Wednesday, April 24, 2024
spot_img

Pilkada Aceh dalam Timbangan Resolusi Konflik

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh belum lagi sampai pada tahapan-tahapan paling menentukan seperti kampanye, pencoblosan dan penghitungan suara, namun berbagai pihak sudah gerah dengan ragam fakta seputar Pilkada Aceh 2011. Anehnya, dari hari ke hari kegerahan itu semakin membuat orang terbelah dalam bentuk kelompok yang bersifat pro dan kontra yang semakin menajam.

Terbentuknya kelompok dalam musim Pilkada tentu sangat wajar khususnya jika semua kelompok diasyikkan dengan usaha membangun basis dukungan untuk kandidat. Namun, di musim Pilkada Aceh 2011 ini sangat terasa adanya gesekan dan “percikan api” antarkelompok-kelompok yang terbentuk.

Terakhir, meski pihak ketertiban masih “berkelit” dengan menyatakan bahwa beragam aksi pengrusakan dan penembakan masih sebatas aksi kriminal biasa namun sulit untuk ditepis adanya keterkaitannya dengan musim Pilkada.

Bagi orang Aceh yang masih mau jujur dan masih bersedia berpikir bebas dalam situasi tarik menarik ini pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa dua atau lebih pihak di Aceh memang sudah sangat terasa adanya perbedaan tujuan, harapan, dan kepentingan serta cara pandang yang terus saling mempengaruhi hubungan. Lebih dari itu, berbagai kelompok atau pihak semakin keras usahanya untuk mencapai tujuan-tujuan secara bertentangan baik pada tingkatan pemikiran, emosi, dan tindakan.

Sungguh, itu semua sudah cukup untuk mengatakan bahwa Aceh sudah berada pada tingkatan konflik. Memang, konflik tidak selalu jelek khususnya manakala lewat konflik Pilkada ini bisa mendorong semua pihak untuk memperbaiki regulasi agar lebih bisa menjamin bagi terpilihnya pemimpin harapan semua.

Namun, sejauh ini pihak penyelenggara Pilkada tampaknya sama sekali tidak memiliki kemampuan manajemen konflik sehingga Pilkada justru menjadi sesuatu yang dikhawatirkan karena sudah dipandang sebatas jalan untuk mempertahankan ketidakstabilan atau memperkuat kekuasaan atas kelompok lainnya.

Meski sebatas kekhawatiran namun dalam timbangan resolusi konflik kekhawatiran itu tidak berdiri sendiri dan tidak muncul begitu saja. Minimal ia bertolak dari prasangka, salah persepsi, atau bertolak dari sesuatu yang lebih dalam seperti konflik informasi, konflik kepentingan, konflik struktural, konflik nilai, dan relasi. Inilah faktor-faktor pemicu konflik yang dalam musim Pilkada 2011 ini semakin bisa dideteksi perkembangannya, dari hari ke hari.

Tujuh bentuk perkembangan konflik berikut ini semakin bisa dirasa dan ditemukan dalam relasi kelompok-kelompok di Aceh saat ini, terkait Pilkada 2011, yakni: (1) semakin berkurang sikap kompromi, (2) stereotype semakin menguat, (3) komunikasi antarkelompok semakin berkurang dan cenderung “panas”, (4) menipis kepercayaan, (5) semakin tumbuh sikap asobiyah dan pemimpin sdh tidak kenal kompromi pada perubahan, (6) tidak berusaha untuk mencari titik temu, dan (7) semakin berkurang inisiatif untuk membangun komunikasi untuk berdamai.

Untuk lebih menyakinkan kita semua bahwa Pilkada Aceh 2011 sudah berada pada titik yang “berbahaya” karena sudah mulai condong pada tindakan kekerasan. Di mana-mana konflik masih dipandang sebagai sesuatu yang positif apalagi jika ia mendorong transformasi namun untuk tindak kekerasan sangat sedikit yang setuju. Sekarang cobalah simak dan cermati musim Pilkada ini. Jawab dengan jujur apakah semuanya terbebas dari kekerasan? Kekerasan bukan hanya tindakan fisik yang bisa melukai dan mematikan saja tapi ucapan yang kasar dan tidak pantas adalah juga tindakan kekerasan yang “melukai” jiwa-jiwa.

Timbangan resolusi konflik ini tentu sangat tidak asing bagi Aceh. Berbagai elemen masyarakat Aceh sudah sangat akrab dengan analisis konflik. Jadi sangat wajar manakala berbagai LSM di Aceh sejak dini sudah mewacanakan pentingnya “jeda” atau “moratorium” Pilkada. Mereka tentu tidak ingin ditertawakan oleh masyarakat karena sistem peringatan dini yang sudah tertanam pada diri mereka ternyata tidak berfungsi sehingga baru meradang kala sudah jatuh banyak korban.

Masihkah akan ada usaha untuk menyatakan bahwa Pilkada Aceh 2011 sebagai hajatan yang menggembirakan bagi semua? Tentu saja akan tetap ada. Bila perlu ragam logika dirangkai termasuk menyandarkan diri pada “kesuksesan” Pemilu 2004 yang sangat tinggi angka partisipasinya, yakni 94 persen. Jika ini terjadi dan akan diseriusi maka jangan salahkan jika ada yang berkata “belanda talet peurangoi ta cok.” Jangan marah juga jika muncul humor politik kalau Aceh (saboh) 3 sagoe sama dengan setengah yahudi (dua segitiga).

Berbuatlah sesuka hati asal bersiap jiwa dengan risiko yang kerap dialami oleh banyak mantan pemimpin Aceh: tidak dipeduli lagi oleh kawan sendiri yang dulu memuja-muji sampai berbusa. Selamat berhari libur di hari Minggu. []

Risman A. Rachman, Analis, berdomisili di Banda Aceh

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU