Thursday, April 25, 2024
spot_img

RESENSI | Keumala: Sabang yang Teralienasi

Keumala | 2012 | Sutradara: Andhy Pulung | Negara: Indonesia | Pemain: Abimana Aryasatya, Nadia Vega, Shilla Vaqa Ismi, Cut Yanti, Arturo GP, Islamuddin, Mahdi Spn, Syeh Jakaria

MIRIS sekali cara ibu Keumala (Cut Yanti) mengasingkan anaknya yang tunanetra. Apakah seorang ibu—walaupun cuma sekadar ibu angkat—tega membiarkan anak perempuannya hidup sendirian di sebuah pondok di pinggir pantai yang lintasannya berundak-undak dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri? Apakah ada seorang ibu yang tega tidak merawat anaknya yang sakit dan cuma menitip mengantar makanan yang ditaruh dalam sebuah set rantang pada seorang bocah perempuan bernama Inong (Shilla Vaqa Ismi) untuk diberikan pada Keumala (Nadia Vega) setiap harinya?

Pola ini sama seperti sejarah panjang pola pemasungan orang gila (sakit jiwa) yang sering dan masih dapat ditemui hingga hari ini di daerah asal cerita film ini, Aceh. Ada beberapa keluarga yang jika anggotanya sakit jiwa akan memasung atau merantai dan dibiarkan hidup sendiri di sebuah tempat, biasanya di bagian belakang rumah. Alternatif lainnya: dikirim ke rumah sakit jiwa. Pola pemasungan yang pertama tentunya menjadi antitesis karena di tempat pengambilan gambar dan latar film ini, Pulau Weh (Sabang), pernah mahsyur dengan sebutan pulau orang gila pada zaman Hindia-Belanda. Kaum kompeni pernah mendirikan rumah sakit jiwa terbesar di Nusantara yang hingga sekarang gedungnya masih aktif digunakan sebagai Rumah Sakit Pangkalan TNI AL J. Lilipori.

Keumala adalah seorang introvert. Dia menyimpan semua cerita hidup dan masalahnya sendiri. Dia adalah seorang penulis novel dan sosok yang dia tampilkan di depan khalayak, khususnya pembaca novelnya, sangatlah berbeda dengan aslinya. Dia cuma bisa menginspirasi orang lain, tapi hidupnya berjalan dengan kesendirian dan kekecewaannya terhadap penyakit yang dideritanya. Pada sebuah masa yang teduh bertempat di pinggiran laut yang indah—bukan di rumah sakit atau ruang praktik dokter— sang dokter yang diperankan oleh Islamuddin (sekarang masih menjabat sebagai Wakil Wali Kota Sabang) mengatakan bahwa Keumala divonis menderita sebuah penyakit degeneratif mata yang sifatnya genetik (turunan) yaitu retinitis pigmentosa. Awalnya dia cuma rabun senja (rabun ayam). Seiring waktu, penyakitnya berkembang hingga berujung pada kehilangan penglihatan total.

Keumala

Tidak ada kronologi waktu yang linear dalam film ini. Jika penonton tidak jeli maka akan kebingungan dan menerka-nerka sendiri. Penonton langsung disajikan sosok Keumala yang pulang ke rumah setelah delapan tahun meninggalkan rumah itu dan belum pernah kembali. Sosok Keumala yang dalam keseharian sering cuma berkaos dan bercelana jins atau legging bisa jadi tidak merepresentasikan sosok perempuan muslim di Aceh yang akrab dengan pakaian islami dan kain penutup kepala (jilbab). Walau terasa seperti sebuah anomali, penggambaran ini kurang lebih akurat.

Penduduk Sabang, daerah yang terpisah dengan Aceh Daratan, tidak begitu ketat dalam penerapan aturan syariat Islam. Benar bahwa jika kita berkunjung ke Kota Atas (Sabang), kita akan menemukan kantor Polisi Syariat, yang biasanya di Aceh Daratan bertugas untuk menertibkan perempuan-perempuan tidak berjilbab atau pelaku pelanggar aturan syariat lainnya, tapi hal ini jarang berlaku di Sabang. Di Sabang, jarang kita dengar dan temui adanya razia penerapan pakaian islami. Penduduk Sabang khususnya generasi muda perempuan jarang memakai jilbab di luar jam sekolah. Kita dapat melihat para perempuan tidak berjilbab, memakai celana pendek, baju ketat, berbaur dengan lelaki di sepanjang pinggiran pantai sepanjang Iboih hingga Anoi Itam, dari Balohan hingga Keunekai.

Dalam film itu, sosok Keumala lebih banyak berlaku sebagai narator yang seolah-olah sedang mengarang surat untuk sosok lelaki yang dicintainya. Dialog yang dibangun juga penuh kata-kata puitis dan cenderung metaforik. Dalam perjalanan pulangnya ke Aceh menumpang KM. Kelud rute Tanjung Priok ke Belawan, Keumala tak sengaja bertemu dengan Langit (Abimana Aryasatya), seorang fotografer yang sedang melaksanakan pameran tunggal fotonya di dinding balkon kapal itu. Saat itu ia sedang mencoba mengabadikan senja dari bagian atas kapal. Keumala sudah duluan berada dan sedang membuat sketsa lembayung senja itu. Momen bersama ini memantik awal mula hubungan keduanya. Hampir di sebagian besar bagian film adalah sesi argumentasi antara mereka berdua, mulai dari perdebatan tentang profesi, selera/kegemaran, parfum Langit, hingga kritik hasil kerja mereka masing-masing.

Menariknya dan juga menjadi ironi adalah mereka hanya dapat akur saat suatu waktu Langit mengganti namanya menjadi Artur dan bertingkah seolah-olah tunawicara dan Keumala juga sudah menjadi tunanetra. Mereka menghabiskan waktu berdua dengan melakukan banyak aktivitas. Paling tidak masuk akal adalah saat mereka snorkling. Bukankah saat itu penonton sudah disuguhkan tayangan bahwa Keumala menjadi rabun total—tidak hanya rabun senja? Bagaimana dia masih dapat memakai alat snorkling dan melihat dunia bawah laut? Bukankah jika dia sudah dapat melihat, maka secara otomatis kedok Langit yang bersembunyi dengan nama Artur akan segera terbongkar?

Sabang

Untuk mempromosikan pariwisata dan keindahan Pulau Weh (Sabang)— yang terletak di paling Utara Pulau Sumatera—serta kebudayaan Aceh, film ini berhasil menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa unsur kebudayaan dan tempat pariwisata Aceh ditampilkan seperti penggunaan bahasa Aceh saat dialog antara Inong dengan Ayahnya dan Pak Pos; Mesjid Agung Babussalam Sabang; pasar Sabang; Pulau Rubiah; pondok-pondok di Iboih dan Sumur Tiga; penunjuk jalan ke kilometer nol Indonesia; bakpia khas Sabang; Gunung Api Jaboy; kawasan Benteng Jepang Anoi Itam; visualisasi keindahan bawah laut yang ditampilkan di detik awal, pertengahan, dan akhir film. Sayangnya sutradara tidak mengambil gambar kapal penyeberangan dari Banda Aceh ke Sabang dan pelabuhan Balohan tapi malah menyorot kapal dan pelabuhan Priok dan Belawan.

Pertanyaannya, apakah film ini bisa mengangkat kekayaan historis Pulau Weh atau sekadar menjadikan Pulau Weh sebagai alasan bagi pembuat gambar untuk mendapatkan scene indah saja?

Hal ini penting, karena dahulu Pulau Weh (Sabang) pernah maju dan menjadi pelabuhan bebas sejak tahun 1895 serta bandarnya disinggahi kapal api berbadan besar yang mengangkut batu bara dan komoditas perdagangan lainnya. Pulau Rubiah di gugusan Pulau Weh juga menjadi tempat karantina jamaah haji. Letak Sabang juga lebih strategis dibandingkan Singapura di jalur pelayaran penting Selat Malaka. Foto kuno yang menampilkan kejayaan Sabang di masa lalu dapat kita temukan di portal Wikimedia Tropenmuseum (Belanda). Status pelabuhan bebas dicabut pada tahun 1985 dan sejak saat itu bandar ini menjadi sepi, hingga di tahun 2000 Pemerintah RI akhirnya kembali membuka Sabang sebagai pelabuhan bebas. Saat ini aktivitas bandarnya belum sepadat dahulu, tapi yang lumayan ramai adalah intensitas wisatawan baik domestik maupun asing yang ingin melihat tempat yang pernah dijuluki oleh mantan Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata, sebagai salah satu surga yang tersembunyi (hidden paradise). Hal terakhir ini sajalah yang tercermin dalam film melalui eksplorasi keindahan alam untuk scene yang indah. Seperti Keumala, Sabang juga sama teralienasinya dalam film ini. [telah dipublikasi di cinemapoetica.com]

BIODATA PENULIS
RIZKI ALFI SYAHRIL beraktivitas di Liga Kebudayaan Komunitas Tikar Pandan. Saat ini sedang melanjutkan pendidikan di Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, juga salah seorang kontributor @iloveaceh

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,500SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU