Sunday, April 14, 2024
spot_img

Sedikit-Sedikit KEK, Ke Rakyat Kok Cuma Sedikit?

Jika dimasukkan dalam kategori pengusaha, maka Cek Pan boleh dibilang pengusaha warung kopi pada level usaha menengah, tidak kecil atau besar dan tidak masuk dalam kaum multi-national cooperation. Ada banyak indikator untuk menentukannya, salah satunya adalah skala bisnis warkop Cek Pan ini. Nah, walaupun termasuk golongan usaha sedang-sedang, tapi teman saya ini boleh dibilang punya mimpi besar dalam dalam dunia perkopian. Itu sebabnya, kami sering “studi banding,” bukan ke luar negeri seperti yang sering dipraktikkan para pejabat. Studi banding saya dan Cek Pan adalah dengan mengunjungi warkop atau kafe di seputaran kota, yang notabene adalah pesaing Warkop Cek Pan.
`
Walau cuma lulusan SMA, Cek Pan suka belajar dan melihat apa yang dilakukan kompetitor. Di sana Cek Pan banyak belajar, mendapatkan gagasan baru untuk dan yang paling penting adalah mencari cara agar dapat bertahan di tengah persaingan warkop yang makin kompetitif. Untuk Kota Banda Aceh, misalnya, usaha jenis kafe atau warkop tumbuh bak cendawan di musim hujan, walaupun sering tanpa disertai analisis bisnis berupa studi kelayakan yang baik. Yang penting buat warkop. Bagi yang cukup modal, okelah, tapi bagi yang tak ada modal, maka kredit bank solusinya.

Layaknya intelijen, kami duduk menepi di salah satu ruangan khusus warkop yang baru dipeusijuek itu. Semua yang terjadi dalam warkop itu kami rekam, mulai dari interior hingga pelayanan dan menu yang ditawarkan. Ruangan khusus itu punya ciri khas bebas dari asap rokok, full AC, dan bagi yang mengadakan rapat tersedia pula layanan sewa infocus. Ruangan kecil di sudut kafe ini juga cocok bagi yang butuh konsentrasi untuk bekerja.

Cek Pan setengah berbisik kepada saya,“Tempat nyoe ka lagee program pemerintah, Kawasan Ekonomi Khusus atawa KEK, nyoe.”

KEK yang dimaksud Cek Pan adalah kawasan yang dipayungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2017, yang mengambil lokasi di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara. Aktivitas dalam kawasan ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih berada di bawah rata-rata nasional dan yang paling penting adalah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peraturan tersebut juga membagi zona di kawasan ini meliputi pengolahan ekspor, logistik, industri, energi dan pariwisata.

KEK atau Special Economic Zones (ZES), bukanlah barang baru dalam dinamika perdagangan internasional dan program kerja pemerintah berbagai negara di dunia melalui industrialisasi modern. Menurut laporan Bank Dunia, KEK yang pertama tercatat di dunia yaitu di Shannon, Irlandia, pada 1959. Sebelum tahun 1970an, sebagian besar kawasan khusus tersebut bertumpuk di negara-negara industri. Sejak tahun 1970an, zona-zona ini mulai dirancang untuk menarik investasi yang menggunakan tenaga kerja padat karya pada perusahaan-perusahaan multinasional di Asia Timur dan Amerika Latin.

Meunyoe hana salah lon, wilayah yang paling terkenal dan sukses menerapkan KEK nyan Shenzhen, China.”

Cek Pan tidak salah. Shenzhen adalah “keajaiban” dan kisah sukses yang bikin iri kota-kota di dunia. Kota Shenzhen, tepatnya di Provinsi Guandong, awalnya hanya desa tempat orang memancing kini berubah drastis menjadi kota kosmopolitan yang dihuni hampir 12 juta jiwa, dengan pendapatan perkapita (GDP) meningkat 100 kali lipat dalam kurun waktu semenjak diresmikan dan menjadi kota keempat terbesar di China. Di dunia saat ini tercatat 4.300 dari KEK yang telah beroperasi dan terus bertambah.

Omen, hayeu that menyoe Lhokseumawe jeut lagee Shenzhen.”

“Tapi, tak semua proyek KEK sukses. Na chit yang gagal.”

Cek Pan terlihat manggut-manggut sambil menikmati secangkir sanger espresso yang hampir kosong. Afrika adalah pelajaran penting bahwa proses KEK tak selamanya mulus dan sesuai rencana. Kurang lebih sepuluh tahun lalu, China menjadi “pembimbing” bagi Afrika dalam membangun KEK.

Kekuatan ekonomi China yang kini menjadi salah satu terbesar di dunia menjadi pertimbangan penting plus pengalaman mereka menerapkan zona ini sejak tahun 1970an. Awalnya direncanakan 50 wilayah, namun tercatat hanya enam yang jadi dibuka.

Menurut laporan Chinafile.com, hingga tahun 2015, hanya kawasan di Terusan Suez, Mesir, yang beroperasi secara penuh, sedangkan lima kawasan lainnya mentok karena masalah birokrasi dan perselisihan bilateral. Alasan lain kegagalan Afrika dalam menerapkan KEK di masa lalu adalah karena kawasan tersebut tidak sepenuhnya “khusus” dalam hal lingkungan bisnis dan penyediaan infrastruktur.

Dr Arkebe Oqubay, Penasehat Senior Perdana Menteri Ethiopia menambahkan, hal-hal mendasar lain yaitu karena ketidakmampuan mereka menyediakan kebutuhan dasar seperti energi atau listrik, air bersih, dan layanan satu pintu, serta tidak sejalan dengan strategi pembangunan nasional.

Kapaloe, ka lagee di tempat tanyoe lagoe, ada masalah birokrasi dan masalah listrik.”

Peraturan pemerintah yang mengatur KEK juga sering dikritisi oleh berbagai pihak, termasuk masalah pengelolaan yang direncanakan konsorsium perusahaan dan Pemerintah Aceh. Yang menarik adalah Gubernur Irwandi Yusuf sempat mengutarakan hasil lobby-nya dalam kepemilikan melalui saham yang dikuasai Pemerintah Aceh, yang meningkat menjadi 46% dari sebelumnya 25%.

Konsorsium KEK Arun yang terdiri dari Pertamina, PT PIM dan PT Pelindo notabenenya adalah korporasi yang berorientasi pada profit dalam bentuk materi atau uang. Sedangkan orientasi pemerintah daerah berbeda, yaitu lebih mementingkan bagaimana kawasan ini bisa menyerap tenaga kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Sebenarnya saya agak heran dan kurang paham, dengan pernyataan gubernur kita. Mengapa di saat saham makin meningkat, tapi pembayarannya bisa dilakukan nanti ketika Aceh sudah memperoleh hasil dari kawasan khusus itu. Apa itu bukan saham bodong? Kok bisa ya?”

Saya rasa Cek Pan cukup kritis dan jeli. Yang kita pahami selama ini saham adalah penyertaan modal dalam suatu perusahaan. Modal itu diperlukan untuk menjalankan roda perusahaan, tanpa modal otomatis perusahaan tidak bisa beroperasi. Saya tersenyum melihat Cek Pan yang serius berfikir tentang saham, seraya berkata.

“Kalo bukan unik, bukan Aceh namanya.”

Jika nanti KEK beroperasi, kita harapkan ekonomi domestik atau pihak lokal menjadi salah satu prioritas penting. Pengalaman proyek gas alam cair Arun yang dianggap kurang memperhatikan masalah lokalitas seharusnya tidak terulang lagi. Kita harapkan pengelola KEK nanti mampu membina hubungan dengan pengusaha lokal serta ikut juga memberdayakannya. Perhatian pada sektor lokal juga jangan hanya menjadi jargon dan harus mendapat proporsi memadai di tengah kepentingan korporasi yang terlibat dalam pengelolaannya.

“Jangan sampe sedikit-sedikit bilang KEK, tapi untuk rakyat sendiri kok cuma sedikit?”

Tak terasa hampir satu jam lamanya kami melakukan tugas “spionase” bisnis di sebuah ruang khusus kafe baru. Awalnya Cek Pan ingin mengadopsi model kawasan mengopi khusus ala kafe ini. Sepertinya kawasan khusus penuh privasi di kafe ini tidak ada beda dengan ruangan umum di sebelah. Terbukti, masih ada pengunjung yang dengan santai menikmati sebatang rokok walaupun ada stiker yang melarang, serta koneksi internet yang lelet.

Saya bilang ke Cek Pan, “Kalau polanya tanggung dan tidak serius seperti ini mendingan tak usah dibuat ruang khusus. Hana beda.

Cek Pan mengangguk tanda setuju, sambil menyeruput tetesan terakhir sanger yang mulai dingin.[]

Fahmi Yunus adalah pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, peneliti pada ICAIOS dan CENTRIEFP, Banda Aceh. E-mail: [email protected]

Fahmi Yunus
Fahmi Yunushttp://ACEHKITA.com
Fahmi Yunus adalah periset komunikasi massa dan studi pembangunan.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU