Jiwa kami untuk negeri
Darah kami mengalir untuk negeri
Air mata kami untuk negeri
Harta kami untuk negeri
Jasad kami pastinya jua untuk negeri
Ke mana negeri mengalunkan aku
Di mana negeri melantunkan lirik merdu
Bagaimana negeri saat proses menyatu
Rabun mata kakekku menayang sesuatu
Buliran syahdu mata biru menyirat aku
Sebutir telur, sebongkah peniti, setuang madu
Menjual diri membeli Dakota satu
Menghempas sayap menyusuri ruang tatap
Mewakili bait nama di atas atap
Aku mengingat, tergores pengap
Kakek tersedu kala merindu menatap
Masa silam saat api perang tinggal asap
Aku tertatap, kakek pernah bermalam dalam asap
Kakek bicara harkat martabat
Sumbangan rakyat pernah dikhianat
Tugu Monas menyambang pekat
Berpoles pangkat di atas derajat
Lambang negeri meninggi menatap dekat
Sang pembual janji telah berkhianat
Rakyat kembali melarat
Butir telur, bongkahan peniti, madu yang terikat
Korban pemimpin kala sekarat
Puluhan tahun telah berlalu
Serasa cepat di mata memalu
Ratusan rakyat mati mendengar ketukan palu
Ribuan jasad berlalu di semak benalu
Aku hadir; semuanya telah berlalu
Tinggal butir janji tandatangan dulu
Mewujudkan aku dalam kedamaian selalu
Kakek mengerut kening keriput
Berjalannya seperti siput
Lambat melaun, tapi tidak merasa takut
Aku hening dalam bayangan menakut
Akankah kami kembali akut
Rentetan senjata tidak lagi takut
Demi negeri yang dikhianati pengecut
Bendera, lambang, filosofi nanggroe tertulis rapi
Dalam bait perjanjian di Helsinki
Aku menatap sepi mengharap janji
Seakan sejarah terulang kembali
Emas Monas, Seulawah 01 serta banyak lagi
Terbuai sia dalam pengorbanan cinta mati
Dua periode telah bersemi
Masalah ini belum teratasi
Karena semuanya didasari janji yang tak pasti.
Keumala, 19 November 2015
HABIL RAZALI, Siswa SMA Negeri 1 Keumala, Pidie. Santri Dayah Darul Kamaliyah, Masjid Raya Keumala.