Thursday, April 18, 2024
spot_img

Meugang

TRADISI meugang atau makmeugang sudah mendarah daging bagi masyarakat Aceh. Sebuah riwayat menyebutkan, tradisi makan daging ini diperkenalkan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Meugang dirayakan saban 29 atau 30 Syakban –dua hari menjelang masuknya bulan suci Ramadan. Belakangan, meugang juga diperingati di akhir Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Alkisah, di Istana Darud Dunya Kesultanan Aceh Darussalam setiap menjelang Ramadan dan Hari Raya, Sultan Iskandar Muda mengadakan upacara besar yang mengundang seluruh rakyat di sekitar Istana. Ketua Majelis Adat Aceh Badruzzaman Ismail menyebutkan, mengenakan pakaian kebesarannya Sultan lalu menuju lapangan dan menemui rakyat yang berkumpul di sana. Sebagai rasa syukur dan kebahagiaan, Sultan membagi-bagikan daging dan beras kepada rakyat.

Inilah yang kemudian dinisbahkan menjadi tradisi meugang.

Lalu, setelah perekonomian Kesultanan Aceh merosot, rakyat merayakan sendiri tradisi ini. Banyak di antara mereka menjual daging.

Konon, pada hari meugang, pasar yang pada hari biasanya sepi, pada hari di mana penjual dadakan menjajakan daging sapi atau kerbau yang digantung di bawah bambu, ramai dan meriah. Sehingga sering disebut “makmugang” atau kata lain dari “pasar yang ramai”.

Makmeugang berasal dari kata “makmu” dan “gang”. Makmu berarti sejahtera atau ramai dan gang artinya pasar. Jadi, makmeugang adalah kata lain “ramai sekali pasar (pada hari itu)”.

Denys Lombard dalam bukunya berjudul “Kerajaan Aceh” menggambarkan kemeriahan tradisi meugang di Aceh. Lombard menulis, meugang pada hari sebelum puasa dinamakan dengan “majelis tabal atau upacara tabuh”. Pada hari itu, Syahbandar Sri Rama Setia memberikan persembahan upeti kepada Sultan dan menebarkan kembang di makam raja-raja dahulu.

Menurut Ali Hasjmy, pada perayaan meugang itu Sultan memerintahkan imam baitul mal untuk menyalurkan bantuan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan janda.

Tradisi ini terus dipelihara hingga abad milenium ini. Masyarakat Aceh merayakan tradisi makan-makan daging selama tiga kali dalam setahun. Mereka tidak terlalu menghiraukan harga daging yang membumbung tinggi saban meugang. Tahun ini, misalnya, harga daging di pasar di Aceh mencapai Rp180 ribu per kilogram. Meski mahal, warga tetap antusias membeli daging.

Bagi sebagian lelaki Aceh, meugang adalah kebanggaan dan status sosial. Makin banyak ia membawa pulang daging meugang, makin naik kelas sosialnya –terutama di mata sang mertua.

Lelaki dewasa juga mempunyai kewajiban untuk membawa pulang daging meugang kepada orangtuanya, meski sekilogram daging, sebagai bentuk menghormati orangtuan.

Itulah tradisi yang masih dipertahankan hingga di zaman modern ini. Makanya, jangan heran jika pada hari meugang, di jalan-jalan, pasar, pojokan pasar, akan hadir penjual daging musiman. Dan, orang-orang tetap menyerbunya dengan antusias meski harganya tinggi.

Jauh-jauh hari sebelum datangnya Ramadan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan menteri terkait untuk mengintervensi pasar agar harga daging tidak dijual di atas Rp80 ribu per kilogram. Kebijakan ini heboh di tataran nasional. Di Jakarta, sekilo daging dijual Rp120 ribu saja, ributnya se-Indonesia. Namun, kondisi ini tidak berpengaruh bagi masyarakat Aceh.

Sejak kemarin hingga hari ini, pasar dan pusat penjualan daging tetap ramai dikunjungi warga. “Tidak sanggup beli sekilo, setengah pun jadi. Yang penting di rumah ada daging untuk hari meugang,” ujar seorang ibu di pusat penjualan daging meugang Ulee Kareng.

Bagi yang tidak mengonsumsi daging sapi atau kerbau, mereka akan mencari alternatif lain, semisal daging ayam atau bebek. Yang jelas, meugang harus dirayakan bersama keluarga.

Tradisi yang sudah mendarahdaging ini juga akan membuat sebagian perantau memilih menyempatkan diri pulang ke rumah orangtuanya untuk merayakan meugang bersama. Makanya, di Aceh, secara tidak tertulis bahwa hari meugang sejatinya adalah hari libur nasional.

Filosofi meugang tak hanya mewarisi tradisi generasi sebelumnya. Bagi masyarakat Aceh, meugang adalah stimulan perekonomian. Harga jual sapi atau kerbau naik tinggi, sehingga untung memberikan keuntungan bagi para pedagang.

Meski begitu, meugang idealnya tidak mengejar sisi ekonomi dan kebanggaan sosial semata, tapi bagaimana kita mensyukuri dan saling berbagi atas pelbagai nikmat yang diberikan Yang Mahakuasa kepada kita. Meugang tak hanya ungkapan “sithon tamita, siuroe tapajoh”. Meugang adalah berbagi antarsesama. []

Fakhrurradzie Gade
Fakhrurradzie Gadehttp://www.efmg.blogspot.com
Reporter acehkita.com. Menekuni isu politik, teknologi, dan sosial. Bisa dihubungi melalui akun @efmg

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU