Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

MINGGU, 26 Desember 2004. Jarum jam tepat pada angka 07:58 Wib. Bumi terguncang hebat. Pria 42 tahun itu masih rebahan di tempat tidur. Matanya terpejam. Usai melaksanakan shalat Shubuh pukul 6:05 Wib, Septi Rangkuti memilih tidur lagi karena hari itu tidak bekerja. Kain sarung yang digunakan untuk shalat masih dikenakannya.

Ia membangunkan dua putranya – Zahry Rangkuti, 8 tahun, dan Arif Pratama Rangkuti, 7 tahun – yang terlelap di kamar sebelah. Putri semata wayangnya, Raudhatul Jannah, 4,5 tahun, yang asyik bermain boneka di ruang keluarga, segera digendongnya.

Mereka secepatnya lari keluar melalui pintu belakang rumah, yang terletak di Lorong Kangkung, Desa Panggong, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat. Istrinya, Jamaliah, 32 tahun, yang sejak pukul 6:30 Wib mencuci pakaian di sumur sudah duluan keluar begitu gempa mengguncang.

Mereka berlima berdiri di samping rumah toko lantai dua yang belum selesai, tepat di belakang rumahnya. Karena guncangan bumi sangat dahsyat, mereka terpaksa harus duduk di tanah. Seorang warga yang berdiri di jalan, tak begitu jauh dari mereka, berteriak, “Jangan di situ, nanti roboh.”

Septi yang merangkul Arif dan Raudha bangkit. Begitu juga dengan Jamaliah, yang memegang Zahry. Dengan sempoyongan, mereka berlima tertatih ke tengah jalan, tempat sejumlah warga duduk. Semua berzikir. Mulut mereka tak henti mengucapkan, “Lailahaillallah.” Dua menit berselang, lantai dua rumah toko, tempat keluarga Septi pertama duduk, ambruk.

Kekuatan gempa bumi pagi itu awalnya dicatat 8,9 Skala Richter. Pusatnya di kedalaman Samudera Hindia, lepas pantai barat Pulau Sumatera. Belakangan, para ilmuan merevisi kekuatan gempa teknonik itu menjadi 9,3 Skala Richter. Guncangan kuat berlangsung selama delapan menit lebih.

Belasan menit berselang, tsunami menerjang hampir 1.000 kilometer pesisir Aceh. Gelombangnya menyapu 15 negara di sepanjang garis pantai Samudera Hindia hingga mencapai Benua Afrika. Tak kurang 234.000 orang, termasuk 170.000 lebih warga Aceh, tewas dalam bencana paling dahsyat dalam sejarah modern manusia.

Di provinsi ujung barat Indonesia, yang sedang dirundung konflik bersenjata antara pasukan keamanan TNI/Polri dan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tingkat kerusakannya mencapai antara satu hingga enam kilometer ke daratan, meluluhlantakkan berbagai infrastruktur, meratakan kampung-kampung nelayan. Perekonomian rakyat lumpuh. Lebih dari 550.000 warga Aceh terpaksa harus mengungsi.

Saat gempa reda, Septi masuk ke rumah. Beberapa perabotan rumah jatuh ke lantai. Dia tak berusaha membereskan. Setelah menggantikan sarung dengan celana, dia bergegas mengeluarkan sepeda motor Suzuki 120cc. Septi segera bergabung dengan istri dan tiga buah hati hasil perkawinan yang telah mereka bina sejak tahun 1994.

Di tengah kekhawatiran dan ketakutan akan terjadi gempa susulan, terdengar teriakan dari kejauhan, “Air laut naik!” “Air laut naik!” “Air laut naik!” Orang-orang berlarian ke arah jauh dari laut. Septi menghidupkan sepeda motornya. Dia meraih Raudha, didudukkan paling depan. Arif diletakkannya antara dia dan Raudha. Zahry naik dan duduk di belakangnya. Jamaliah berada di posisi paling belakang.

Septi memacu sepeda motor melintasi pasar tradisional yang padat pembeli. Tapi, hanya 1,5 kilometer dia mengendarai Suzuki merah, yang dibelinya tiga tahun silam. Arus lalu lintas semakin padat. Sepeda motornya tak bisa dilalui lagi, karena macet. Mereka terpaksa berhenti di tengah kerumunan mobil, sepeda motor dan orang-orang yang berlarian.

Tiba-tiba dari sisi kanan, mereka melihat gelombang laut menerjang. Tapi tak terlalu tinggi. Mereka turun dari sepeda motor. Dalam hitungan detik, air laut berwarna hitam menghantam keluarga itu dan warga yang dalam kepanikan. Septi merangkul Raudha dan Arif. Istrinya memegang Zahry. Mereka diseret ombak laut.

Tak berapa lama, gelombang kedua lebih tinggi menerjang. Septi, yang masih mendekap Raudha dan Arif, melihat sepotong papan hanyut – antara puing rumah dan bangunan yang diseret arus – menuju ke arahnya. “Mungkin daun pintu rumah orang,” katanya. Secara reflek, dia letakkan Raudha dan Arif ke papan itu. Septi masih sempat berenang sambil memegang papan itu.

Lalu, gelombang kembali menghantam Meulaboh, ibukota Aceh Barat. Papan terlepas dari tangannya. Sebelum digulung ombak raya, Septi masih sempat mendengar panggilan dua buah hatinya, “Ayah!” Tubuhnya diputar-putar di bawah pusaran air laut berwarna hitam. Beberapa kali, dia timbul tenggelam. Septi hanya bisa pasrah dan berdoa.

Septi Rangkuti berdiri di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, hari Minggu (26 Oktober 2014).  | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Septi Rangkuti berdiri di pantai Ujong Kareung, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, hari Minggu (26 Oktober 2014). | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Septi kembali muncul ke permukaan. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia berusaha berenang agar tidak lagi ditarik ke pusaran air. Dilihatnya sebatang pohon kuini, yang terpaut 10 meter. Ternyata, air laut telah menyeretnya satu kilometer lebih dari tempat dia menghentikan sepeda motor. Perlahan, Septi berenang, berusaha mencapai pohon itu. Dia berhasil.

Di atas batang kuini, Septi mengumpulkan tenaga. Beberapa bagian tubuhnya penuh luka akibat tergores puing rumah yang dihumbalang ombak raya. Baju dan celananya robek. Ia tak peduli kondisinya. Dalam hati, Septi terus berdoa pada Allah agar diberi kekuatan dan keselamatan. Tujuh menit dia bertahan di pohon kuini.

Terpaut delapan meter dari batang kuini, Septi melihat jejeran toko berlantai dua yang belum selesai dibangun. Sejumlah warga telah duluan berada di situ, menyelamatkan diri. Beberapa orang memanggilnya, supaya berenang ke toko itu. Dengan perasaan was-was akan kembali datang gelombang, sambil terus berdoa, Septi berenang ke toko lantai dua. Begitu mendekat, beberapa warga segera menariknya.

“Saya hanya duduk bersender di dinding toko dan tak bicara sepatah kata pun dengan orang-orang di situ. Pikiran saya seperti hampa dan tak teringat apa-apa. Saya juga tak ingat istri saya dan anak-anak,” kata Septi, sambil berusaha menahan tangis saat menceritakan kembali kejadian hampir satu dekade lalu.

Pertengahan Oktober silam, acehkita.com menyambangi keluarga Septi, yang tinggal sementara di sebuah rumah, sejak akhir Agustus lalu. Rumah di ujung Lorong Kangkung, Desa Panggong, itu milik bibi Jamaliah. Rumah bantuan NGO asing tersebut hanya terpaut sepelemparan batu dari tempat keluarga Septi tinggal selama 10 tahun sebelum tsunami. Di bekas lokasi rumah peninggalan nenek Jamaliah itu kini ditempati adik kandungnya, Samsul bersama istri dan anak-anaknya. (BERSAMBUNG…)

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.