Friday, March 29, 2024
spot_img

Neo-Aceh Pungo

Dulu, seakan ada kebanggaan saat orang menyebut Aceh Pungo (gila). Istilah Aceh Pungo yang menurut sejarah sebagai aksi heroik kalau boleh disebut nekad para pejuang Aceh saat menghadapi penjajah Belanda di awal abad 20. Hanya bermodal senjata tajam seperti rencong atau parang yang diselipkan dalam bajunya, orang Aceh tanpa takut menyerang pasukan Belanda yang memiliki senjata lebih canggih. Bukan hanya prajurit, para perempuan dan anak-anak keturunan Belanda juga tak luput dari pembunuhan “khas” Aceh itu. Pola seperti ini sempat berkembang di Aceh pada tahun 1910 sampai satu dekade berikutnya. Untuk orang normal rasanya tidak mungkin berani melakukan tindakan seperti itu. Maka di kalangan Belanda saat itu mulai terkenal istilah Atjeh Moorden, atau Aceh Gila. Dianggap gila karena keberanian orang Aceh saat itu melampaui batas-batas normal menurut penjajah. Sementara bagi pelaku, orang Aceh saat itu, tindakan tersebut didorong oleh keinginan untuk bisa mati syahid.

Bukan hanya R.A Kern, seorang peneliti dan penulis yang ditugaskan pemerintah Belanda untuk mengkaji fenomena di Aceh, teman saya Taufik Al Mubarak juga memaparkan dinamika sosial masyarakat Aceh dalam satu buku berjudul “Aceh Pungo”. “Gilanya” orang Aceh versi Taufik diungkap dalam tulisan menarik dan menggelitik, bukan tentang keberanian menyerang Belanda tapi lebih kepada fenomena politik dan sosial yang terjadi di dalam masyarakat Aceh saat ini.

Gila Aceh terus berlanjut dalam berbagai wujud. Gila yang dianggap sebagai penyakit kejiwaan sempat dihitung dalam bentuk angka. Beberapa bulan lalu, media massa sempat memberitakan bahwa terdapat 22.033 warga Aceh memiliki masalah kejiwaan mulai dari skala ringan hingga berat.

“Aceh ranking 1 nasional jumlah ureung pungo. Meunan dipeugah lee media.”

Secangkir kopi yang telah tersaji sejak sepuluh menit lalu belum saya nikmati. Diskusi tentang gila dan kegilaan jauh menarik daripada secangkir kopi ala Warkop Cek Pan. Bedanya dengan era Belanda, orang-orang yang mengalami masalah kejiwaan di Aceh saat ini disebabkan oleh beberapa hal seperti konflik, bencana alam dan pengaruh narkoba atau napza. Penyebab yang paling parah adalah narkoba tersebut, demikian yang pernah ungkap oleh salah satu media.

Beutoi nyan. Kawan saya yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa pernah bercerita bahwa sebagian besar pasien yang rumah sakit itu mengalami sakit jiwa karena pengaruh narkotika dan obat-obatan lainnya”

Saya jadi ingat betapa dahsyat efek kehancuran yang ditimbulkan oleh zat-zat yang memabukkan seperti narkoba atau minuman-minuman yang memabukkan, khamar. Menurut cerita yang pernah disampaikan seorang teungku di masjid, bahwa sahabat Rasulullah, Utsman bin Affan RA, pernah berwanti-wanti menegaskan betapa bahayanya mengkonsumsi minuman keras seperti arak, karena itu adalah induk dari segala perbuatan tercela. Ceritanya saat itu, ada seorang laki-laki ahli ibadah, yang suatu saat bertemu dengan seorang wanita. Lelaki alim tersebut diminta untuk masuk ke rumahnya, lalu pintu pun dikunci. Pria alim diberi pilihan yaitu minum segelas arak atau berzina dengan wanita itu atau membunuh anak bayi yang ada di antara mereka. Jika ia menolak, maka wanita itu akan berteriak dan bilang kepada orang-orang bahwa pria ini telah memasuki rumahnya. Singkat cerita, pria alim itu memilih segelas arak dengan alasan ia takut berzina apalagi membunuh manusia. Ia merasa sedikit mabuk hanya merugikan dirinya sendiri, bukan orang lain. Selepas minum khamar, ia mabuk. Ia “melanjutkan” perbuatan keji lain yaitu berzina dengan perempuan tersebut dan diakhiri membunuh bayi dihadapannya. Cerita ini menggambarkan betapa mengerikan tindakan dan dampak yang ditimbulkan oleh pikiran tak sadar akibat pengaruh minuman keras.

Oh nyoe, lon teingat chit cerita nyan.”

Narkoba atau zat aditif lain yang berbahaya terbukti mampu menghancurkan hidup, karier, keluarga dan masa depan seseorang. Sudah banyak yang terjerumus, mulai dari orang biasa, selebriti, hingga tokoh masyarakat. Bahkan baru-baru ini salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) ditangkap karena menggunakan narkoba jenis sabu-sabu.

Nyan keuh, anggota dewan jak pajoh sabe, hana i teupeu male lee.”

Cek Pan terlihat setengah emosi membahas kasus anggota parlemen Aceh yang seharusnya menjadi contoh dan suri tauladan, justru mempertontonkan hal memalukan. Narkoba adalah salah satu masalah penting di Aceh, yang seakan tidak mendapat perhatian serius. Buktinya kasus-kasus yang berkaitan dengan ini mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Wilayah Aceh bagian utara dan timur adalah potret makin merajelalanya narkoba. Jika boleh mengutip Otto Syamsuddin Ishak, seorang sosiolog Aceh, ia sempat memaparkan bahwa ada indikasi kuat jaringan narkoba ikut terlibat dalam proses demokrasi di Aceh. Artinya orang-orang yang terlibat jaringan narkoba ternyata ikut mendukung kandidat tertentu pada pemilihan anggota legislatif dan pilkada di Aceh.

Saya teringat, saat pulang kampung tahun lalu, dan bertanya pada salah seorang saudara dekat tentang jumlah pengguna narkoba di kampung kami. Jawabannya singkat dan cukup mengejutkan.

“Cuma keluarga-keluarga dekat kita saja yang “tidak kena.” Tetangga lain sudah.”

Narkoba kini seakan menjadi wabah atau virus yang menulari siapa saja dengan mudah. Namun untuk keluar dan bebas darinya sungguhlah susah.

“Narkoba bukan hanya mewabah, tapi ia juga sudah menjajah.”

Saya sepakat dengan pernyataan sahabat saya, pemilik warkop tersebut. Jika dulu kita berjuang melawan penjajah Belanda, kemudian dijuluki Aceh Pungo karena cara perjuangan yang “anti-mainstream,” kini justru kita dijajah oleh narkoba.

Dilee Aceh Pungoe, sekarang Neo-Aceh Pungo.”

Neo-Aceh Pungo adalah “pungo” yang tidak membanggakan, justru meresahkan karena daya rusaknya terhadap masyarakat dan generasi Aceh. Dulu, pejuang Aceh melawan penjajah dan rela dibilang pungo demi cita-cita mati syahid, sekarang pengguna narkoba justru pasrah dijajah oleh narkoba dan siap untuk mati konyol.

Menyoe, pejabat lagee anggota dewan ka keunong narkoba, kepada siapa kita lagi kita berharap?”

Pertanyaan Cek Pan terasa getir. Kopi yang mulai dingin di hadapan saya juga terasa tak lagi menggoda.[]

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Previous article
Next article
Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU