Friday, March 29, 2024
spot_img

OPINI | Memahami Bahaya Dominasi Media

TOMORROW Never Dies, salah satu seri film James Bond, menjelaskan dengan baik bagaimana berbahayanya bila media telah memonopoli “kebenaran”, mengatur dan memengaruhi publik, serta mendominasi dunia. Digambarkan di awal film bagaimana Carver—Raja Media Dunia yang mampu menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita—sedang dalam perayaan atas peluncuran satelit barunya dalam Jaringan Grup Media Carver. Satelit ini tidak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan medianya saja, tapi juga menjadi salah satu alat perang yang digunakan untuk memanipulasi informasi termasuk informasi militer negara-negara dunia. 

Di akhir pidatonya saat peluncuran satelit yang akan mampu menjangkau seluruh umat manusia di muka bumi ini—kecuali Cina yang menolak menyiarkannya—dia berjanji untuk memberikan berita tanpa ketakutan atau tendensi, berjuang untuk kebaikan dunia, melawan ketidakadilan, ketidakpedulian, memerangi ketidakmanusiaan. Tapi apa dinyana, Carver bukan orang yang jujur dan menepati kata-katanya. Dia juga adalah seorang penjahat yang baru saja membuat aksi kekacauan di Laut Cina Selatan yang memantik konfrontasi pihak Inggris dan Cina. Carver memiliki koran, majalah, buku, film, TV, radio, online, dan dengan kekuasaannya dia mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi ‘besar’ dengan sokongan medianya.

Walaupun cerita film ini adalah fiksi, tapi di dunia nyata gambaran keculasan dalam film ini menemui bentuk nyatanya. Saat ini, konglomerasi media menjadi lumrah di dunia. Suatu grup media bisa menguasai jaringan televisi; radio; media cetak seperti surat kabar, majalah, buku; online; film; dan sebagainya yang tersebar di delapan penjuru mata angin dunia. Dalam perkembangan terkini, sebutlah Rupert Murdoch, taipan yang menguasai grup media News Corp dan menjelma layaknya Carver. Salah satu anak medianya yaitu News of The World menyadap telepon para politisi, orang-orang terkenal, bahkan keluarga Kerajaan Inggris. Skandal penyadapan yang kemudian terungkap ini menyebabkan koran mingguan terlaris di Inggris yang telah terbit hampir 168 tahun ini tutup pada 2011 lalu.

Di Indonesia, berdasarkan penelitian Nugroho (dipublikasikan pada Maret 2012) terdapat dua belas grup media yang mengontrol hampir semua saluran media Indonesia, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dimiliki dari grup media lainnya, dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Harian Seputar Indonesia. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk grup Radar. Kompas, koran paling berpengaruh di Indonesia, telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten televisi dengan mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri dari 27 jaringan surat kabar.

Dalam penelitiannya, Nugroho menyimpulkan bahwa oligopoli media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap informasi karena industri media telah berorientasi mencari laba, dan perusahaan media dapat ‘dibentuk’ atau diintervensi oleh kepentingan pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari kekuasaan (politik). Contohnya yaitu Visi Media Asia atau Viva Group yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golongan Karya), dan grup MNC (dimiliki oleh Hary Tanoesoebdibjo) dan Media Group (dimiliki oleh Surya Paloh) yang bersama-sama bergabung di Partai Nasional Demokrat. Para pemilik media dan tokoh partai ini menggunakan medianya sebagai alat kampanye politik untuk mempengaruhi opini publik dan meraih dukungan. Dengan bantuan beragamnya media yang dimiliki dan jam tayang/akses tanpa batas, hal ini bukanlah perkara yang sulit. Publik akhirnya hanya mendapatkan beberapa berita/informasi karena berita/informasi misalnya terkait isu sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan telah diseleksi sebelumnya untuk ditampilkan di media.

Khusus Aceh, salah satu grup Kompas Gramedia yaitu grup Serambi Indonesia juga menjadi pemimpin bisnis media di Aceh. Grup Serambi Indonesia memiliki koran harian Serambi Indonesia dan Prohaba; radio Serambi FM; Toko Buku Zikra; aceh.tribunnews.com atau Serambinews.com; Serambi Indonesia Digital Newspaper; Serambi Indonesia e-paper; dan usaha penerbitan Aceh Media Grafika. Sebelumnya grup ini juga memiliki Tabloid Kontras yang telah ditutup. Kontras pernah menjadi salah satu acuan pola jurnalisme investigasi di Aceh. Dengan teknologi penerbitan jarak jauhnya, koran Serambi Indonesia dan Prohaba dapat dibaca dan tiba di tangan masyarakat di seluruh penjuru Aceh dalam waktu yang bersamaan di pagi hari. Dengan luasnya jangkauan grup Serambi Indonesia serta reputasi yang telah terbangun selama lebih dari dua puluh tahun, maka berita atau informasi dari sumber media ini menjadi seolah-olah satu-satunya referensi “kebenaran” atas suatu berita atau informasi yang dipercaya khalayak Aceh.

Selama hampir dua puluh tahun, koran harian Serambi Indonesia hampir tidak memiliki pesaing yang sepadan dalam bisnis media di Aceh. Koran harian lainnya di Aceh pernah ada dan mencoba bersaing memperebutkan ceruk pasar media cetak di Aceh seperti Aceh Pos, Aceh Expres, Raja Post, sayangnya banyak yang tidak mampu bertahan. Tapi saya melihat kegairahan ini sempat meningkat pascatsunami dengan adanya koran Harian Aceh, Aceh Independen, dan saat grup Jawa Pos News Network juga masuk ke Aceh dengan mendirikan Rakyat Aceh-Metro Aceh, serta terbitnya Pikiran Merdeka. Kontras saat itu jelas telah mampu diimbangi oleh Modus Aceh, bahkan kemudian Kontras tutup. Beberapa waktu lalu juga telah terbit tabloid The Atjeh Times yang sebelumnya hanya mengelola situs berita online The Atjeh Post. Beberapa majalah seperti Aceh Magazine, Aceh Kita, Aceh Kini, juga pernah mewarnai dinamika arus media di Aceh. Salah satu LSM lokal di Aceh, The Center for Community Development and Education (CCDE) juga mengelola dan menerbitkan majalah POTRET. Koran dari provinsi jiran—sesuatu yang memiriskan karena bahkan untuk membaca informasi yang terjadi di ‘halaman rumahnya’ sendiri, masyarakat Aceh juga masih perlu impor dari provinsi tetangga!—membuka biro di Aceh dan menyediakan kolom atau halaman khusus yang menuliskan berita atau informasi dari Aceh. Misalnya saja Waspada atau Analisa. Tentu saja yang paling marak adalah merebaknya situs berita online di Aceh, seperti acehkita.com; atjehpost.com; seputaraceh.com; theglobejournal.com; atjehlink.com; acehnationalpost.com; wartaaceh.com; acehcorner.com; lintasaceh.com; dan media lainnya.

Bagi saya sendiri merebaknya media online adalah suatu hal yang menggembirakan karena saat ini masyarakat Aceh bisa mendapatkan beberapa sumber alternatif terhadap berita atau informasi, sehingga tafsir atau pola pandang atas “kebenaran” suatu berita menjadi tidak tunggal dan tidak disetir oleh para pemilik atau redaktur media. Persoalan banyaknya modal yang mesti dihabiskan jika menerbitkan suatu media cetak sehingga para jurnalis lebih memilih mendirikan media online dapat dibenarkan, yang penting adalah walaupun cuma melalui media online, spirit dan elemen penting, serta kode etik jurnalisme tetap dapat tegak.

Banyaknya media yang tumbuh semestinya ditanggapi dengan biasa saja oleh para pemilik media yang telah terlebih dahulu ada. Semakin variatif dan majemuknya media yang ada di Aceh semestinya memacu para pemilik, redaktur, dan jurnalis, untuk lebih meningkatkan kompetensinya sehingga medianya dapat menjadi lebih baik dan berkembang serta informasinya akurat. Media yang telah terlalu lama berada di zona nyamannya dan tidak memiliki pesaing, menjadi tidak begitu kreatif dan inovatif dalam penyajian berita atau informasinya. Timbulnya pesaing malah dianggap suatu ancaman yang dapat mengganggu posisinya saat ini.

Saya mendengar pernyataan ini langsung dari redaktur yang menangani koran paling besar di Aceh di suatu diskusi formal terbatas. Saat beberapa koran harian alternatif mulai muncul dan menjadi referensi alternatif bagi masyarakat Aceh selain koran yang telah terlebih dahulu ada, koran yang telah dahulu ada itu bukannya malah menjadi terpacu karena ada pesaing, malah berusaha “melenyapkan” pesaingnya itu. Jelas strategi ini mudah saja dilakukan bagi media yang menguasai jaringan mesin cetak dan distribusi di seluruh Aceh serta memiliki penerbitan sendiri. Kemunculan media seperti Harian Aceh, Aceh Independen, dan Rakyat Aceh ditanggapi dengan terbitnya koran harian Prohaba. Dengan harga yang lebih murah daripada pesaingnya, koran ini seketika menjadi primadona di tengah publik Aceh. Segmentasi koran ini adalah warga kelas menengah ke bawah dan level pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Isi koran ini adalah berita kriminal, seks, informasi artis, dan lainnya yang biasanya tidak ada dan tertampung di koran induknya. Kemunculan koran ini sebenarnya bukan sesuatu hal yang tidak-tertebak, karena jauh sebelum Kontras berhenti tutup, di salah satu halaman dalam tabloid itu memuat cerita khas kasus seks yang dikutip dari koran terbitan ibukota, yang lazim disebut koran ‘lampu merah’. Jadi saya melihat ini sebagai mutasi satu halaman tabloid menjadi sebuah koran.

Saat ini beberapa warung kopi yang menjadi pusat informasi masyarakat di pedesaan Aceh telah berlangganan koran ini, baik rangkap dengan induknya yaitu Serambi Indonesia, atau beralih dengan hanya berlangganan Prohaba. Saat diskusi itu, redaktur media itu menjelaskan bahwa Prohaba jelas tidak memiliki biaya yang besar selain hanya biaya cetaknya saja, sedangkan biaya lainnya seperti distribusi, karyawan, dan sebagainya telah ditanggung oleh koran induknya. Prohaba disebarkan agen atau loper bersamaan dengan koran induknya, sehingga biaya tambahannya nyaris tidak ada. Ibarat para pemilik warung kopi yang juga menjual rokok di warungnya itu. Rokok bukan inti dari bisnisnya, tapi rokok juga dapat menambah penghasilan warungnya, tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan.

Nama Prohaba menjadi semakin bertambah populer akhir-akhir ini terutama pascatragedi pemuatan berita penangkapa PE dan IT, dua ABG di Langsa dan kemudian kasus gantung diri PE yang sebelumnya pernah diberitakan sebagai pelacur itu. Salah satu organisasi profesi wartawan, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh menilai Prohaba melanggar kode etik jurnalistik karena memuat berita yang berisi tuduhan yang tidak berdasar. Berita itu adalah “Dua Pelacur ABG Dibeureukah WH” (Selasa, 4/9). Berita itu juga dimuat di portal aceh.tribunnews.com, salah satu media online di bawah grup Serambi Indonesia. PE—salah seorang yang sebelumnya diberitakan tergolong sebagai pelacur ABG di berita media itu—kemudian ditemukan tergantung di kamar tidur. Berita ini dimuat dengan judul “Gadis ABG Gantung Diri di Kamar Tidur” (Sabtu, 8/9); “Sebelum Gantung Diri, PE Tulis Surat untuk Keluarga” (Selasa, 11/9) di Prohaba dan aceh.tribunnews.com.

Berita penangkapan ini juga ditulis Waspada, namun mereka tidak menyebut dua ABG itu pelacur. Waspada menurunkan berita berjudul “WH Amankan Dua Remaja Putri” (Selasa, 4/9). AJI juga menilai berita ini melanggar etika karena memuat identitas dua anak ini.

Setelah konferensi pers yang digelar AJI Banda Aceh pada Senin (17/9) dan siaran persnya dikutip serta beritanya disebarluaskan oleh para jurnalis, tiba-tiba saja pihak Prohaba meradang. Mereka tidak terima jika kasus kematian PE dikaitkan dengan pemberitaan Prohaba. “Kok enak sekali menuding bahwa orang bunuh diri sebagai akibat pemberitaan koran? Apakah AJI sudah menguji faktanya secara yuridis?” begitulah komentar Erlizar Rusli, S. H., M. H., yang merupakan Manajer Umum/Pengembangan Sumber Daya Manusia Harian Prohaba dan staf legal Prohaba untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Taufik Al Mubarak, Plh. Ketua AJI Banda Aceh yang tempo hari melakukan konferensi pers.

Di awal saya sudah menggambarkan bagaimana kondisinya jika suatu media memonopoli “kebenaran”, mengatur dan mempengaruhi publik, serta mendominasi dunia. Dalam hal ini, maka grup Serambi Indonesia telah menjalankan fungsi-fungsi ini di Aceh. Berita penangkapan PE tidak pernah dimuat dan diulas di koran ini, hanya dimuat di Prohaba dan aceh.tribunnews.com, akan tetapi berita “Prohaba Lapor Plh Ketua AJI ke Polisi” dengan judul kecilnya “Taufik Al Mubarak No Comment” menjadi berita utama Serambi Indonesia pada Rabu (26/9). Publik yang tidak membaca Prohaba dan aceh.tribunnews.com tentu tidak memiliki informasi yang memadai sebelumnya tentang perkembangan kasus ini sebelum diangkat menjadi berita utama di Serambi Indonesia. Perkembangan selanjutnya: dibentuknya Kaukus Wartawan Pembela Syariat (Minggu, 23/9) yang sebagian inisiator dan anggotanya adalah dari media yang dituding AJI Banda Aceh telah melanggar kode etik dalam pemberitaan; dimuatnya ‘semacam’ laporan selama tiga hari berturut-turut yang memaparkan kondisi maksiat dan tantangan penegakan syariat Islam di Langsa (sejak Kamis-Sabtu, 4-6/10). Dua hal ini menurut saya adalah sebuah upaya purifikasi yang dilakukan oleh media ini sekaligus menarik perhatian dan dukungan publik dalam melawan pihak-pihak yang mencoba mengganggu stabilitas media itu sebagai agen tunggal pembawa “kebenaran” yang tanpa cela ke publik Aceh. Situasi antikritik dan the media fights back (media menyerang balik.terj) muncul.

Dengan dukungan medianya, para wartawan mencoba menabur simpati dan mencari objek-pengalih dari sebelumnya dituding tidak taat kode etik jurnalistik dalam pemberitaan menjadi orang-orang yang ingin menegakkan dan melindungi syariat Islam. Isu syariat Islam tentu saja yang paling cepat masuk ke publik dan segera menuai dukungan yang banyak. Masyarakat Aceh secara tradisional jelas masih mengagungkan agama Islam, walau dalam keseharian mereka jarang beribadah dan hidup berkubang maksiat. Tamsilnya, mereka tidak beribadah, tapi jika keyakinan agamanya diusik, maka rela untuk mati mempertahankan agamanya itu. Maka para wartawan ini secara serempak mengatakan ada pihak-pihak atau disebut juga anasir-anasir busuk yang berlindung di balik tema intelektual dan HAM yang tidak ingin syariat Islam tegak di Aceh dan terus berusaha mengusik eksistensi Syariat Islam Aceh, bahkan ingin menghancurkan Islam di Aceh. Jelas objek-pengalih ini mengacu kepada LSM, baik LSM yang fokus pada isu pengawasan syariat Islam dan HAM, maupun LSM yang selama ini mewarnai corak pemikiran kontemporer di Aceh. Saya mengatakan bahwa sangat terang ini sebagai pengalihan isu adalah karena jika memang para wartawan ingin membela atau mendukung syariat Islam, mengapa baru sekarang? Mengapa tidak sejak awal pelaksanaannya dahulu?

LSM menjadi sasaran tembak selanjutnya sebagai aktor-aktor yang ‘mengusik’ pelaksanaan syariat Islam di Aceh dan dihembuskan media yang sebelumnya dikritik karena nir-etika. Sorotan dan kritikan terhadap syariat Islam sebenarnya bukan hanya kondisi yang muncul akhir-akhir ini. Tetapi jelas selama ini yang menyorot dan mengkritik adalah dari perwakilan masyarakat sipil yang fokus pada isu pengawasan syariat Islam dan HAM serta pemikiran. Sepengetahuan saya, mereka bukannya menolak dan ingin menghapuskan syariat Islam di Aceh, tapi ingin agar syariat Islam lebih humanis, adil, tidak mengedepankan aspek formal (hukuman) saja dan meninggalkan substansi (etika/dasar hidup/akhlak), dan menyeluruh.

Saya melihat ada ketidakobjektifan dan kesimpulan yang diambil tergesa-gesa tanpa adanya investigasi mendalam oleh para wartawan ini. Pertanyaan dasarnya adalah siapa saja pihak yang menghambat pelaksanaan syariat Islam di Aceh? Apakah jawabannya cuma 1 pihak, yaitu LSM yang didakwa sebagai satu-satunya pihak penghambat syariat Islam di Aceh? Saya ingin mengajukan beberapa alternatif jawaban yang mungkin luput dari amatan para wartawan ini terkait pihak-pihak yang menghambat pelaksanaan syariat Islam di Aceh yaitu di antaranya:—semuanya diawali dengan kata ‘oknum’—eksekutif yang menolak pengesahan Qanun Jinayat; eksekutif dan legislatif yang hanya sedikit mengalokasikan anggaran pada Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah; legislatif yang sedikit sekali memproduksi qanun yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam; aparat yang selama ini menjadi backing bisnis minuman keras, pelacuran, dan perjudian; aparat penegak syariat Islam yang tidak profesional dan menerapkan hukuman hanya kepada yang lemah dan miskin; pemilik hotel yang mengoperasikan bar, diskotik, menjual minuman keras di hotelnya, dan menyediakan ruang karaoke yang dapat digunakan untuk ber-khalwat; mahasiswa yang sudah menerapkan pacaran tanpa-batas; remaja yang tidak akrab dengan pendidikan agama Islam; pejabat yang korup; pengusaha yang melakukan suap, memanipulasi harga, mengurangi takaran; wartawan yang bersekutu dengan pegawai Wilayatul Hisbah dan Dinas Syariat Islam untuk tidak memberitakan kasus pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh pejabat atau keluarga pejabat; seniman, aktivis LSM, dan beberapa pihak lainnya yang beranggapan syariat Islam bukanlah solusi, tapi kekangan.

Pola “gajah di seberang lautan tampak tapi semut di depan mata tidak tampak” juga jelas dapat kita perhatikan dalam model pengalihan isu ini. Koran harian Prohaba yang selama ini memuat berita seks, malah dengan bahasa vulgar seperti “Eh-Oh di kebun Coklat”, “Sepasang PNS ‘Cok Siangen’ di Mobil Dinas atau Duda dan Janda ‘Cok Siangen’ di Rumah Kos” tidak menjadi objek kritik dari para wartawan yang berhimpun di kelompok wartawan pembela syariat ini. Tentu saja ini adalah persoalan introspeksi diri dan kesediaan mengakui kesalahan sendiri. Wartawan Prohaba yang selama ini menulis atau memuat berita seks yang jelas-jelas merusak tataran moral dan nilai masyarakat bersyariat Islam dan dapat mempengaruhi pembacanya lebih baik membereskan kamar redaksinya dari noda ‘lendir’ terlebih dahulu sebelum terlalu jauh berlagak menjadi pahlawan pembela dan penegak syariat Islam tapi sebenarnya di koran itulah tatanan syariat Islam hancur lebur.

Bagi masyarakat Aceh secara umum semestinya dapat lebih cerdas dalam memahami pemberitaan media, terutama terkait agenda setting yang dijalankan oleh masing-masing media. Bagaimanapun, mempercayai suatu media sebagai satu-satunya sumber “kebenaran” yang setara dengan kitab suci adalah bentuk kesalahkaprahan bahkan dapat memicu sebagai penambahan rukun iman dengan “percaya kepada media”. Pemberitaan atau informasi di media jelas dapat salah, yang dibutuhkan bukan penyangkalan atas kesalahan itu, tetapi perilaku meminta maaf dan memperbaiki kesalahan itu. Media semestinya juga tidak hanya mendukung syariat Islam mutlak semata tanpa melakukan kritik—dukungan ini akhirnya dilihat tidak lebih sebagai politisasi. Media juga mesti menjadi pengawas serta pengendali terhadap implementasi syariat Islam.[]

RIZKI ALFI SYAHRIL, Mahasiswa Magister di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU