Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

SENIN, 27 Desember 2004. Sekitar pukul 07:30 Wib, Jamaliah bergegas naik ke sebuah pick up. Ia mau mencari dua buah hatinya, Arif dan Raudha. Mobil, yang parkir di pesantren, siap mengantar warga selamat dari tsunami ke Meulaboh. Sejumlah warga telah duluan duduk di bak terbuka pick up. Mobil bergerak, meninggalkan kawasan Gunung Mas.

Setelah menurunkan penumpang hingga batas bisa dilalui kendaraan di ujung jalan, mobil balik arah. Kembali ke pesantren untuk mengangkut warga lain. Jamaliah menyusuri jalan, sendiri. Setiap mayat anak yang dijejer di pinggir jalan didekatinya, untuk mengecek. Kerumunan warga didatanginya. Namun, yang dicarinya, tak ditemukan. Menjelang Maghrib, ia kembali ke pesantren, menumpang mobil pick up, bersama warga lain.

Hari itu, Septi dan Zahry bertahan di pesantren. Septi masih sangat trauma. Ia hanya termenung saja, enggan berbicara. Zahry membawa ayahnya, untuk mengobati luka-luka goresan, ke tim medis yang mendirikan posko kesehatan di Dayah Abu Usman. Usai mendapatkan obat-obatan, Septi kembali ke kelas, istirahat sambil tidur-tiduran.

Keesokan harinya, Jamaliah kembali lagi ke Meulaboh. Tempat pengungsian, di seputaran ibukota Aceh Barat, didatanginya. Hari ketiga dan selanjutnya, Zahry mulai menemaninya. Usaha mereka mencari Arif dan Raudha nihil.

Septi baru ikut ke Meulaboh pada hari kelima. Mereka menyusuri jalanan dan mendatangi tempat-tempat pengungsian. Rumah Sakit Cut Nyak Dhien tak lupa mereka singgahi. Tidak ada infomasi keberadaan kedua anak mereka. Raudha dan Arif bagai lenyap ditelan bumi.

Setelah dua minggu mencari, mereka memutuskan pergi ke rumah Zainuddin, abang tiri Jamaliah, di Desa Padang Baro, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Menumpang sebuah mobil, yang kebetulan pergi ke Aceh Barat Daya, mereka tiba di Padang Baro, menjelang senja. Ternyata, di rumah Zainuddin masih tersimpan foto Arif dan Raudha.

Esoknya mereka kembali ke Meulaboh. Zainuddin ikut membantu mencari Arif dan Raudha. Seminggu, mereka bolak balik Padang Baro dan Meulaboh. Hasilnya tetap nihil. Atas saran Zainuddin, mereka memutuskan meminta bantuan “orang pintar” – seorang lelaki tua dekat Meulaboh. Tak lupa mereka membawa foto Arif dan Raudha.

“Kakek itu bilang, kedua anak kami masih hidup. Dia berada di daerah arah matahari terbit. Jika dalam seminggu tak ketemu, anak-anak kami diambil orang,” jelas Jamaliah, mengenang upaya pencarian Raudha dan Arif.

Mendapat informasi demikian, besoknya mereka pergi ke Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Mereka bawa foto Arif dan Raudha. Setiap orang ditemui, mereka tanya sambil menunjukkan foto. Beberapa lokasi, setelah mendapatkan informasi keberadaan anak korban tsunami, mereka datangi.

Tapi Arif dan Raudha tak ditemukan. Sebulan berada di rumah Zainuddin, keluarga Septi memutuskan kembali ke Meulaboh. Mereka tinggal di tempat pengungsian bersama warga lain, sambil terus mencari Arif dan Raudha.

 

***

Arif dan Raudhatul Jannah | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Arif dan Raudhatul Jannah | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Suatu hari, dua bulan usai tsunami, Hamdan Rangkuti, seorang adik kandung Septi, datang ke Meulaboh. Setelah menemukan Septi, adiknya mengabarkan jika ibu mereka, Karsitem –yang tinggal di Desa Paringgonan, Kecamatan Ulu Barumum, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara— setiap hari menangis karena tak ada kabar dari Septi, putra tertuanya, dan keluarganya.

“Ibu berpesan jika adik menemukan kami agar membawa pulang ke kampung halaman saya,” tutur Septi. Akhirnya, mereka memutuskan pulang ke tanah kelahiran Septi. Apalagi, tinggal di pengungsian serba kekurangan dan rumah mereka di Desa Panggong, tak dapat ditempati lagi karena rusak parah.

“Ketika meninggalkan Meulaboh, saya sangat yakin kedua anak kami masih hidup,” jelas Jamaliah. “Saya sangat yakin suatu hari nanti, akan menemukan mereka.”

Keyakinan yang sama juga diungkapkan Septi dan Zahry. Ketiganya mengaku tak terbersit sedikitpun pikiran kalau Raudha dan Arif ikut menjadi korban tsunami, bersama ribuan warga Meulaboh.

Beberapa hari berlalu, warga Paringonan berinisiatif membangun satu rumah untuk keluarga Septi, secara gotong royong. Dalam tiga hari, rumah ukuran 4 x 3 meter telah berdiri, siap ditempati. Hanya ada satu kamar tidur dan satu ruangan keluarga, yang juga dipakai buat memasak. Lantai beralaskan tanah. Atapnya dari daun rumbia, tanpa plafon.

“Kayu untuk tiang diambil di hutan dekat kampung. Sebagian dindingnya dari kayu bekas yang masih bisa dipakai. Malah, ada satu bagian dinding dari meja badminton bekas,” jelas Septi, sambil tersenyum.

Meski sudah punya tempat tinggal serba darurat, Septi tetap termenung. Dia masih trauma dan enggan bekerja. Tiga tahun lebih, dia hanya di rumah saja, tanpa berusaha mencari nafkah untuk keluarganya. Melihat kondisi suaminya begitu, Jamaliah memutuskan bekerja untuk menghidupi keluarga.

Lalu, ia membuka warung nasi pinggir jalan. Jamaliah juga menerima jahitan pakaian, pekerjaan sampingan yang dilakoninya ketika mereka masih tinggal di Meulaboh, untuk menambah keuangan keluarga.

Hari terus berganti. Kehidupan harus dijalani. Hari-hari dijalani Septi dengan berada di rumah. Jamaliah berjualan di kedai. Zahry melanjutkan sekolahnya. Prestasinya lumayan. Setiap semester, dia selalu masuk rangking 10 besar.

“Saya sangat sedih melihat ayah setiap hari hanya termenung saja di rumah,” kenang Zahry, remaja pendiam yang suka menulis puisi, kepada acehkita.com yang mewawancarainya sambil menikmati secangkir kopi di sebuah kedai, tak jauh dari rumah mereka tinggal sementara.

Tak ada niat keluarga Septi untuk kembali ke Meulaboh yang sedang booming proses rehabilitasi dan rekonstruksi paska-tsunami. Padahal saat itu, keahlian Septi sebagai tukang instalasi listrik sangat dibutuhkan karena banyak rumah warga korban tsunami sedang dibangun.

25 Agustus 2007, Jamaliah melahirkan anak keempat. Mereka memberi nama Jumadil Rangkuti. Warung Jamaliah dikelola seorang famili Septi beberapa bulan saat pemiliknya harus istirahat usai melahirkan. Jamaliah hanya pasrah melihat suaminya yang tetap tak mau bekerja.

Setelah Jumadil berusia dua tahun, Septi mulai bangkit dari keterpukuran. Ia sering bercanda dengan sang jabang bayi. Septi juga mulai mau bekerja, menginstalasi listrik. Semangatnya perlahan pulih. Setahun lebih kemudian, saat usia Jumadil hampir empat tahun, seorang abang sepupunya mengajak Septi mendirikan perusahaan instalasi listrik berbentuk CV.

“Sejak saat itu, saya tak trauma lagi,” ujarnya. [BERSAMBUNG…]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.