Ekspedisi Indonesia Biru

RAJIMAN (25) harus membayar uang semesteran 600 ribu Rupiah di sebuah perguruan tinggi di Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Yang ia lakukan kemudian adalah pulang ke kampungnya di Galela, Halmahera Utara, untuk memanen kelapa dan mengolahnya menjadi kopra.

Setelah bekerja dua hari dibantu ketiga kawannya yang juga mahasiswa, ia berhasil menjual sekitar 200 kg kopra dengan harga 1,2 juta rupiah. Kopra Maluku Utara sebagian besar dikirim ke Filipina, lalu ke Surabaya dan Manado untuk diolah –di antaranya– menjadi minyak (goreng) kelapa.

Kepulauan Maluku tak bisa dilepaskan dari kopra, sebagaimana terlihat dari foto udara di kampung Worangira, Tobelo Barat, Halmahera Utara.

Indonesia sendiri merupakan negara dengan tanaman kelapa terluas di dunia yang mencapai 3,8 juta hektare. Di mana 97 persen di antaranya adalah perkebunan rakyat dengan skala 200-500 pohon seperti milik keluarga Rajiman ini.

Tapi dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk Maluku Utara, kopra sama sekali tak dilirik. Cetak biru pembangunan ekonomi nasional yang dibuat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo, justru mengarahkan Maluku Utara ke sektor pertambangan (nikel). Lalu disusul perikanan.

Padahal kelapa (kopra) dapat menggantikan CPO kelapa sawit untuk produk-produk tertentu seperti minyak goreng, yang bila diolah dengan teknik yang tepat, menghasilkan produk yang lebih sehat.

Saat ini sawit seolah dianggap ‘takdir sejarah’ yang tak dapat dihindari, sehingga penggerusan hutan dan tanaman pangan terus dilakukan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Bahkan telah masuk di pulau sekecil Halmahera di bagian selatan.

Di sisi lain, potensi lokal seperti kelapa yang secara de facto menjadi basis ekonomi masyarakat, justru tak masuk dalam rencana pembangunan.

Konsep industri yang mono-kultur memang tak cocok bagi perkebunan kelapa rakyat yang multi-kultur. Di tangan masyarakat, kebun kelapa juga ditanami coklat, pala, singkong, pisang, bahkan cabai dan pakis liar untuk sayuran. Dalam konteks ketahanan pangan dan diversifikasi sumber ekonomi, inilah kunci survival masyarakat menengah ke bawah.

Bahkan saat menunggu kelapa berbuah di usia pohon tahun kelima, padi ladang masih dapat ditanam untuk dipanen setahun sekali.

“Ketika krisis 1997-1998, kami tidak merasakan dampak karena basis sumber ekonomi kami kuat. Kalau harga kopra jatuh, ada pala. Kalau jatuh semua, tetap bisa makan kasbi (singkong) dan pisang,” kata Jesaya Banari, budayawan Tobelo, Halmahera Utara.

Sementara industri mono-kultur seperti sawit, tak memberi ruang untuk tanaman lain.

Monokultur seperti sawit, pisang, atau singkong untuk tapioka yang telah masuk Halmahera, bagi masyarakat, ibarat menaruh seluruh telur di keranjang yang sama.

Pakar investasi, ekonom, dan fund manager manapun tak akan menyarankan itu pada para investor, untuk mengurangi risiko. Tapi Negara dan modal, justru melakukannya pada rakyat sendiri. []

DANDHY D. LAKSONO | SUPARTA ARZ (EKSPEDISI INDONESIA BIRU)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.