Friday, March 29, 2024
spot_img

Promosi Kesehatan

Promosi Kesehatan

Saiful Mahdi*

Warga Kota Banda Aceh dan kota lain di Aceh mungkin melihat perubahan pada sejumlah billboard  di seputar kotanya. Ada sejumlah billboard yang sejak beberapa saat lalu menampilkan “Promkes”, promosi kesehatan. Ini adalah program Dinas Kesehatan Aceh yang layak kita apresiasi.

Bagi saya, ini adalah sebuah terobosan penting. Karena selama ini ruang publik kita, tempat-tempat strategis dimana billboard itu dipancang, kebanyakan diisi oleh promosi produk-produk bisnis atau wajah mencolok barisan para politisi, atau sesekali para “tokoh” organisasi tertentu termasuk organisasi mahasiswa.

Produk bisnis yang dipajang umumnya produk konsumtif, didominasi iklan rokok, kenderaan bermotor, atau sesekali produk elektronik atau gawai (gadget) terbaru.

Jika sedang diborong partai atau tokoh politik, maka baliho-baliho itu tampak didonimasi barisan wajah-wajah besar yang dianggap atau menganggap dirinya “tokoh”. “Meu-ablak meunan,” (nomplok begitu) kata sebagian teman.

Seringkali barisan wajah itu tidak menarik. Apalagi kalau jargon yang ditampilkan tentang “rakyat”, tapi justru tak ada wajah rakyat yang muncul di billboard yang begitu besar yang konon berharga jutaan untuk sewa pakai sebulan.

Dunia digital printing memang telah membuat narsisme makin mudah diekspresikan. Tapi mungkin lain kali para tokoh atau yang menganggap dirinya tokoh bisa lebih sensitif untuk tidak memaksa kami, warga kota, untuk selalu bersirobok dengan wajah meu-ablak Anda.

Narsisme para politisi itu kini ikut menjangkiti para mahasiswa yang kalau buat kegiatan, tak peduli level paguyuban setingkat kecamatan ataupun nasional, ikut memaksa warga kota untuk melihat wajah sekretaris panitia sampai pembina yang ditokohkan mereka. Padahal, besar kemungkinan sebagian besar warga kota tak kenal dan tak peduli dengan wajah-wajah yang dipampang itu.

Hadirnya negara  

Keberadaan billboard promosi kesehatan ini menarik karena beberapa alasan. Pertama, tentu saja materi promosi kesehatan itu penting dan perlu untuk warga kota. Ajakan makan buah dan sayur dan melakukan kegiatan fisik minimal 30 menit setiap hari adalah pengingat yang penting dan diperlukan warga kota.

Kedua, gambar dan narasi pada baliho-baliho yang berisi PromKes itu cukup menarik, mudah dibaca, dan informatif. Menariknya, tak ada wajah tokoh manapun, tak ada wajah tak proporsional gubernur dan wakil gubernur yang biasanya seperti “wajib ada” dalam semua pajangan dinas atau instansi pemerintah. Juga tak ada wajah kepala dinas kesehatan.

Tak munculnya wajah para tokoh atau kepada dinas itu membuat pesan pada baliho itu lebih indenpenden dan karena itu lebih mudah diterima oleh semua pihak. Bukan tidak mungkin, pesan yang sebenarnya penting dan perlu untuk warga malah tak dibaca sekelompok warga karena sedang baper sama seorang tokoh yang wajahnya dipasang besar-besar pada billboard besar di simpang strategis.

Ketiga, promosi kesehatan untuk keluarga sangat dibutuhkan oleh rakyat Aceh. Data-data menunjukkan banyak indikator kesehatan kita di Aceh termasuk yang paling buruk di Sumatra bahkan Indonesia. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Aceh adalah yang tertinggi di Sumatera. Demikian juga dengan angka stunting (pengerdilan) pada balita.  Setiap 100 balita di Aceh, 40 di antaranya mengalami pengerdilan (Riskesdas 2013).

Tahun 2016 lalu kita dikagetkan dengan temuan bahwa enam dari tujuh indikator pada Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) Aceh adalah terburuk di Sumatra. Selain AKB dan AKI, Aceh juga terburuk dalam kesehatan lingkungan dan penanganan penyakit menular.

Walaupun kita boleh berbangga dengan JKA, kemudian JKRA, dan cakupan jaminan kesehatan yang makin luas dengan adanya BPJS, pendekatan yang lebih bersifat promotif dan preventif adalah kunci keberhasilan peningkatan standar kesehatan di Aceh pada masa yang akan datang. Pendekatan kuratif tidak akan berkelanjutan dari segi apapun, terutama dari segi pendanaan, jika pendekatan promotif dan preventif tidak digenjot sejak sekarang, sebelum dana otsus Aceh habis pada 2025 nanti.

Keempat, dan ini yang terpenting, baliho PromKes itu adalah pertanda hadirnya negara dalam usaha memberi informasi bermanfaat dan melindungi warganya. Karena kalau bukan negara, bisa dipastikan hanya para pemilik modal, para pengusaha dan politisi dari partai politik besar saja yang mampu membayar sewa-pakai billboard di simpang-simpang strategis itu.

Walaupun belum tentu bisa mengalahkan pengaruh iklan aneka makanan dan minuman cepat saji, terutama mi instan, rokok, dan aneka produk konsumtif lainnya, iklan seperti PromKes itu setidaknya menunjukkan pada warga adanya pilihan lain untuk hidup sehat dan sejahtera. Kalau rakyatnya tak mengindahkan, mungkin negara tak sepenuhnya bisa disalahkan lagi.

Terimakasih Dinas Kesehatan Aceh yang telah menyelamatkan kami dari pemaksaan untuk melihat wajah-wajah dan produk-produk yang dipampang besar-besar di depan kami. Karena wajah-wajah itu belum tentu enak dipandang, dan produk-produk itu belum tentu baik, aman, atau paling tidak belum tentu berguna untuk kami.

Sebaliknya, promosi kesehatan bisa jadi salah satu usaha penyelamatan generasi Aceh masa depan. Ayo Dukung Promkes!

*Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc., Ph.D adalah Ketua Program Studi Statistika FMIPA Unsyiah; Alumni Cornell University. Isi tulisan dan kolom ini adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU