Friday, March 29, 2024
spot_img

Resolusi Sengketa Penjual Mie

“Telolet..telolet…” ponsel saya berbunyi. Supaya kekinian, saya sengaja ubah nada SMS dengan bunyi klakson bus yang sedang nge-hits itu. Saya buka dan baca isinya, ternyata dari Cek Pan.
“Urgent! Segera merapat ke posko. Kapaloe, nanggroe dalam keadaan darurat. Awak meukat mie, teungoh demo”

Ah, lebay kawan satu ini. Saya memang berencana untuk ngopi di warkop Cek Pan, yang disebutnya sebagai posko itu malam ini. Saya juga tahu sudah seminggu ini Bang Joni sudah pensiun dari profesinya penguasa lapak mie di warkop Cek Pan. Alasannya sederhana, ia ingin menjalani masa tua dengan tenang dan menikmati jerih payahnya setelah berdagang mie di depan warung Cek Pan selama lima tahun. Mau liburan ke Maldives, salah satu agenda pentingnya.

Mie adalah salah satu jenis kuliner yang ada di Aceh, sangat khas dan berbeda dengan mie lain di nusantara. Makanya, orang-orang yang luar Aceh menyebutnya dengan Mie Aceh, untuk membedakannya dengan mie lain, seperti mie tiaw atau mie instan.

Saya belum pernah mencicipi mie dengan embel-embel nama suku di belakangnya, seperti Mie Padang, Mie Jawa, atau Mie Madura. Belum pernah saya dengar itu. Mungkin ini juga salah satu keistimewaan Aceh, yang membuatnya berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, bahkan sampai ke urusan mie.

Karena tidak menggunakan nama Mie Aceh, warung-warung yang menjual mie biasanya mem-brandingnya dengan nama penjual atau daerah asal, seperti Mie Razali, Mie Dun, Mie Abu, Mie Leupung atau Mie Bireuen. Dapat dipastikan hampir semua warkop di Aceh menjual mie yang biasanya diposisikan di depan warung. Variasinya juga beragam mulai dari mie udang, mie kepiting, daging hingga mie spesial, yang diolah dalam kategori mie goreng, mie rebus atau mie kuah. Saya sendiri lebih suka Mie Gorbacep, singkatan dari goreng basah (telor) ceplok.

Warung Cek Pan malam itu sangat padat, walaupun tak terlihat adanya indikasi emergency seperti yang saya baca di SMS. Untuk mengganti Bang Joni, Cek Pan membuka lowongan bagi calon pedagang mie. Ada beberapa kandidat yang berkompetisi, namun yang lulus seleksi tahap akhir hanya dua, Bang Derih dan Bang Jek.

Bang Derih sebenarnya pemain lama, ia pernah jualan di warkop Cek Pan, namun karena alasan kesehatan, ia sempat meninggalkan profesi sebagi penjual mie, beralih menjadi mugee eungkot. Katanya, profesi ini membuatnya lebih santai karena sering jalan-jalan membawa ikan dagangan bersama sepeda motor dan dua keranjang di belakang. Ingatan sebagai penjual mie yang memiliki keuntungan materi lebih, membuat Bang Derih kembali ke profesi awalnya.

Sementara, Bang Jek dulunya adalah asisten Bang Joni, yang tugasnya antara lain mengantar pesanan hingga cuci piring. Kini Bang Jek cukup pe-de untuk menggantikan Bang Joni sebagai chef.

Bagi Cek Pan, untuk memilih dari dua calon penjual mie ini cukup bikin pusing. Untuk itu ia mengadakan survey kecil-kecilan, guna menanyakan preferensi pelanggan warkopnya terhadap calon penjual mie. Ia membuat riset tersebut dengan alasan tak mau kalah dengan perusahaan-perusahaan hebat yang sering membuat riset tentang produknya.

Sebenarnya yang bikin suasana malam itu berbeda adalah para penggemar masing calon penjual mie. Bang Derih dan Bang Jek membawa para pendukungnya, terdiri dari teman sekampung, sanak famili, keluarga, hingga orang bayaran yang dikondisikan seolah-olah fans berat penjual mie tersebut. Belasan orang itu dengan caranya masing-masing berusaha mempengaruhi keputusan pemilik warung yang juga sahabat baik saya itu.

Masing-masing pihak merasa hasil survey telah memenangkan mereka. Kedua calon itu lumayan ngotot karena sudah terlebih dahulu melakukan deal-deal dengan para pemasok bahan baku mie dari daerah lain. Seperti Bang Jek yang sudah menerima kiriman bahan baku mie satu kontainer dari Koh Awok, “pemain” terigu dari Medan. Atau Bang Derih, yang sudah berhutang banyak kepada bank untuk modal usahanya.

Seorang pendukung Bang Jek mulai menyampaikan uneg-uneg saat berdiskusi dengan kami.

“Kalo Bang Jek tidak jadi jualan di warung ini, maka kamoe ateuh nan bansa Aceh akan boikot pajoh mie bak warong nyoe.”

Asisten Bang Jek yang mulai naik darah, mengancam, “Lon hana jamin keselamatan soe-soe mantong nyang jeep kuphi di sinoe.”

Dari kubu Bang Derih tak mau kalah.

“Mie kamoe adalah yang paling mangat, hana lawan. Pokok jih the best.”

Menyoe mie Bang Derih hana di warong nyoe, saya berhenti ngopi di sin ini”

Beragam argumen disampaikan oleh para pendukung kandidat. Perasaan saya bercampur baur antara ngeri dan lucu. Ngeri membayangkan ancaman-ancaman yang keluar dari mulut mereka. Di sisi lain saya merasa sangat lucu, karena hanya masalah perebutan lapak jualan mie dua kelompok yang memiliki suku yang sama, kulit serupa, agama sama, namun bertikai demi merebut posisi penjual mie. Bahkan kedua penjual mie ini sendiri sebenarnya memiliki guru yang sama pula, yaitu seorang master pembuat mie keturunan Tionghoa, Babah Liem. Sungguh saya tak habis pikir.

Saat saya membaca hasil survey yang dibuat Cek Pan, harus diakui Bang Derih punya penggemar yang lebih banyak, walau selisihnya tipis. Sebenarnya gampang saja bagi Cek Pan atau saya yang ditunjuknya secara mendadak sebagai Ketua Mahkamah Sengketa Mie, untuk menunjuk Bang Derih yang lulus seleksi ini. Namun mengingat ancaman-ancaman akan larinya konsumen membuat saya dan Cek Pan harus berfikir lebih keras lagi.

Tiba-tiba saya dapat inspirasi, lalu membisikannya ke telinga Cek Pan. Ia manggut-manggut tanda setuju sambil tersenyum lega.

Akhirnya, karena dipercaya sebagai ketua mahkamah, saya memanggil kedua penjual tersebut.

“Bang Derih dan Bang Jek, mengingat, menimbang, mudharat dan manfaat, dan sebagainya. Maka kami memutuskan. Ehm..Ehm…”

Mereka terlihat serius memperhatikan saya.

“Cek Pan sebagai pemilik warkop ini dan saya memutuskan, bahwa untuk sementara kami tidak menerima penjual mie dulu sampai situasi kondusif. Artinya, ban dua awak dron hana diterimong untuk meukat di keudee nyoe.”

Keduanya tentu kecewa. Tapi mereka tampak lega karena lawannya tidak menang. Tak ada juara dalam persaingan ini.[]

*Banda Aceh, 18 Februari 2017

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU