Friday, April 26, 2024
spot_img

Napak Tilas Lokasi Pembantaian Jambo Keupok

PERISTIWA ini terjadi 13 tahun yang lalu. Tepatnya pada 17 Mei 2003. Ini adalah penggalan kisah kami sebagai tim lapangan saat mengunjungi Desa Jambo Keupok awal Desember 2015. Sebuah desa yang menjadi saksi peristiwa yang dikenal sebagai “Insiden Jambo Keupok”.

Akhir November menuju awal Desember 2015. Musim penghujan tiba. Saya bersama Lendi Bambang dan rekan Kontras Feri Kusuma bertolak dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Kami naik pesawat Garuda Indonesia dengan waktu tempuh 2 jam 22 menit.

Kedatangan kami ke Banda Aceh disambut guyuran hujan deras. Misi kami ke Aceh jelas. Napak tilas dan pendokumentasian beberapa wilayah bekas pembantaian massal semasa Daerah Operasi Militer dan darurat militer di Aceh kurun 1989-2005.

Ini pertama kali saya mengunjungi Aceh, sekitar 10 tahun sejak masa damai pada 2005 atau 11 tahun setelah peristiwa bencana tsunami pada 26 Desember 2004. Di mata saya, Aceh merupakan wilayah bekas konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan TNI semasa pemberlakuan darurat militer. Pada sisi budaya saya mengenal Aceh lewat tarian Saman. Aceh yang saya lihat hanya sebatas itu.

Akan tetapi, semua pandangan mengenai Aceh berubah saat sampai di lokasi. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertama yakni di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan, kami menemui keindahan lanskap alam. Pantai biru di daerah Tapak Tuan, hutan lindung di kanan kiri jalan dan aliran sungai khas pedesaan. Perjalanan menuju Desa Jambo Keupok sekitar 13 jam, dan merupakan waktu tempuh terlama selama berada di Aceh.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di desa tersebut pada 17 Mei 2003 silam. Hari “kiamat”, demikian masyarakat desa itu menyebutnya. Kami tiba di rumah salah satu narasumber, Saburan bin Dolah Adat pada pukul 23.00 WIB. Rasa kantuk mendera, tubuh ingin merebah pada lantai beralas karpet. Sekitar sejam lamanya kami berdiskusi rencana pengambilan gambar esok hari.

Rabu pagi, 25 November kami segera mewawancarai para saksi mata yang juga keluarga korban pembantaian 16 warga sipil pada insiden Jambo Keupok. Narasumber pertama bernama Mansati (45), istri dari Mukminin, salah satu korban dalam insiden Jambo Keupok. Pagi hari 17 Mei 2003, Mukminin bersama 12 orang lainnya dikurung di dalam salah satu rumah warga. Tak lama kemudian rumah tersebut diberondong peluru dan dibakar.

“Setelah kejadian itu, ibu mengambil jenazah bapak. Ibu siram air ke atas badan jenazah. Sewaktu itu melihatnya, jenazah rata2 sudah hangus semua. Ibu juga lihat ada yang hitam, hangus ada juga yang kekuning-kuningan. Ada juga yang tangannya putus,” jelas Mansati kepada kami.

Lain halnya dengan Zulekha (60), istri dari Katsuri, juga korban insiden. Pagi hari itu, ia bersama sang suami hendak sarapan pagi hingga datanglah beberapa tentara berbaju loreng. Tak lama kemudian, ia bersama sang suami diseret keluar dan dibawa ke arah SDN Jambo Keupok. Kepada kami, Zulekha menunjukkan rekonstruksi terjadinya peristiwa kelam itu.

“Nah waktu di dekat sekolah itu kami ditembak. Karena tembakan tadi saya terjatuh dan bekas tembakan itu mengenai kaki saya. Ini masih ada bekas luka tembak itu. Dulu hitam sekarang bekasnya sudah hilang. Setelah peristiwa tembakan itu saya pun pingsan. Waktu setelah tembakan itu saya pun memegang anak saya. Bapak ditembak di bagian kepala. Isi kepalanya terburai keluar. Tak lama penembakan bapak saya pingsan,” ujar Zulekha yang kini hidup bersama anak perempuannya di rumah baru. Rumah Zulekha termasuk salah satu dari tiga rumah yang dibakar tentara.

Sore hari usai hujan deras reda, Saburan bin Dolah Adat (30) mengajak kami mengunjungi bekas rumah yang mengurung 12 korban insiden Jambo Keupok. Sewaktu kejadian, Saburan tidak berada di lokasi. Ia sedang menempuh studi di Bakongan. Ukuran rumah sekitar 4 x 7 meter dan masih terlihat bekas pondasinya. “Posisi rumah menghadap timur.

Sebagian dari belakang masih tersisa, yang ludes bagian depan. Rumah 4 x 7 tadi itu yang ludes bagian belakang masih berdiri bagian atas hangus,” jelas anak Dolah Adat, salah satu korban.

Yulida (35), kakak Saburan usai kejadian tragis tersebut bersama warga desa Jambo Keupok mengungsi ke masjid dan desa tetangga. Selama 45 hari lamanya mereka mengungsi. Kekhawatiran kembalinya tentara masih terbayang di wajah ibu dua anak ini.

“Sekitar dua bulan kami tidak tidur di rumah ini, kami berkumpul bersama-sama di rumah itu. Masih takut kami kalau ada aparat datang menggeledah,” jelasnya.

Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat di Aceh pada 2013, insiden Jambo Keupok termasuk dalam kategori pelanggaran ham berat.

Berdasarkan catatan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), total korban tewas dalam insiden Jambo Keupok adalah 16 orang dengan rincian empat orang ditembak mati dan dua belas lainnya dibakar hidup-hidup.

Selain itu, terduga pelaku berdasarkan keterangan saksi mata di lokasi berasal dari satuan Para Komando atau Parako, Satuan Gabungan Intelijen (SGI) dan salah satu cuak (informan) bernama Abdul Jalil.

Kini, para keluarga korban mengharapkan adanya penyelesaian kasus. Semakin berlarut kasusnya semakin jauh pula keadilan bisa ditegakkan. Tak hanya itu, trauma pun masih dirasakan salah satu keluarga korban. Mansati contohnya.

“Kalau saya lihat orang memakai baju loreng, jantung saya ini bergetar cepat. Kalau saya melihat orang memakai baju loreng, jantung ini berdebar, kepala sakit, entah bagaimana menggambarkan sakit kepala ini. Pusing rasanya,” jelasnya menutup wawancara.

Untuk memperingati insiden Jambo Keupok, beberapa warga bersama KontraS berinisiatif membuat monumen peringatan. Monumen tersebut dikerjakan secara bergotong royong oleh masyarakat dan selesai pada 11 September 2011.

“Tujuan kami membuat monumen ini sebagai tanda peringatan sebuah sejarah yang tidak bisa hilang sampai sekarang sampai anak cucu selanjutnya,” ujar Saburan yang menjadi Koordinator pembangunan monumen Jambo Keupok.

Dengan ukuran 10,5 X 7 meter, komplek monumen Jambo Keupok menjadi lokasi perziarahan warga pada hari-hari tertentu. Di kompleks itu pula terdapat total 17 kuburan. Sebanyak 16 kuburan korban Jambo Keupok dan satu kuburan terpisah milik Kakak Saburan yang tak lama setelah peristiwa 17 Mei ditembak oleh tentara sewaktu berada di gunung.

Dear WatchdoCers, sudah 13 tahun sejak peristiwa tersebut. Namun, belum ada tanda-tanda penyelesaian kasus dari pemerintah. Kita berharap, kasus ini juga pelanggaran hak asasi manusia lainnya lekas diselesaikan pemerintah. []

RANDY HERNANDO

Sumber:
Reportase WatchdoC
Dokumentasi KontraS

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU