Friday, March 29, 2024
spot_img

OPINI | Rendah Diri dan Xenomania Intelektual

Lulusan Beasiswa Aceh Mau ke Mana?

Dari segi moral dan etika, apa yang dilakukan oleh perwakilan alumni Jerman yang beranjangsana dengan anggota DPRA adalah suatu hal yang patut disambut baik di tengah semakin sulitnya kita menemukan orang-orang yang berintegritas, terutama dalam hal memenuhi janjinya. Orang yang tidak menepati janji dalam norma kesusilaan dan agama juga akan dikucilkan atau dianggap tidak amanat oleh masyarakat. Dan karena janji para alumni ini telah dituangkan dalam sebuah kontrak sebelum mereka diberangkatkan dulu, tentu saja muatan hukumnya lebih kuat, sehingga tidak bisa seenak hatinya dalam berlaku.

Tapi pertemuan itu menguak hal yang substansial: belum adanya rencana strategis pemerintah untuk mengakomodasi para alumni yang telah dibiayai pendidikan tingginya dengan memakai dana rakyat—hal ini telah dibahas sebelumnya di opini “Investasi Pendidikan Aceholeh Saiful Akmal dan Heru Fahlevi (2/5). Saya asumsikan: alumni pulang, melapor bahwa sudah selesai masa pendidikan, dan pemerintah seolah-olah canggung saat ditanyakan apa yang bisa kami (alumni) lakukan? Tentu saja ini bukan dalam artian adalah bentuk kelebihan khusus yang diberikan pemerintah bagi para alumni yang disekolahkan ini, tapi tentu ada hal yang patut mereka sumbangkan kembali setelah mereka mengenyam pendidikan yang dibiayai rakyat, terlebih saat ini telah ada total sekitar 2.114 penerima beasiswa dari Pemerintah Aceh sejak tahun 2005-2011.

Program beasiswa yang sudah digulirkan sejak beberapa tahun ini termasuk salah satu program populis yang diinisiasi pemerintahan terdahulu. Tentu saja, rakyat pembayar pajak atau donor untuk menyekolahkan para mahasiswa ini tidak ingin uangnya disia-siakan. Dalam hal ini semestinya pemerintah dengan serius menerapkan rencana strategisnya dan kebijakan yang berbasis pada bukti-bukti nyata atau kebijakan yang berbasis pada riset. Pendekatan ini lebih diutamakan untuk melihat secara khusus apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh daerah dan pemerintah akan menampungnya serta metode identifikasi sebaiknya adalah inisiatif dari bawah ke atas. Catatan selanjutnya yaitu pentingnya adanya sebuah rencana induk program ini secara jelas. Kita ketahui bersama, acapkali program-program populis dan bagus seperti pemberian beasiswa ini akan berhenti saat pemimpin pemerintahan berganti, atau dengan kata lain, prinsip keberlanjutan program sering dipertanyakan, karena terkait kondisi politik penguasa. Dalam hal ini, sebaiknya program ini secara jelas ada rencana induknya sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan walaupun rezim pemerintah atau pengelola beasiswa ini nantinya berganti.

Rendah Diri dan Xenomania

Selanjutnya, penulis mengamati bahwa ada permasalahan mental yang sebenarnya dihadapi oleh para pengelola beasiswa dan penerima beasiswa ini—juga beberapa intelektual/teknokrat lainnya. Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa mereka mengidap kompleks inferior dan xenomania—istilah ini pernah diperkenalkan oleh Kuntowijoyo di opininya “Mentalitas Bangsa Klien” (Kompas, 23/12/2004). Kompleks inferior terkait dengan laku merasa rendah diri dan xenomania adalah kesukaan yang berlebihan terhadap segala sesuatu yang asing (berasal dari luar negeri) (Sumber: KBBI daring).

Jika kita membuka portal daring Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh, maka di halaman pertama kita akan melihat sebuah survei yang pertanyaannya: “Apa negara favorit kamu untuk meraih pendidikan lanjutan?” Pilihannya adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, China dan Taiwan, Malaysia dan Singapura, India, Thailand, Jerman, dan Jepang, minus Indonesia. Lebih lanjut dapat kita telisik dari data penerima beasiswa Pemerintah Aceh sejak tahun 2005-2011 yang menunjukkan jumlah penerima jenjang S2 dan S3 luar negeri adalah sebanyak 1.029 orang dan dibandingkan penerima dalam negeri yang hanya 153 orang. Motivasi pemerintah yang mengarahkan mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri menjadi pertanyaan di saat universitas-universitas di tataran lokal Indonesia telah menjelma menjadi universitas mumpuni dan kelas dunia.

Kuliah ke luar negeri memang tidak dilarang, karena kenyataannya ini telah dipraktikkan dari era Soekarno dengan mengirimkan para intelektual Indonesia ke negara-negara sosialis atau Soeharto yang mengirimkan para intelektual ke Amerika Serikat, terlebih Aceh di era transisi yang membutuhkan banyak tenaga ahli dan gagasan untuk membangun Aceh yang lebih baik nantinya. Kesalahannya hanya karena timbul mental rendah diri dan xenomania—asal dari luar negeri, pasti bagus. Ini menjadi permasalahan karena ada dari para intelektual ini yang tidak radikal atau tidak mengakar pada budaya Aceh yang adiluhung. Daoed Joesof berpendapat di Kompas (19/5), bahwa beberapa intelektual akhirnya menjadi intelektual prematur yang tidak bisa membedakan antara “memahami” pengetahuan atau “membenarkan” pengetahuan itu.

Mental rendah diri dan xenomania menjadi ironi, karena jika dilihat dari sejarahnya, mental bangsa Aceh tidaklah seperti itu, terutama saat Aceh belum menjadi bagian dari Indonesia. Sikap perlawanan terhadap penjajahan bangsa asing berkulit putih sudah digelorakan, sesuatu yang jarang terjadi di Jawa. Sikap bangsa Aceh yang menyaring pengaruh budaya asing seperti Arab dan India juga terlihat dari sedikitnya budaya-asing-utuh dapat hidup dan berkembang di Aceh. Proses akulturasi dan asimilasi budaya berlangsung di Aceh. Dalam konteks nasional, sikap anti-asing—terutama terhadap blok Barat—menguat di era Soekarno, khususnya di kalangan intelektualnya. Tetapi hal ini berubah di era Orde Baru yang sangat tunduk pada bangsa asing.

Saat itu, para teknokrat mengambil kebijakan yang sangat pro-asing. Sejak itulah satu per satu tanah Indonesia dicaplok dan diisap isinya. Saat itu, rezim diktator Soeharto memperalat para teknokrat untuk menyokong rezimnya tanpa syarat dan nalar. Sejak itulah banyak teknokrat yang menjadi hamba kekuasaan dan bersekongkol dengan rezim yang busuk itu, apakah mereka itu sebagai ekonom, insinyur, atau ilmuwan sosial. Penyakit Orde Baru ini juga menjalar sampai ke intelektual dan teknokrat Aceh. Tren ini muncul dan hingga sekarang masih menjangkiti para kaum terdidik Aceh. Apapun yang dari asing dianggap bagus dan tidak ada kritik terhadap apa yang dari asing itu, apakah itu dari Arab, Jepang, atau Barat. Tidak ada bedanya. Hal ini bermakna: di tingkat lokal produksi pengetahuan sudah lama berhenti.

Hal inilah yang menjadi sasaran kritik para intelektual Aceh lainnya yaitu semestinya sebelum para terdidik dikirim ke luar negeri sebaiknya tidak hanya dilatih bahasa asing tetapi juga dimentori budaya Aceh sejati—budaya yang bukan hanya tarian, makanan, pakaian, bahasa, tetapi juga cara/mental hidup. Para intelektual yang tidak mengakar dan tidak memiliki ikatan yang kuat dengan masyarakatnya akhirnya hanya akan mencerabut satu per satu budaya Aceh dan menjadi seorang xenomania. Contohnya saja seperti di masa rekonstruksi Aceh lalu. Dengan dalih bantuan dan hasil konsultasi asing yang mengampanyekan konsep praktik-terbaik, serta saran intelektual lokal lulusan luar negeri yang tidak berpola pikir keacehan, maka pembangunan Aceh dapat dikatakan tidak sepenuhnya berjalan di landasan budaya dan sosial masyarakat Aceh. Hasilnya: rangkaian rumah beton di sepanjang daerah bekas tsunami—hanya sedikit rumah berbahan dasar kayu yang sesuai dengan konteks Aceh yang dibangun; konferensi internasional pertama (2007) yang memakai dana dari bantuan tsunami di saat korban tsunami masih masih banyak hidup di hunian sementara; pembangunan Museum Tsunami yang menelan biaya lebih dari Rp70 M; mental uang untuk kerja; dan beberapa korban tsunami di Aceh Besar dan Aceh Barat yang masih tinggal di hunian sementara walaupun mandat BRR telah berakhir.

Persoalan mental inilah yang sebenarnya perlu segera diperbaiki untuk menghindari fenomena yang pernah dikhawatirkan oleh Saiful Akmal dan Heru Fahlevi di tulisannya terdahulu. Aceh tidak membutuhkan para intelektual yang hanya menjadi pemburu rente beasiswa, bermental rendah diri, xenomania, oportunis, pragmatis, materialis, hedonis, dan fatalis. Aceh membutuhkan para intelektual yang benar-benar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, berintegritas, dan punya kecintaan yang tinggi dengan kondisi budaya dan sosial masyarakat Aceh. Dan tentu saja, Aceh tidak butuh intelektual atau teknokrat seperti yang dipraktikkan di rezim orde baru. Kita tidak ingin, ilmu yang mereka peroleh dan dibiayai oleh penderitaan rakyat Aceh terjerumus untuk memperpanjang mata rantai penderitaan tersebut.[]

RIZKI ALFI SYAHRIL Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Ia Pegiat di Poros Aceh-Jogja. Pemilik akun twitter @rizkialfi

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU