watchdoc
Ekspedisi Indonesia Biru. | WatchdoC

KAWAN-kawan di Watchdoc menyediakan nasi uduk dan semur jengkol. Menu sarapan itu disiapkan untuk tetamu yang hadir mengantar kepergian kami: Kamis, 1 Januari 2015.

Semula ingin berangkat dari salah satu lokasi yang membawa pesan keindonesiaan: entah Monas, bundaran Hotel Indonesia, atau Tugu Proklamasi. Jurnalis Farid Gaban pernah dilepas di Monas saat melakukan perjalanan jurnalistik keliling Indonesia  bersama Ahmad Yunus, 10 Juni 2009. Nama ekspedisinya ‘Zamrud Khatulistiwa’.

Pendiri Watchdoc, Andhy Panca Kurniawan, mengusulkan pelepasan di pelabuhan Sunda Kalapa. “Wajah Nusantaranya terlihat. Ada kapal-kapal phinisi.”

Ah, klise. Sudahlah, di sini saja,” kata Hellena Souisa, kawan di Watchdoc pada kesempatan lain.

Ihwal tempat start tak mendominasi persiapan kami. Apalagi Sunda Kalapa atau Tugu Proklamasi sudah dipakai Presiden Jokowi ketika mendeklarasikan kemenangannya. Panca atau Hellena jelas bukan pendukung Prabowo.Tapi mereka juga tak antusias dengan kemenangan Jokowi, meski kami di Watchdoc baru menyelesaikan film dokumenter ‘Yang Ketu7uh’, yang sejatinya juga bukan tentang kemenangan dalam proses pemilihan presiden.

Akhirnya kami putuskan di rumah Watchdoc saja, di Jati Cempaka, Pondokgede, Bekasi.

Persiapan dua bulan terakhir sudah menampakkan hasil: barang bawaan sebanyak tiga koli masing-masing ukuran 60 liter, tripod kamera, dan tas tangan. Itu belum termasuk kamera kecil dan peralatan lain yang menempel di motor.

Motor bebek bekas keluaran tahun 2003 dan 2005 ini punya tugas berat: membawa aneka perlengkapan dan salah satu pengendara yang bobotnya satu kuintal lebih. Perlengkapan liputan yang kami bawa memang ‘kebangetan’. Sebagai gambaran, ada sekitar 15 jenis barang yang harus di-charge baterainya, mulai dari kamera terbang, kamera selam, hingga handphone.

Dengan demikian, kami akan sangat tergantung dengan suplai energi listrik sepanjang perjalanan. Padahal, banyak lokasi yang tak ada listrik. Bahkan di pulau Jawa. Salah satu cara mengatasinya adalah membawa baterai cadangan sebanyak mungkin, dan melengkapi motor dengan charger.

Kami sepakat perjalanan ini kadung terlalu berat dan melelahkan untuk tidak mendapatkan hasil yang maksimal secara visual. Substansi cerita jelas jauh lebih penting daripada keindahan gambar. Namun bila dapat mengombinasikan keduanya, tentu memuaskan. Normalnya, semua perlengkapan liputan ini dibawa oleh 3-4 orang. Akibatnya, konsep ‘berkelana dan menggelandang’ di jalanan menjadi sulit dibayangkan. Paling mudah membayangkan tumpangan tempat dari kawan atau kenalan.

Indonesia Biru

Ekspedisi ini dinamai demikian bukan karena dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, atau karena memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Apalagi dikaitkan dengan visi kemaritiman presiden baru.

‘Biru’ adalah konsep sosial yang dikenalkan oleh cerdik pandai bernama Gunter Pauli asal Belgia, namun sesungguhnya sudah lama berkembang di Nusantara.

Dia tampaknya asal menyebut warna sebagai ganti ‘ekonomi hijau’ yang menurutnya justru makin mahal. Produk pertanian organik atau mebel yang dianggap ‘hijau’ atau bersertifikasi ramah lingkungan, harganya justru tak terjangkau orang kebanyakan.

Apalagi pada beberapa kasus, ‘ekonomi hijau’ justru menimbulkan masalah baru seperti konflik masyarakat dan kepentingan konservasi. Kisah nelayan yang ditembak di sekitar Taman Nasional Komodo atau yang dikriminalisasi karena mengambil kepiting di Taman Nasional Ujung Kulon, adalah misal.

Melampaui itu semua, ekonomi biru mengajak berhenti berpikir tentang globalisasi, sentralisme, dan penyeragaman, serta mulai mengembangkan sumber daya lokal, meretas ketergantungan, dan mengubah aturan main di berbagai sendi kehidupan.

Masyarakat Miangas yang tadinya dapat bertahan dengan talas, terpaksa tergantung pada beras yang pasokannya bisa berhenti hanya karena ombak besar di perairan utara Sulawesi.

Bila masyarakat tunduk pada ‘aturan main’ bahwa rumah yang baik adalah bangunan beton permanen —sehingga penggerusan sumber air warga Kendeng untuk membangun pabrik semen menjadi keniscayaan dan harga sahamnya meningkat —maka selama itu pula selalu ada yang kalah dan menang. Apalagi, tak selamanya kebijakan publik berpihak pada orang ramai.

Mengubah ‘aturan permainan’ adalah mengubah pola pikir bahwa masyarakat Indonesia sejatinya tinggal di zona gempa bumi, sehingga bangunan rumah beton permanen justru bisa menjadi mesin pembunuh. Permintaan bahan bangunan yang lebih pantas meningkat seharusnya malah bambu, yang lebih aman dan tidak mengorbankan sumber mata air untuk membangun pabrik semen.

Cerdik pandai lain yang mengilhami perjalanan ini adalah ekonom Inggris, EF Schumacher yang menulis ‘Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered’ yang dipublikasikan tahun 1973. Lagi-lagi gagasan ini sudah lama hidup di Nusantara. Idenya, jangan membuat repot diri sendiri dengan segala sesuatu yang besar, padahal yang kecil dan tepat guna, jauh lebih bermanfaat. Memulai usaha tak harus repot mencari pinjaman modal atau kredit, misalnya.

Mangut lele Mbah Marto di Yogyakarta tak membuka cabang, meski surplus pembukuannya memungkinkan untuk itu. Sama dengan warung ‘itiak lado mudo’ di Bukittinggi, Sumatra Barat yang rata-rata beromzet 25 juta rupiah per hari.

Mbah Marto membuka warung rumahannya menjelang makan siang, dan tutup begitu hidangan habis. Tak ada shift dua atau shift tiga di dapurnya. Di Lumajang, Jawa Timur, ada warung rujak cingur yang tutup setelah terjual 60 bungkus. Tak peduli masih ada antrean pembeli.

Tak ada ekskalasi produksi atau ekspansi untuk meningkatkan kekuatan pasokan guna merespon demand yang terus meningkat. Tak ada produksi massal, tak ada beban bunga kredit, dan tak ada isu perburuhan.

Gagasan-gagasan ini bukan anti-pertumbuhan atau kemajuan. Tapi gagasan ini jelas tak disukai pemuja globalisasi dan modal besar. Sebagian akan dianggap klenik. Sebab Nusantara memang menyimpan ribuan kearifan yang dibalut lewat mitos atau tabu. Ini adalah bagian dari gagasan ‘mengambil seperlunya dari alam’ seperti yang dilakukan masyarakat di pulau Enggano (Bengkulu) pemakan penyu di perayaan-perayaan tertentu atau masyarakat pemburu paus untuk konsumsi di Lamalera.

Apakah mereka dianggap lebih kejam dari industri perkebunan kelapa sawit atau kertas? Atau penyedia air minum dalam kemasan dan penambang batubara?

Hutan larangan di Baduy, Banten, adalah contoh lain bagaimana konservasi pada hutan primer dibungkus dengan kesakralan adat, atau masyarakat Ciptagelar yang tidak memperdagangkan padi dengan balutan ‘mitologi’ yang menutupi ide besar tentang konsep ketahanan pangan.

Ekspedisi ini ingin merekam dan mendokumentasikan semua itu sebagai bagian dari ingatan kolektif bangsa Indonesia. Agar kita dan generasi baru nanti dapat belajar. Tak perlu selalu setuju. Tapi setidaknya ada percakapan publik dan bahan pengetahuan baru. Bila memang ini tugas media atau jurnalis, kami pun menyebutnya ‘backpack journalism’.

Perjalanan Dimulai

Sudah jam 09.30 WIB, ketika kami berkumpul dan Panca mulai ritual memecah kendi.

“Ini adalah simbol pecahnya cita-cita atau keinginan yang selama ini tersimpan, dan semoga terwujud dalam perjalanan ini,” ujarnya merasionalisasi acara seremoni.

Sejatinya tak hanya kendi atau cita-cita yang pecah, semua celengan (tabungan) juga kami pecah untuk melakukan ekspedisi ini. Ada sponsor atau tidak, gagasan ini harus diwujudkan.

Kami akan mengambil rute dari ujung barat pulau Jawa dan berjalan ke arah timur. Ini rute yang berlawanan dengan Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa, lima tahun sebelumnya. Tujuan pertama adalah masyarakat Baduy Dalam di Kabupaten Lebak. Dari sana, kami akan menyisir Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Papua, Kepulauan Maluku, dan terus ke barat memasuki Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra.

Bila semua berjalan sesuai rencana, kami akan kembali ke Jakarta sebelum tahun baru 2016.

Jamnya tiba. Setelah berpamitan, kami  mulai meninggalkan Pondokgede, melintasi jalanan kota Jakarta yang lengang karena malam harinya banyak orang menyalakan petasan, merayakan tahun baru.  Tapi perjalanan yang dibayangkan epic ini langsung buyar ketika di bawah jembatan layang Senayan, lampu utama motor Suparta ‘Ucok’ Arz, mati.

Motor keluaran tahun 2003 itu langsung masuk bengkel di daerah Pesing, Jakarta Barat, hanya setengah jam setelah seremoni pelepasan memecah kendi. Benar-benar anti-klimaks.

Setelah bohlam diganti, di bawah guyuran hujan bulan Januari, kami mulai menapaki jalan menuju tempat di mana globalisasi tak dianggap takdir sejarah dan pembangunan punya definisi sendiri: Baduy. [bersambung]

DANDHY D. LAKSONO (@dandhy_laksono)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.