Friday, March 29, 2024
spot_img

OPINI | Pilkada Pasti Damai

Perseteruan calon independen dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh yang masih berlangsung, dalam beberapa bagiannya telah menunjukkan degradasi kualitas demokrasi Aceh.

Padahal dalam kurun waktu 2006-2009, bagi banyak kalangan, demokratisasi di Aceh mampu memberi catatan mengesankan diantaranya karena dibukanya ruang bagi calon independen untuk menjadi kepala daerah dan dimungkinkannya partai politik lokal sebagai perwakilan rakyat di parlemen.

Hanya saja, perkembangan politik belakangan ini telah memunculkan berbagai spekulasi, salah satunya mengenai masa depan perdamaian Aceh. Seperti diutarakan oleh Mawardy Nurdin, Juru Bicara Lintas Parpol, Aceh bisa berubah seperti masa konflik bila tahapan Pilkada dilanjutkan (Serambi, 14 Juli 2011). Benarkah apabila Pilkada tetap berlangsung sesuai tahapan yang telah ditetapkan oleh KIP membuat Aceh terjerembab kembali ke dalam situasi konflik kekerasan seperti masa lalu?

Pengabaian Konstitusi
Satu dari sejumlah syarat dalam sistem politik demokrasi adalah kepatuhan terhadap tata hukum yang berlaku dan syarat ini berlaku bagi seluruh individu maupun golongan tanpa kecuali. Kalau mau ditelusuri kembali, calon kepala daerah dari jalur perseorangan atau independen merupakan sumber penting polemik Pilkada saat ini. Bermula dari permohonan empat orang warga negara kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan Pengujian UU Pemerintahan Aceh No. 11/2006 terhadap UUD 1945. Keempat pemohon ini menilai Pasal 256 UUPA terhadap merugikan dan melanggar hak konstitusional mereka seperti yang dijamin oleh pasal-pasal tertentu dalam UUD 1945.

Seperti diketahui, menurut Pasal 256 UUPA yang mengatur calon perseorangan hanya diberlakukan dan dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak UU tersebut diundangkan. Namun dalam pertimbangan keputusannya, MK sudah menyatakan bahwa “…calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, karena jika hal demikian diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya..”.

Dalam perkembangannya, Partai Aceh (PA) yang tengah menjadi kekuatan politik dominan di Aceh, diikuti oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan sejumlah partai gurem yang tergabung dalam fraksi PA di DPR Aceh secara sadar memposisikan dirinya sebagai pihak yang menentang kebijakan dibolehkannya calon independen dalam kompetisi Pilkada. Partai-partai ini bahkan berusaha meyakini dirinya sebagai pihak yang dizalimi karena sebagai representasi sebagian rakyat Aceh mereka harus berhadapan dengan usaha-usaha yang mengurangi manfaat-manfaat politik seperti yang telah diatur dalam UUPA, seperti soal calon independen ini.

Pertanyaannya kemudian, benarkah kelompok penentang ini dizalimi? Kalau melihat kembali proses pengujian yang dilakukan MK atas permohonan empat warga negara tersebut, di masa depan rakyat Indonesia yang tinggal dan/atau akan tinggal di Aceh menjadi pihak yang akan mendapat perlakuan tidak adil bila kebijakan calon independen tidak diakomodir. Dengan kata lain, justru kelompok penentang akan dinilai sebagai kelompok yang zalim karena mengangakangi hak konstitusional warga negara yang lain jika terus bertahan dengan sikap politiknya seperti saat ini.

Sebenarnya sidang paripurna DPRA beberapa waktu lampau untuk mengesahkan sejumlah rancangan qanun termasuk Rancangan Qanun Pemilihan Kepala Daerah merupakan momentum berharga untuk mencari jalan keluar kebuntuan politik yang dihadapi antara pihak yang pro dan kontra calon independen. Harapan besar itu digantungkan kepada kepada partai-partai menengah seperti Demokrat, Golkar, PKS, dan PPP.

Sebagai “pemain lama” dalam konteks perpolitikan di Indonesia dan Aceh, partai-partai ini diyakini sekali telah memahami makna keputusan MK terkait calon independen ini. Ironisnya, partai-partai ini lebih senang memilih sebagai kelompok yang “abstain” dalam voting saat paripurna tersebut. Sikap seperti ini tentu saja sama kelirunya dengan sikap partai-partai politik yang menolak calon perseorangan, karena mereka menyembunyikan kebenaran yang seharusnya diungkapkan!

Dalam perspektif jangka panjang, sikap politik yang ditunjukkan oleh parpol-parpol yang menentang kehadiran calon perseorangan dan menolak bersikap tegas atas persoalan ini justru beresiko merugikan parpol-parpol itu sendiri, dan pada spektrum yang lebih luas akan mengorbankan bangunan demokrasi yang masih dalam tahapan konsolidasi. Kerugian yang mungkin (telah) dirasakan oleh parpol-parpol tersebut bisa dalam bentuk semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Di satu sisi, semua orang tahu bahwa parpol merupakan instrumen penting dalam kehidupan berdemokrasi. Namun di lain sisi, masyarakat akhirnya boleh berkesimpulan bahwa sangat absurd rasanya menggantungkan harapan dan keadilan kepada lembaga-lembaga yang mengabaikan pentingnya penghormatan atas konstitusi. Kiranya pada tiitk inilah, apabila kebuntuan ini terus berlanjut, gerusan kualitas demokrasi Aceh akan sangat dirasakan.

Pasti Damai
Dinamika politik yang begitu cepat belakangan ini memunculkan kekuatan baru dalam bentuk gabungan 16 parpol yang meminta pusat untuk menunda pelaksanaan Pilkada di Aceh, setidaknya hingga enam bulan ke depan. Sebagian kalangan beranggapan realitas politik ini berdiri sendiri. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah jika melihat aktor-aktor dan isu yang diangkat. Tapi kalau melihat rentetan peristiwa sebelumnya, realitas ini masih merupakan “anak kandung” dari penolakan atas calon independen. Sehingga bisa pula dimaknai jika kekuatan gabungan parpol ini sebagai kekuatan politik (tambahan) yang menentang kebijakan calon independen. Karena itu menjadi menarik untuk mendalami seberapa jauh kebenaran perkiraan kelompok ini tentang potensi terulangnya konflik di masa lalu jika tahapan Pilkada terus dilangsungkan.

Berdasarkan pengalaman pelaksanaannya, masih sulit menihilkan setiap agenda pemilu, baik legislatif maupun kepala daerah, di Indonesia dari tindakan kekerasan. Apalagi bagi sebuah daerah yang baru mengakhiri konflik seperti Aceh dimana budaya kekerasan masih relatif kuat. Hanya saja yang perlu diingat bahwa kekerasan yang biasanya terjadi pada masa pemilu memiliki skala yang kecil, bersifat sporadis, dan terlokalisir. Bukan sebaliknya, kekerasan yang bersifat massif, tersebar, sistemik serta terstruktur.

Dalam kondisi Aceh seperti sekarang, parpol-parpol tersebut justru harus mampu memainkan satu dari sejumlah peran substantifnya sebagai institusi yang mencegah, bukan sebaliknya menebar ancaman, terhadap kemungkinan terjadinya konflik dengan kekerasan. Sejatinya parpol-parpol yang sepakat dengan sistem politik demokrasi dipastikan tetap istiqamah menempuh cara-cara damai dan tidak pernah berpaling menggunakan cara-cara kekerasan dalam setiap ikhtiarnya mencari solusi atas sebuah konflik. Lagi pula, dalam satu survey yang pernah dipublikasi oleh SICD Aceh kurang lebih setahun lalu, seluruh parpol yang memiliki wakil di DPR Aceh—yang sekarang menjadi bagian dari gabungan 16 parpol—telah berkomitmen untuk menyelesaikan setiap permasalahan dengan cara damai.

Dengan gambaran seperti ini, Pilkada dipastikan tetap berjalan damai meski tanpa penundaan. Dan melihat antusiasme dalam merebut kekuasan, dimana seolah-olah Pilkada kali ini merupakan kali yang terakhir digelar di Aceh, diperkirakan gabungan 16 parpol tersebut juga tetap mengambil bagian dalam pesta rakyat nanti. Terlebih bagi PA, sebagai kekuatan politik baru dan disegani, pasti tidak ingin dicatat oleh sejarah sebagai kelompok tirani baru dalam demokrasi di Aceh yang gampang merajuk bila tuntutan politiknya tidak terpenuhi.

Penulis adalah pegiat demokrasi, berdomisili di Banda Aceh
e-mail: [email protected]

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU