengelola 5-10 hektare. (Sawah konvensional/tradisional biasanya dikelola 3-5 orang per hektare).

“Akan mendapatkan training teknis dan non-teknis sebelum dikirim ke Merauke. Di Merauke saat ini ada program prioritas Nasional pembangunan lahan sawah seluas ribuan hektar”.

Di akhir iklan, ada nama seorang eksekutif perusahaan energi yang kini mengembangkan sawah tekno di Merauke beserta alamat emailnya. Para peminat dapat mengirim CV kepadanya.

“Silakan informasi ini disebar. Yang berminat dan ingin menjadi petani berdasi, dapat kirim CV ke… dst…”

“Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” demikian Konstitusi kita. Jadi alih-alih menghalang-halangi kesempatan karir orang lain, saya hanya ingin mengingatkan berbagai masalah yang akan muncul bersamaan dengan pembukaan sawah satu juta hektare di Merauke.

Dan proyek ini, seperti halnya “Lahan Gambut Sejuta Hektare” di Kalimantan Tengah tahun 1996, terancam tidak memiliki fundamental yang kuat. Bahkan selama shooting “The Mahuzes” di Papua, kami berjumpa dengan transmigran eks-Kalteng yang kadung meninggalkan kampung halamannya untuk proyek Gambut Sejuta Hektare, tapi proyek itu terbengkalai. Mereka mendaftar lagi untuk ikut transmigrasi di Papua, dan kini berakhir sebagai buruh perkebunan kelapa sawit.

Tanah 5-10 hektare yang dimaksud dalam iklan lowongan itu adalah tanah bertuan, milik masyarakat adat yang dilindungi UU Otonomi Khusus Papua dan Keputusan MK tahun 2013 bahwa “hutan adat bukan hutan negara”.

Perusahaan yang akan mengembangkan sawah tekno, pada dasarnya akan menyewa dari masyarakat adat Papua dengan term 30-35 tahun, melalui sistem bagi hasil 70:30 atau 80:20.

Dan menurut hasil survei Lembaga Demografi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, yang bekerja dengan PT Smartindo Amore Persada (dan salinannya kami peroleh), 64 persen responden pemilik tanah tidak bersedia menyewakan tanahnya untuk proyek ini.

Bahkan di distrik Kurik, tempat Presiden Jokowi melakukan seremoni panen sawah perusahaan yang dimaksud, 77,8 persen warganya tak mau menyewakan tanah.

Dan yang lebih penting, proyek ini mengingkari prinsip ketahanan dan keberagaman pangan masyarakat Papua. Serta meletakkan model bisnis yang bertentangan dengan prinsip pengelolaan pertanian mandiri yang berbasis kepemilikan masyarakat.

Gambaran utuh tentang ini, silakan menonton THE MAHUZEs, yang bagi saya pribadi, lebih cocok disebut kuliah 1,5 jam tentang ketahanan pangan lokal yang disampaikan oleh orang-orang Malind Deq bermarga Mahuze:

https://www.youtube.com/watch?v=MSVTZSa4oSg

EKSPEDISI INDONESIA BIRU

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU