Thursday, March 28, 2024
spot_img

Meugangnomics

Belum sempat saya mendaratkan tubuh di kursi kayu Warkop Cek Pan, si pemilik warung duluan menyapa dan menyampaikan pernyataan yang menggelitik.

“Seharusnya Aceh masuk dalam salah satu kategori tujuh keajaiban dunia baru, seven wonders of the world.”

Peukateun apalagi ini, pikir saya.

Lagee nyoe, setau saya di dunia ini cuma Aceh yang punya tradisi meugang. Dalam setahun bisa tiga kali, sekali sebelum puasa dan dua kali menjelang hari raya.”

Sepengetahuan saya gelar tujuh keajaiban dunia diberikan kepada tempat atau bangunan bersejarah yang mampu bertahan hingga sekarang, tapi Cek Pan mengusulkan tradisi meugang masuk dalam kategori prestasi level dunia ini.

Meugang atau makmeugang adalah tradisi menyembelih dan memasak hewan seperti sapi, kerbau, ayam atau bebek untuk kemudian disantap bersama-sama anggota keluarga. Tradisi ini juga membentuk kebiasaan di masyarakat Aceh, bahwa kewajiban para pria adalah membawa pulang daging meugang. Jika ia tak mampu, maka pria itu seakan-akan hilang marwahnya.

Menurut beberapa catatan sejarah, tradisi ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu di era kesultanan Iskandar Muda. Di masa itu, sultan dan pengurus kerajaan memotong hewan dalam jumlah besar, kemudian daging sembelihan tersebut didistribusikan secara gratis kepada rakyat sebagai manifestasi dari kegembiraan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Nyan keuh sebab jih. Karena meugang sudah bertahan selama ratusan tahun dan cuma ada di Aceh.”

Yang menarik dari tradisi meugang adalah pengaruhnya terhadap indikator ekonomi yang “modern” yaitu inflasi. Walaupun masih menjadi perdebatan tentang signifikan atau tidaknya pengaruh kenaikan harga daging saat meugang terhadap inflasi, namun yang pasti harga daging selalu meroket. Ini diikuti oleh kenaikan berbagai komoditas dapur lainnya, seperti cabe merah hingga bawang putih.

“Kalau pun tak bisa masuk dalam tujuh keajaiban dunia, lon rasa meugang nyoe bisa masuk ke dalam Guinness Book of Record atau minimal Museum Rekor Indonesia-lah.”

Sepertinya saya mulai sepaham dengan gagasan Cek Pan tentang “rekor” meugang ini. Indonesia termasuk salah satu negara yang harga daging sapi atau lembu termahal di dunia. Sedangkan Aceh, termasuk provinsi yang harga daging sapi termahal di Indonesia. Jadi, masih masuk di akal jika harga daging sapi di Aceh masuk rekor sebagai harga termahal.

Yang justru “tidak masuk” akal justru animo masyarakat untuk membeli daging ini. Orang Aceh rasanya tidak afdhal menyambut puasa dan hari raya tanpa merayakan meugang. Akibatnya mekanisme pasarlah yang berlaku, dimana ketika permintaan daging naik, maka harga juga ikut melonjak. Makanya, saya sempat heran dengan pernyataan pemerintah daerah agar pedagang tidak menaikkan harga daging saat meugang tiba.

Saat kita menganut sistem “membiarkan” harga pasar yang bekerja artinya kita tidak mampu meminta atau bahkan menyuruh pedagang daging untuk menurunkan harga. Intervensi yang paling memungkinkan dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan menambah stok daging sapi yang harganya lebih murah guna mengimbangi harga yang tinggi akibat permintaan yang juga tinggi. Lucunya, program intervensi meugang ini sering diklaim sebagai salah satu program kerja pemerintah daerah yang berjanji akan menyediakan daging sapi murah. Sayangnya mimpi-mimpi daging murah belum pernah menjadi kenyataan.

“Saya yakin, selama ‘kepercayaan’ akan tradisi meugang masih dipegang oleh orang Aceh, maka harga daging akan tetap tinggi, oleh karena permintaannya juga tinggi.”

Masyarakat sendiri seakan sudah maklum akan tingginya harga daging meugang. Walaupun ngedumel dalam hati, berapapun harganya tetap ada pembeli. Sementara itu, bagi masyarakat yang tidak mampu beli daging sapi seharga di atas seratus ribuan itu, tetap “menghormati” tradisi meugang dengan membeli barang subtitusi atau daging pengganti, seperti ayam atau bebek. Yang penting makan daging, titik.

Diskusi tentang realita meugang bersama Cek Pan menyentak saya akan kenangan indahnya momen tahunan itu. Di masa kecil, sama seperti keluarga lain, kami merayakan meugang dengan riang, karena tidak setiap hari kami bisa makan daging sapi. Ayah sejak pagi sudah keluar rumah untuk membeli daging segar yang kemudian diserahkannya kepada mamak untuk dimasak. Beberapa jam kemudian gulai masak Aceh atau rendang terhidang di meja untuk dinikmati bersama.

Semenjak perginya kedua orang tua, saya merayakan meugang dengan cara berbeda. Walaupun meugang itu bukanlah tradisi tahunan atau fenomena ekonomi biasa. Makmeugang saat ini merupakan rindu mendalam kepada mamak yang selalu memasak untuk anak-anaknya dengan penuh keikhlasan. Rindu akan masakan dan kehangatan sang ibu yang selalu tersenyum melihat anak-anaknya makan dengan lahap. Meugang adalah kenangan saat ayah “menguras” tabungannya hanya untuk membeli daging sapi, agar anak-anaknya terpenuhi kebutuhan gizi.

Ah, meugang itu ternyata tentang rindu. Rindu berkumpul, makan bersama dan merasakan indahnya rasa sayang dari orang-orang yang kita cintai.

Sebelum berfikir lebih jauh, segera saya ambil kunci sepeda motor lalu pulang, sebelum sempat menyeruput secangkir kopi pahit yang mulai dingin.[]

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU