Tuesday, April 16, 2024
spot_img

Otonomi Usus Buntu

Gus Dur, Presiden Indonesia keempat, saat hidupnya pernah bilang bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti taman kanak-kanak. Tapi ia kemudian meralat pernyataan itu dengan mengatakan statusnya sudah melorot menjadi playgroup. Sementara itu, para pelawak sempat stres karena dianggap sudah tidak lucu. Mereka kalah saing dengan anggota parlemen yang duduk di gedung Senayan. “Kelucuan” yang diciptakan para anggota yang katanya mewakili suara rakyat itu mencuat lagi.

Bermula dari kontroversi pengesahan Undang-Undang Pemilu yang secara langsung berdampak pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) terkait Komisi Independen Pemilihan dan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh. UU yang baru disahkan tersebut dianggap telah mengebiri kekhususan Aceh melalui UUPA. Yang bikin “lucu” Aceh punya 13 orang wakil di parlemen pusat yang menyandang gelar anggota DPR-RI dan 4 anggota senator atau DPD.

“Jadi untuk apa juga ada belasan orang di Senayan, ya?” tanya saya.

Cek Pan sambil membawa koran yang sudah mulai terlihat kumal membaca lagi berita yang tengah menjadi perdebatan serius di ruang publik. Biasanya di warung kopi, pemiliknya cukup membeli atau langganan satu koran, kemudian lembar demi lembar kertas itu dibaca para pengunjung silih berganti. Semakin bertambah waktu, siang, sore hingga malam, koran yang dibolak-balik puluhan orang itu mulai terlihat lusuh dan kumal.

“Bek lagee nyan lah. Itu anggota DPR dan DPD, wakil kita itu orang super sibuk.”

Saya tidak terima. Sepertinya syaraf-syaraf di dalam otak Cek Pan sedang konslet hari ini. Tumben, kayaknya ada sesuatu dengan Cek Pan.

“Sibuk apa Cek. Masak anggota dewan gak tahu undang-undang pemilu baru itu juga punya kaitan erat bagi undang-undang kita?”

UUPA saya sebut sebagai undang-undang kita karena undang-undang ini merupakan regulasi penting dari otonomi khusus di Aceh. Bahkan dari 34 provinsi di Indonesia, hanya Aceh yang punya undang-undang khas seperti ini. Maka posisinya menjadi krusial dan khusus.

“Jeh, awak nyan memang sibuk lah. Sibuk pikirkan diri sendiri”

Saya tersenyum, Cek Pan ternyata masih waras.

“Iya Cek. Hayeu that awak parlemen nyan. Dapat gaji dari uang rakyat, tapi mikirin rakyat malah gak sempat. Peu di peubut di gedung nyan?”

Kopi pancung di hadapan saya serasa ikut getir, merasakan diskusi saya dengan Cek Pan yang membahas tentang mandulnya wakil Aceh di pusat dalam mengawal kepentingan Aceh. Malah ada pernyataan dari anggota senator yang mengajak rakyat untuk bersatu dalam mengawal UUPA.

Nyan ka gura. Ka peng lom nyan. Pasti perlu anggaran untuk kawal ini atau itu, bentuk tim ini dan tim itu. Dikiranya kita tak tau. Lagi pula kenapa baru sekarang ada ide itu? Where have you been? Sleeping

Kalau sudah “panas” atau on fire begini, Cek Pan mulai terlihat kayak intelektual, salah satu cirinya muncul istilah-istilah dalam Bahasa Inggris.

“Kita takut lama kelamaan UUPA makin dikerdilkan dan mandul lalu tak berdaya. Aceh bukan lagi menjadi daerah otonomi khusus, tapi otonomi usus buntu”

Glekkk, saya hampir tersedak mendengar istilah dari Cek Pan, otonomi usus buntu. Apa itu?

Usus buntu atau appendix adalah organ di dalam tubuh yang jika mengalami radang, sakit dan makin parah, maka bisa dipotong atau dibuang melalui jalan operasi. Walau tanpa usus buntu manusia masih bisa hidup normal dan beraktifitas seperti biasa.

“Ya, lagee usus buntu nyan. Siapa tau suatu saat nanti UUPA akan “dibuang” karena dianggap sudah tidak penting lagi, malah dianggap mengganggu. Khususnya tidak penting bagi kepentingan mereka yang sedang berkuasa dan mengganggu kepentingan mereka juga. Nantinya, walau tanpa UUPA kita masih bisa hidup kayak biasa”

Omak, ngeri kali prediksi Cek Pan ini.

“Padahal kita juga punya senator yang dulunya sering bawa parang kemana-mana. Sejak jadi duduk di Senayan, saya gak pernah lagi lihat beliau bawa parang. Hawa ta kalon geu ba parang dalam sidang anggota dewan”

 “Jangan gitulah Cek, masak ke ruang sidang bawa-bawa parang. Kalau bawa laptop atau pakai setelan jas mahal bolehlah”

“Atau kalau gak mempan juga, ya sudah pasrah sajalah. Sambil bernyanyi-nyayi dengan gembira. Karena ada juga wakil kita yang jago main musik dan nyanyi. Setidaknya untuk menghibur hati yang gundah gulana karena UUPA.”[]

 

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU