Suparta ARZ/ACEHKITA.COM

MESTIZO, aku kembali terdampar di kotamu, Larantuka. Ini bukan keinginanku, tapi takdir menggariskan begitu.

Dari pulau ini [Lembata], tak ada kapal yang segera berangkat. Pilihannya, harus transit di kotamu, sebelum kembali ke geladak, yang mengangkutku ke Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Walau singkat, aku ingin menghabiskan malam bersamamu di taman, dalam remangan lampu pinisi, menanti bintang-bintang jatuh.

Aku ingin menatap bibir dan bola mata birumu itu, sambil mendengar cerita tentangmu, tentang cinta dan cita.

Juga ingin berkisah tentang pengalamanku, sepekan bermukim dengan ‘pemburu paus’ Lamalera.

Walau musim lewa [berburu] telah tiba, kami belum beruntung. Kami tidak berkesempatan menyaksikan bagaimana seorang Lama Fa [juru tikam] melompat menikam paus dari atas sampan.

Padahal April lalu, empat paus berhasil dijinakkan. Sedangkan tahun lalu, sebanyak 27 paus berhasil mereka tikam.

Kami tidak bisa menunggu lebih lama, selain ongkos yang berat untuk ukuran kantong kami, juga soal waktu, agar target menjangkau seluruh pelosok nusantara selama setahun tercapai.

Yah… Sejak seringnya kru-kru TV atau aktor narsis ‘menyogok’ pelaut agar mendapatkan akses khusus untuk berburu paus dengan konversi dolar, sampai sekarang semua punya patokan harga.

Kami hanya berkesempatan mendokumentasikan Lama Fa menikam Pari Manta, dan lumba-lumba dari Laut Sawu.
Merekam bagaimana makhluk besar itu meronta, membuat perahu oleng tak beraturan. Ini juga yang menyebabkan karib-guru saya, Dandhy Dwi Laksono, tersungkur ke laut bersama kameranya.

Di Lamalera aku mengenal Kotaro Kojima, orang baik berwarga negara Jepang. Orang kampung memanggilanya Pak Kota, dia menetap dua bulan setiap tahunnya di kampung ini di antara musim lewa [Mai-November], sejak 22 tahun silam. Dalam rantang waktu itu, dia berhasil mendokumentasikan puluhan paus saat di tikam.

Dia ikut melaut, meneliti, merekam, dan menulis tentang Pelaut Lamalera. Sejauh ini, sudah dia tuangkan dalam enam buku. Satu dalam Bahasa Ingris, sisanya dalam Bahasa Jepang. Tiga di antaranya kumpulan foto-foto, selebihnya cerita dilengkapi foto.

Darinya juga aku tahu, dua tahun lalu ada 12 nelayan bertaruh nyawa, perahunya hilang ditarik ‘seguni’ [paus pembunuh].

Kala itu, mereka mengejar ikan dikenal rakus ini, begitu tembeling [tombak] menancap, hitungan detik perahu tenggelam ditarik seguni ke dasar laut. Yang di perahu selamat, setelah berjuang hampir 10 jam berenang mencapai daratan.

Sejak 2003 Pelaut Lamalera juga mengenal mesin tempel, mereka menyebutnya Johnson. Sebelum itu, menggunakan layar dan dayung. Sebagian mereka masih setia dengan cara tradisional ini, tapi hanya digunakan oleh nelayan jaring ikan kecil atau pemancing.

Sudah menjadi tradisi Pelaut Lamalera, berangkat pagi, sorenya kembali. Pergi melaut secara berkelompok dan beriringan. Menyisir Laut Sawu di areal sekitar lima mil dari bibir pantai, menombak semua jenis ikan besar.

Bila melihat Paus, mereka tidak langsung menikam, tapi secepatnya kembali ke kampung sambil berteriak ‘Baleo’. Seisi kampung riuh, ibu-ibu beserta anak-anak keluar melihat dari pantai.

Para lelaki dengan gesit menyeret peledang mendekati paus, pada jarak tertentu peledang didayung sampai Lama Fa bisa menikam.

Peledang merupakan perahu kusus tak bermesin, dilengkapi layar yang parkir di daratan. Dari perahu inilah Lama Fa boleh menikam paus. Tidak dari perahu bermesin.

Selama meneliti di Lamalera, Pak Kota mencatat, 2007 merupakan tahun terbanyak Lama Fa menikam, yakni 44 ekor.
“Rekor terbanyak yang pernah diingat seorang pendeta, terjadi pada tahun 1940-han, yaitu 56 ekor,” begitu kata Pak Kota.

Selain Pak Kota, aku juga punya teman pelaut tangguh berambut ‘dreadlock’ ala Bob Marley. Robert Use Tapona nama panjangnya, tapi orang-orang memanggilnya obet. Dari perahu yang dikemudikannya lah aku merekam.

Ketika bertamu ke rumahnya, aku selalu disuguhi arak dari lontar. Dia juga menghadiahkan aku sebuah gigi paus.

Darinya, aku tahu kisah-kisah heroik ‘pemburu paus’. Kata Obet, jika berombongan, paus itu penolong sesama.

“Bila satu kena tembeling, yang lain datang membantu, ada yang menggigit tali tembeling. Pernah kejadian, perahu patah diseruduk, ada yang hancur kena kibasan ekornya, ada juga sampai Lama Fa mati,” Ungkap Obet.

Lama Fa merupakan orang-orang kuat bermental baja. Kuat agar tikamannya bisa menembus kulit paus. Selama musim lewa, Lama Fa tak boleh berhati kotor, ribut-ribut dalam rumah tangga juga pantangan.

Kerja keras tak kenal menyerah, membuat mereka selalu berhasil menyeret paus ke daratan. Tak mudah menaklukkannya, biarpun sudah kena tembeling, kadang Lama Fa harus menyelam mengiris kulitnya, supaya darahnya cepat habis. Jangan bayangkan mereka menyelam, memakai tabung oksigen.

“Setelah kulit putus, paus tak bertenaga lagi, kerena banyak keluar darah, setelah itu gampang di seret ke darat” begitu Obet mengisahkan.

Selain tentang pemburu paus, aku juga ingin bercerita soal pasar tradisional yang unik di pulau ini, pasar yang masih menukar barang dengan barang.

Di seluruh Nusantara, mungkin tinggal di Lembata tradisi ini masih berlangsung. Ada dua tempat yang disebut pasar barter, yaitu di Leworaja yang berlangsung setiap hari Rabu, dan di Lamalera setiap Jumat, transaksi hanya berlangsung sampai siang hari.

Pada hari itu, petani [orang gunung] turun kepasar membawa hasil kebun, sementara nelayan menyiapkan ikan. Mereka duduk berkelompok, beralas batu atau tanah, menunggu aba-aba melalui peluit Mandor.

Mandor adalah petugas kelurahan, tampangnya garang. Jika sedang marah-marah pada pedagang, suaranya besar, matanya melotot. Sebelum ada aba-aba dari dia, transaksi hanya diperkenankan dengan uang.

Sebelum masa barter akan berlangsung, Mandor berkeliling mengutip pajak, untuk kas desa.

Dalam bentuk uang, nominalnya seribu rupiah, juga menerima semua jenis barang, di tampung dalam karung yang dia usung.

Ada yang memasukkan lima buah pisang, dua tungkai jagung,10 biji pinang, dua ikat sayur, segenggam cabe, dua buah jeruk, sepotong daging paus, dua ekor ikan basah, dan beragam lainnya.
Setelah pajak terkumpul, Mandor segera meniup peluit. Seketika para nelayan berhamburan ke tempat petani menggelar bawaannya.

Mereka menawarkan ikan untuk ditukar dengan hasil tani. Ada yang ditukar dengan pisang, ikan dengan pinang, ikan dengan jagung, beras, kelapa, ikan dengan sayuran juga buah-buahan.

Takarannya saling pengertian dan sama-sama senang antara nelayan dan petani. Ketika berter berlangsung, pasar ramai dan gaduh.

Ah…
Seru…
Meriah…

Di tempat ini, kerap merasa diriku terdampar jauh kemasa lampau. Andai kau bersamaku menyaksikan semua keajaiban itu, cukup aku yang mendengar kamu berkisah.

Tapi bagaimana mengabarimu mestizo, nomor teleponmu saja aku tak punya. Semoga ada keajaiban yang menuntun langkahmu, aku menantimu di taman, malam ini… []

SUPARTA ARZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.