Radzie/ACEHKITA.COM

MUKLIS menjelajah pasar daging dadakan di Simpang Galon, Darussalam. Area pejalan kaki di depan ruko ini sudah beberapa tahun disulap menjadi arena jual beli ketika meugang datang.

Meugang ini dirayakan dua hari sebelum memasuki bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Saat itu harga daging di Aceh menjadi sangat mahal mencapai Rp140 ribu per kilogram. Konon, kabarnya ini harga termahal di dunia.

Hari itu sehari sebelum Idul Fitri, cuaca di Banda Aceh berangin dan sesekali angin kencang datang membawa rintik hujan tetapi tetap tidak menyurutkan niat para pembeli untuk terus datang. Muklis membeli daging untuk menjamu para kerabat yang datang bersilaturrahmi saat lebaran. Ia tidak membeli banyak. Selain hanya tinggal bersama ibunya, dirinya pun belum menikah sehingga tidak memiliki kewajiban membawa daging ke rumah mertua seperti yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain.

Tradisi  membawa pulang daging meugang ini sudah ia lihat sejak kecil. Neneknya mempunyai tiga anak perempuan dan masing masing menantu berlomba membeli daging yang paling banyak, termasuk ayahnya. Walaupun tidak mengetahui asal tradisi ini ia sangat menikmatinya saat kecil dan tahun ini ia masih selamat karena belum menikah.

Menu daging sapi dan kerbau ini sudah ada berabad lamanya, para ibu mengolahnya menjadi pelbagai masakan. Keponakan Muklis sendiri sangat menyukai daging masak aweh teulheue buatan ibunya.

Muhammad Nur Daud telah menjadi anggota tim pemotong lembu di Desa Tungkop, Aceh Besar. Sejak tahun 1960-an ia juga salah seorang Imam Mesjid di desa. Ia berbagi cerita meugang.

“Nah, uniknya saat Belanda ada di Kutaraja, tradisi meugang tetap ada. Pada hari itu ada kebijakan dari Belanda meliburkan kerja dan menyerahkan hadiah berupa daging kepada masyarakat. Orang Belanda menghargai adat dan budaya yang tumbuh dan ada di Aceh,“ kisah M Nur Daud.

Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, meugang di kampung dilaksanakan dengan cara ripee, yaitu satu kampung membuat musyawarah di meunasah untuk menentukan berapa uang yang akan dikumpulkan oleh setiap kepala keluarga untuk membeli lembu. Uang inilah yang disebut ripee. Pembagian daging dilakukan dengan cara menumpuknya dan niatan bahwa semua bagian lembu bisa dirasakan semua orang. Mereka yang punya peran istimewa seperti penjagal, akan dapat leher, sedang tokoh adat memperoleh kepala lembu.

Saat Sultan Iskandar Muda berkuasa, orang kaya menyumbangkan uangnya untuk membeli lembu dan orang miskin memperoleh daging lembu secara cuma-cuma. \

“Dengan ketetapan 2/5 untuk orang miskin dan 3/5 kepada orang yang menumpuk,“ katanya.

Menurut M Nur Daud, di masa itu ukuran berat daging dinamai katau. Satu katau setara dengan enam ons daging.

Istilah meugang kantor baru muncul di masa Indonesia merdeka. Ketika kantor-kantor pemerintahan mulai dibuka, juga kantor urusan dagang dan sebagainya, tepatnya ketika masa perkebunan berganti masa industri dan jasa. Daging meugang kantor tidak ditumpuk tapi ditimbang per kilogram. Namun, di kampung-kampung masih menggunakan cara menumpuk itu.

“Walaupun membeli lembu dilakukan secara gotong-royong. Tapi untuk orang memotong dan membersihkan daging biasanya terdiri atas tujuh sampai sepuluh orang. Akan diberikan lima atau enam tumpuk daging dari satu ekor lembu,“ tambahnya.

Cerita lainnya, pada setiap meugang, para santri dan murid akan mengantar masakan daging untuk guru dan tengku tempat mereka mengaji.

Tak sembarang lembu bisa disembelih untuk meugang. Semua lembu akan diperiksa dan yang terbaiklah yang akan disembelih. Daging lembu yang sudah dimasak dapat disimpan berhari-hari atau berbulan-bulan, seperti sie reuboh (daging rebus) atau daging yang dimasak dengan cuka. Daging itu kemudian disimpan dalam sandeng, keranjang yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Sandeng digantung di atas tungku di rumah-rumah Aceh. Saat meugang sudah lewat, orang pun masih bisa makan daging.

“Sejarah meugang di Aceh erat kaitannya dengan masuknya Islam ke sini, jadi dalam hadist Nabi disuruh menyambut Ramadan dengan meriah, begitu juga dengan dua hari raya, jadi masyarakat Aceh melaksanakannya,“ ujar Badruzzaman Ismail, ketua Majelis Adat Aceh (MAA).

Menurut Badruzzaman dulunya masyarakat Aceh banyak yang miskin sehingga makan daging merupakan suatu kemewahan. Sehingga jika mereka ingin membeli daging saat meugang ini mereka akan berkerja keras sepanjang tahun dan tidak bermalas-malasan. Daerah yang dulunya identik dengan masyarakat Hindu tidak memotong sapi tapi kerbau untuk rasa saling menghormati.

“Dulu tradisi ini bernama makmeugang, bukan meugang seperti kita ketahui sekarang. Ada yang mengatakan bahwa gang itu artinya pasar, jadi daging itu digantung di bambu di dalam gang. Kalau hari biasa jarang ada yang pergi ke situ, tapi satu hari menjelang hari Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha banyak ada orang sehingga dikatakan makmu that gang nyan (makmur sekali gang itu). Jadilah nama makmugang,“ terang Badruzzaman lagi. “Mengenai sejarah harus kita kaji lagi namun tradisi ini sudah ada berabad lamanya.”

Daging itu dibagikan kepada fakir-miskin, sedang ulee balang atau kaum bangsawan Aceh membagikan kepada pembantu-pembantunya. Tradisi ini sudah ada jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-16 masehi.

Snouck Hurgronje dalam buku The Achehnese dan salah satu manuskrip India Officer Labrary tentang adat Aceh menuliskan, meugang ini sudah menjadi perayaan utama di Aceh pada abad ke-17 selain Idul Fitri, Idul Adha dan malam Lailatul Qadar. Saat itu tiba, masyarakat akan membeli daging dan memasaknya sedemikian rupa.

Reza Idria, antropolog dan juga dosen Universitas Islam Negeri Ar-Raniry mengungkapkan, tradisi makan besar menyambut Ramadan bukan hanya ada di Aceh. Dalam buku Semasa Kecil di Kampung karya Muhammad Radjab juga menceritakan bagaimana masyarakat Padang, Sumatera Barat, melakukannya dengan makan rendang.

“Tradisi meugang sendiri dimulai dari Aceh pesisir. Daging meugang itu lambang kerja keras dan indikator kemakmuran,” kata Reza Idria sambil membetulkan letak kacamatanya. “Daging itu adalah simbol kehormatan laki-laki Aceh, semakin banyak daging yang dibawa pulang maka semakin terhormat ia di mata istri. Maka seberapa mahal pun harga daging orang tetap akan membelinya.”

Menurut Reza, daging sapi atau kerbau untuk meugang adalah daging spesial karena daging sapi jantan dewasa yang dipelihara dengan perhatian ekstra. Umumnya sapi jantan untuk meugang dipelihara dalam kandang kayu tertutup dan dibatasi kontaknya dengan dunia luar dan tidak  ada tradisi mengembala sapi jantan ke ladang luas, sehingga setiap hari peternak harus mencukupi kebutuhan rumput segar plus batang pisang, mengasapi kandang selepas petang untuk mengusir nyamuk, dan memandikan hewannya secara berkala.

“Walaupun telah berabad tradisi tersebut tidak ada penolakan oleh masyarakat selalu ada mekanisme di tempat-tempat tertentu yang membuat setiap rumah bisa mencicipi daging meugang seperti ambil bagian dalam proses pemotongan daging,” tambahnya.

“Selama berabad-abad meugang adalah simbol harga diri lelaki di Aceh. Simbol dari kemauan bekerja keras dan kemampuan memberi sesuatu kepada keluarga dari hasil bekerja, bukan dari meminta, bukan juga pemberian tanpa usaha karena dengan meminta-minta itu mengugurkan makna meugang,” sebut kandidat  Doktor Harvard University ini.

Menurut Reza Idria, fenomena orang datang meminta-minta hingga memalak uang meugang adalah penyakit sosial baru yang semakin kelihatan setelah satu dekade bantuan bencana Tsunami dan suap politik.

Suasana pasar dadakan semakin ramai menjelang siang dan selesai saat menjelang asar, saat meugang sebelum Ramadan pasar semacam ini akan penuh di pagi hari namun berbeda ketika meugang menjelang Idul Fitri. Bau amis menyeruak di udara tanda masih ada daging sapi yang akan dijual untuk merayakan makan besar menyambut bulan nan fitri. []

KHITHTHATI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.