Habiburrahman (kiri) merangku, Syaiful Islam di GOR Lhoksukon, Aceh Utara, Selasa (12/5/2015). Kedua imigran Bangladesh ini mencapai pantai Aceh Timur setelah dua hari-dua malam berenang di laut. | FOTO: Radzie/ACEHKITA.COM

LHOKSUKON | ACEHKITA.COM — Dua imigran gelap asal Bangladesh berhasil menyelamatkan diri setelah berenang dua hari dua malam di lautan lepas Aceh Timur, Selasa (12/5/2015) subuh. Mereka dilempar ke laut setelah meminta makanan di kapal yang mengangkut ratusan imigran asal Rohingya dan Bangladesh.

Kedua imigran etnis Benggali tersebut adalah Habiburrahman (30 tahun) dan Syaiful Islam (30 tahun), yang berasal dari Pabna.

Habiburrahman dan Syaiful Islam berencana menyeberang ke Malaysia untuk mencari kerja. Mereka tergiur ajakan Fazlul Rahman, warga Bangladesh yang bermukim di Malaysia, untuk bekerja di pabrik mobil dengan imbalan yang lebih besar dibandingkan di kampung halaman mereka.

“Saya dijanjikan pekerjaan dengan bayaran 50 ribu Taka,” kata Habiburrahman dalam sebuah wawancara di penampungan sementara GOR Lhoksukon, Selasa (12/5/2015) malam.

Pada suatu hari, Habiburrahman bertemu dengan Fazlul Rahman, yang tinggal dekat kampungnya. Fazlul selama ini memasok imigran dari Bangladesh untuk bekerja di Malaysia.

“Saya bilang ke Fazlul bahwa saya mau ke Malaysia,” sebut pria berewokan ini.

Oleh Fazlul, Habiburrahman diminta menyediakan uang sebesar 240 ribu Taka. Ia mengumpulkan uang, meminjam sama keluarga dan teman-temannya. Setelah terkumpul, ia berangkat ke Dhaka, ibukota Bangladesh, menemui teman masa kecilnya, Syaiful Islam. Ia mengajak Syaiful berangkat bersama ke Malaysia untuk memperbaiki taraf hidup.

“Setelah Syaiful setuju, saya telepon Fazlul. Dia menemui kami di Dhaka,” ujar Habib.

Pada 8 April malam, Fazlul membawa mereka ke Chittagong. Mereka diinapkan di sebuah rumah. “Kami diserahkan kepada agen lain, Yusuf. Di rumah itu kami melihat ada banyak orang lain,” sebut ayah dua anak itu.

Imigran lain tersebut bukan ajakan Fazlul Rahman. Mereka berasal dari agen lain. Seingat Habiburrahman, ada 16 orang di dalam rumah penampungan tersebut.

Setelah menunggu tiga hari di rumah Chittagong tersebut, mereka diangkut ke kapal. Pada 12 April, bersama puluhan orang lainnya mereka berlayar menggunakan boat. Mereka berganti boat yang lebih besar pada 14 April, yang di dalamnya mengangkut 300 imigran lainnya. Tak hanya itu, pada 21 April mereka juga kembali pindah ke kapal yang lebih besar.

Saat berlayar, kapal besar itu mengangkut 300 imigran. Namun setelah tujuh hari berlayar, dua kapal lain datang dan memindahkan semua penumpang ke kapal tersebut. “Grup per grup lain datang ke kapal itu. Jadi totalnya ada 900 orang di kapal besar kami,” sebut Habiburrahman.

Habiburrahman menyebutkan, penumpang kapal didominasi imigran asal Rohingya, Myanmar. Namun, dalam perjalanan, kapal mendadak berhenti di dekat perairan Indonesia.

“Kapten, asisten, dan agen perjalanan melarikan diri. Kami ditinggal di tengah laut,” ujarnya.

Bencana datang setelah kapten meninggalkan kapal. Habiburrahman merasa haus sehingga meminta air minum. Habiburrahman terkejut karena penumpang asal Rohingya menjadi agresif dan arogan. Suplai makanan dan minuman dikontrol oleh mereka orang-orang Burma. Jika ada Benggali yang minta makanan dan minuman, mereka marah.

“Saya minta air dan mereka memukul saya,” sebut Habiburrahman sembari menunjukkan bekas luka di bibirnya. “Saya dilempar ke laut.”

Imigran Rohingya yang mengamuk melempar Habiburrahman ke laut, Ahad (10/5/2015), selepas magrib. Syaiful Islam, teman masa kecil Habiburrahman, tak membiarkan temannya dilempar ke laut. Ia ikut terjun untuk menolong Habiburrahman.

Keduanya berupaya menyelamatkan diri. Kain sarung yang dipunyai disulap menjadi semacam balon. Mereka masuk ke dalam sarung balon itu dan mulai berenang per lahan-lahan.

“Kami mengapung. Ini untuk mengecilkan energi yang saya keluarkan,” sebut Habiburrahman.

Dalam malam pekat, mereka berenang mencari sumber cahaya terdekat. Setelah berenang sehari-semalam, mereka gembira karena melihat tower operator telekomunikasi dari kejauhan. “Kami ikuti arah itu karena pantai semakin dekat,” ujar Syaiful Islam.

Mereka terus berenang. Pada Senin malam, mereka kembali menemukan secercah harapan, setelah melihat cahaya api di bibir pantai. “Pada pagi (Selasa dinihari –red.) kami sampai dan melihat dua orang menyalakan api di pantai. Kami tidak tahu siapa mereka, tapi mereka tinggal di rumah tanpa atap dan memiliki dua sepeda motor,” ujar Habiburrahman.

Warga lokal itu menolong kedua warga Bangladesh ini dan membawanya ke Mapolsek Idi Cut, Aceh Timur. “Alhamdulilah kami selamat,” ujar Habiburrahman.

Mereka sempat dirawat di puskesmas karena mengalami dehidrasi. Pasalnya, selama dua hari dua malam berenang di lautan, mereka sama tidak makan-minum.

Sore kemarin, Kepolisian Resort Aceh Timur menyerahkan Habiburrahman dan Syaiful Islam ke GOR Lhoksukon, bergabung dengan 582 imigran Rohingya dan Bangladesh lainnya. []

RADZIE

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.