Septi Rangkuti duduk bersama tiga anaknya, Raudhatul Jannah, Arif Pratama dan Zahry di rumah familinya di Meulaboh, Oktober lalu. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

MINGGU, 22 Juni 2014. Sekitar pukul 7:30 Wib, Septi sedang mengutak-atik sepeda motor bututnya di halaman rumah semi permanen ukuran 6 x 6 meter yang dibangunnya, dua tahun silam. Handphone Nokia di kantong celananya berdering. Segera diraihnya. Di layar handphone tertera nama Zainuddin.

Dalam hati Septi sempat bertanya, apa gerangan abang iparnya menelpon pagi-pagi. Di ujung telepon, Zainuddin mengabarkan berita mengejutkan. Di Pulo Kayu, ada seorang anak sangat mirip Raudha – putri Septi yang terlepas dari tangannya setelah diletakkan di papan hanyut saat tsunami menerjang 10 tahun silam.

Seolah tak percaya, Septi bertanya, “Kelas berapa anak itu, bang?” Zainuddin menjawab, “Kelas empat MIN.” Septi langsung menjawab, itu bukan anaknya. Sebab kalau anak itu benar Raudha, seharusnya dia sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) karena usianya genap 14 tahun.

Secara tak sengaja, tangan Septi tersentuh sepeda motor. Nokia di tangannya terjatuh. Pembicaraan mereka pun terputus. Septi sempat bercerita apa yang dikatakan Zainuddin kepada istrinya. Ketika dibilang anak itu kelas 4 MIN, Jamaliah tak percaya karena bila putrinya masih hidup, sekarang sudah kelas 1 atau 2 SMP.

Sesaat kemudian, seorang putri Zainuddin menelpon. Kali ini, Jamaliah yang menjawab. Putri Zainuddin mengatakan, ayahnya sekarang sedang menangis di kamar. Dia berusaha meyakinkan bibinya. Lalu, Jamaliah minta dikirimkan foto anak itu melalui HP. Karena HPnya tak bisa menerima kiriman foto, dia memberikan satu nomor seorang tetangganya.

Esoknya, atas bantuan Ros, Weni dibawa ke rumah Zainuddin. Setelah difoto, segera dikirim ke nomor tetangga Septi. Perempuan yang rumahnya di depan rumah Septi memperlihatkan foto itu kepada Jamaliah. Ketika melihat foto anak dalam HP, Jamaliah mengaku jantung berdegup kencang. “Rahim saya tiba-tiba terasa sakit,” katanya.

Septi yang duduk di samping meraih telepon di tangan istrinya. Seksama, dia menatap foto anak dalam handphone. “Betul ini Raudha, anak kita,” ujarnya.

Zainuddin meminta keluarga Septi segera datang ke Aceh. Di Paringgonan, kabar putri Septi telah ditemukan cepat beredar. Puluhan tetangga datang ke rumahnya. Septi dan Jamaliah ingin segera ke Aceh. Tetapi, tak ada uang karena telah diserahkanke Zahry, untuk biaya mendaftar masuk universitas di Medan, beberapa hari lalu.

Warga berinisiatif, mengumpulkan uang. Famili Septi juga ikut menyumbang. Akhirnya, terkumpul uang Rp 3 juta. Mereka siap berangkat ke Aceh. Tanggal 25 Juni 2014 malam, Septi, Jamaliah dan putra bungsu mereka, Jumadil, naik bus di Sibuhuan, ibukota Padang Lawas – kabupaten pemekaran dari Tapanuli Selatan – menuju Medan. Perjalanan ditempuh selama 12 jam.

Sebelum berangkat, mereka menghubungi Zahri, yang meunggu ujian masuk perguruan tinggi di Medan. Putra sulung Septi itu telah mendaftarkan diri di dua universitas. Dia memilih jurusan Bahasa Inggris dan Teknik Pertambangan. Zahry dikabari adiknya telah ditemukan di Aceh.

Zahri diminta menunggu kedua orang tua dan adiknya di Medan. Selanjutnya, mereka berempat berangkat ke kampung Zainuddin, dengan menyewa sebuah mobil. Menjelang subuh keesokan harinya, mereka tiba di rumah Zainuddin.

Zahry harus mengorbankan harapannya, tak ikut tes masuk perguruan tinggi. “Saya rela tidak ikut ujian masuk perguruan tinggi. Saya senang akhirnya adik saya ditemukan selamat setelah hampir 10 tahun terpisah,” ungkapnya seraya berharap tahun depan bisa kuliah untuk menggapai cita-citanya.

Keinginan Zahry bertemu kedua adiknya pernah dinukilkan dalam satu puisi, pada suatu malam setahun lalu.

 

Sepeda motor milik Septi Rangkuti diparkir di halaman rumahnya di Desa Paringgonan. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Sepeda motor milik Septi Rangkuti diparkir di halaman rumahnya di Desa Paringgonan. | Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Doa dalam Sujudku

Terbalut dalam dinginnya malam,
Kulihat samar wajah indah di sudut kamar.
Kedua adikku… entah dimana dan bagaimana kabarnya,
Entah kapan dan dimana aku akan bertemu dengannya.
Masih terlihat tingkah lucunya,
Masih kurasa canda tawa dan senyumnya.
Apakah aku masih bisa melihatnya,
Atau waktu tak mengizinkan aku bertemu dengannya.
Dalam sujudku padaMu,
Aku panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku.
Akankah waktu mempertemukan mereka denganku.
Dalam sujudku padaMu,
Aku panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku.
Tunjukkan padaku keberadaannya, antara ada dan tiada…
Dalam sujudku padaMu,
Aku panjatkan doa untuk semua yang hilang dari pandanganku,
Izinkan aku melihatnya di tengah sepi, walau hanya dalam mimpi.

Sekitar pukul 9:00 Wib keesokan harinya, Zainuddin menghubungi Ros agar membawa Weni ke rumahnya. Jamaliah duduk lantai di ruang tamu, dengan istri Zainuddin. Sementara itu, Septi dan Zainuddin duduk di ruang keluarga sambil mengisap rokok. Zahry, dan Jumadil juga ada di situ. Suasana senyap. Tak ada yang berbicara.

Tiba-tiba Ros dan Weni datang, mengucapkan salam. Ros bersalaman dengan Jamaliah dan istri Zainuddin. Weni yang berjalan di samping Ros melakukan hal sama. Begitu Weni bersalaman dengan Jalamiah, perempuan tambun itu menjerit, “Benar, ini anak saya.” Weni yang masih bingung segera dipeluknya. Dia pun membalas pelukan Jamaliah.

Septi yang duduk sekitar dua meter dari istrinya bangkit. Dia memeluk tubuh mungil. Zahry, Jumadil dan semua anggota keluarga Zainuddin bangkit dari duduk. Mereka mengelilingi Septi dan Jamaliah yang sedang memeluk Weni. Pasangan suami istri itu tak mampu menahan tangis. Air mata seluruh anggota keluarga Zainuddin dan Rosmani yang melihat momen mengharukan itu, ikut menetes.

Usai makan siang bersama di rumah Zainuddin, Ros mohon diri. Tak lupa, dia membawa pulang Weni. “Kalau mau ikut perasaan, kami tak ingin melepaskan lagi Raudha,” kata Septi. [BERSAMBUNG…]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.