Suasana pertemuan keluarga Septi dengan Arif Pratama Rangkuti alias Ucok di rumah Lana Bestari, di Payakumbuh, Sumatera Barat, Senin (18 Agustus 2014). | FOTO – DONAL CANIAGO

MINGGU, 10 Agustus 2014. Sekitar pukul 17:30 Wib, Lana Bestari – seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat –  menghidupkan televisi di rumahnya. Remote di tangannya dipencet beberapa kali, mencari siaran menarik. Akhirnya, dia memilih TVOne. Sejumlah berita perkembangan politik di Indonesia berlalu.

Beberapa menit kemudian, berita reunifikasi keluarga korban tsunami dengan putrinya, Raudhatul Jannah alias Weniati. Waktu itu, reporter TVOne sedang mewawancara Jamaliah. Sambil menangis, perempuan di layar kaca mengaku masih berusaha mencari putranya yang juga terlepas dari tangan suaminya, Septi Rangkuti, akibat dihumbalang gelombang raya, hampir 10 tahun silam.

Berita yang disiarkan secara langsung menarik perhatian Lana. Tiba-tiba, dia teringat seorang remaja jalanan yang sering datang ke rumahnya untuk minta uang atau makanan. Wajah remaja itu mirip Jamaliah. Lana agak ragu karena Jamaliah menyebut nama anaknya Arif Pratama Rangkuti, sementara remaja jalanan itu dipanggil Ucok.

Dia meraih Blackberrynya. Lana memotret wajah Jamaliah di layar kaca yang sedang menangis. Pikirannya tak lagi fokus pada berita lain yang disiarkan stasiun televisi itu. Dia merasa perlu bertemu Ucok.

Bagi Lana, Ucok tak asing. Perkenalan anak tanggung itu dengan keluarganya terjadi pada suatu pagi tahun 2007. Hari itu, saat suaminya membuka warung internet (warnet) miliknya, dia menemukan seorang anak, berpakaian lusuh dengan bekas luka besar yang belum pulih di kepala bagian depan, tertidur di pintu toko.

Suami Lama mengajak anak itu masuk. Setelah memberi makanan dan baju, suami Lana minta anak itu tidur dalam warnet dan menetap saja di situ kalau tak ada tempat tinggal. Tapi, menjelang siang, dia pergi tanpa memberitahu Lana dan suaminya.

“Dia tidak bisa bahasa Indonesia. Logat bicaranya bukan logat Padang. Waktu kami tanya siapa namanya, dia diam saja. Saat kami tanya kenapa kepalanya, dia bilang disiram air panas oleh seseorang. Dia juga bilang diturunkan sopir truk dari Medan,” jelas Lana saat diwawancara acehkita.com melalui telepon, akhir Oktober lalu.

Karena tidak diketahui namanya, keluarga Lana memanggil bocah itu, “Ucok”. Keesokan harinya, anak itu datang lagi ke warnet. Setelah diberi makanan, dia pergi lagi. Ucok sering datang sehingga keluarga Lana dekat dengannya. Saat Lana menutup usaha warnetnya tiga tahun lalu, Ucok masih tetap datang ke rumahnya. Ucok akrab dengan Lana, suaminya dan ketiga putra mereka.

Pernah suatu ketika keluarga Lana menawarkan Ucok didaftarkan ke sekolah, tapi dia menolak. Tampaknya, ia lebih memilih hidup di jalanan. Bila malam, Ucok tidur di pasar, bersama anak jalanan lain. Dia juga sering tidur di kuburan.

Kehidupan sebagai anak jalanan di Payakumbuh dilakoni Ucok selama tujuh tahun. Garis hidupnya mulai berubah ketika Lana memperlihatkan foto yang dipotretnya dari layar televisi. Saat Ucok melintasi di depan rumahnya, 11 Agustus lalu, Lana memanggilnya. Ditunjukkan foto perempuan yang sedang menangis.

“Ucok memperhatikan foto di BB saya. Lalu, dia bilang, ‘Mak’. Tentu saja, saya tak  langsung percaya ucapannya. Saya tanya nama ibunya. Dia menjawab ‘Liah’. Saya juga tak bilang padanya kalau wanita itu sedang mencara anaknya yang hilang waktu tsunami,” tutur Lana.

Ternyata Liah adalah nama panggilan Jamaliah. Ketika ditemui acehkita.com, ia mengaku beberapa kawannya di Meulaboh sebelum tsunami memanggilnya dengan sebutan Liah.

Mendengar pengakuan Ucok, Lana coba menyelidiki. “Saya tanya dia, ‘Kalau begitu kamu sebenarnya asalnya dari mana?. Tiba-tiba Ucok menangis sambil berujar, ‘Gelombang besar’,” ungkap Lana.

Sesaat kemudian, perempuan yang selalu mengenakan hijab itu menghubungi seorang familinya yang bekerja di TVOne, untuk mendapatkan nomor kontak reporter stasiun televisi itu di Padang. Lalu, diperoleh nomor Donal Caniago, reporter TVOne di Padang. Setelah Donal datang ke rumah Lana, dia memotret Ucok dan mengunggah di laman facebooknya.

Beberapa pengguna facebook di Aceh sempat menshare foto Ucok. Pada saat bersamaan, keluarga Septi terus  mencari informasi keberadaan Arif. Ada yang bilang Arif “masih” di Pulau Banyak. Ada juga informasi dia berada di Nias.

Arif Pratama Rangkuti alias Ucok di pantai Ujong Kareung Meulaboh. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM
Arif Pratama Rangkuti alias Ucok di pantai Ujong Kareung Meulaboh. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

Keyakinan Jamaliah bahwa putranya masih hidup berkat pengakuan Raudha, setelah mereka membawa gadis cilik itu ke Meulaboh untuk tinggal bersama. “Suatu malam, Raudha bilang kepada saya kalau dia sempat tinggal di pulau dengan abangnya, Arif,” jelas Jamaliah.

Donal juga mengirim foto Ucok ke rekannya di Meulaboh untuk diperlihatkan pada keluarga Septi. Melihat wajah gelap Ucok dengan rambut panjang acak-acakan, Jamaliah dan Septi agak sedikit ragu.

Tapi, Jamaliah mulai yakin setelah melihat foto lain: Ucok duduk di samping Donal. Cara duduk berjongkok dengan bagian depan kaki sedikit dibuka sangat mirip dengan Arif kecil. Jamaliah menelpon Lana. “Apakah Ucok ada bekas luka di hidung sebelah kanan?” tanyanya. Lana menjawab, “Iya, ada.”

Menurut Jamaliah, ketika berusia tujuh tahun, Arif sempat terjatuh saat hendak mengambil bola. Hidupnya mengalami luka, yang meninggalkan bekas.

Ketika Ucok pamit, Lana memberikan sejumlah uang. Dia  minta Ucok memangkas rambutnya. Keesokan hari, Ucok kembali datang ke rumah Lana. Perempuan itu segera menghubungi keluarga Septi. Begitu mendengar suara Jamaliah, Ucok bilang, “Mak, cepat datang, jemput aku. Aku mau pulang ke Aceh.”

“Andai saya punya sayap, saya akan segera terbang ke sana untuk menjemput Arif,” ujar Jamaliah.

Berkat bantuan sejumlah uang dari familinya, Septi bersama istrinya dan tiga anak mereka serta adik kandung Jamaliah, Samsul, menyewa sebuah mobil. Mereka berangkat dari Meulaboh, sekitar pukul 3:00 dinihari. Selama dalam perjalanan, mereka hanya berhenti tiga kali untuk makan. Rombongan itu tiba di Payakumbuh, Senin dinihari (18 Agustus 2004) setelah menempuh perjalanan lebih dari 24 jam.

Pagi hari, Jamaliah tak sabar menghubungi Lana untuk mengabarkan mereka telah tiba di Payakumbuh. Tetapi, Lana memberikan informasi menyesakkan dada. Ucok “hilang”.

Di pasar yang biasa dijadikan tempat nongkrongnya, ia tak ada. Bersama sejumlah wartawan, Lana sempat meminta bantuan polisi untuk mencari Ucok. Hampir setengah hari mereka mencari ke tempat-tempat anak jalanan mangkal. Ucok tetap tak ditemukan. Baru menjelang zuhur, Ucok ditemukan dekat kuburan. Ternyata, malam itu dia tidur di situ karena ada perselisihan dengan seorang anak jalanan.

“Saya sudah minta Ucok tidur di rumah saya malam itu karena orang tuanya akan datang, tapi dia tak mau,” tutur Lana, mengisahkan upaya pencarian Ucok menjelang pertemuan dengan Septi dan Jamaliah.

Begitu ditemukan, Ucok dibawa ke rumah Lana. Sejumlah tetangga Lana dan para wartawan juga hadir di situ. Ketika mobil yang membawa keluarga Septi berhenti di depan rumah, Ucok segera lari keluar. Dia memeluk Jamaliah dan Septi. Menurut Jamaliah, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ucok, “bagaimana sepeda saya.” Ternyata sebelum tsunami, Arif punya sepeda saat tinggal di Meulaboh.

“Semua tetangga saya yang melihat momen mengharukan itu menangis. Saya juga menangis,” kata Lana.

Wawancara Jamaliah di tvOne yang dijepret Lana Bestari.
Jamaliah saat diwawancara reporter TVOne, Minggu (10 Agustus 2014). Foto ini dipotret Lana Bestari, ibu rumah tangga di Payakumbuh, Sumatera Barat, ketika menonton berita reunifikasi keluarga Septi dan putrinya, Raudhatul Jannah untuk diperlihatkan kepada Ucok atau Arif Pratama Rangkuti. | FOTO: Lana Bestari

Kemudian, mereka semua dijamu makan siang di rumah Lana. Ucok duduk di samping Jamaliah. Mereka memilih duduk di lantai. Ia minta disuap. Setelah makan, Jamaliah dan keempat anaknya – Zahri, Raudha, Jumadil dan Arif alias Ucok – duduk bersama di sebuah kursi tamu. Sedangkan, Septi duduk sendiri di kursi lain. Lalu, tanpa sungkan, Ucok menyulut sebatang rokok.

Sebelum meninggalkan rumah Lana, sore itu, Ucok sempat mengatakan kepada perempuan itu bahwa ia siap pulang ke Aceh. “Dia bilang, ‘Saya sudah menemukan keluarga saya dan saya sekarang sangat senang,” tutur Lana. “Selama tujuh tahun Ucok di Payakumbuh, itulah kalimat paling jelas yang dia ucapkan kepada saya.”

Kemudian, keluarga Septi pergi ke Markas Polisi Resort Payakumbuh, untuk melaporkan bahwa mereka telah menemukan anak mereka yang hilang waktu tsunami melanda Aceh. Tanpa istirahat, malam itu juga mereka memutuskan untuk pulang ke Meulaboh, malam itu juga.

Ucok tidak membawa apa-apa, selain baju di badan. Tetapi, ia punya sesuatu. Namanya kembali dipanggil Arif. Dia juga memperoleh kasih sayang keluarga yang tak pernah dirasakannya selama terpisah hampir 10 tahun.

Begitu tiba di Meulaboh, mereka singgah ke rumah makcik Jamaliah, tempat sementara keluarga itu tinggal setelah membawa pulang Raudha. Tetapi, Arif protes karena ia ingin pulang ke Aceh. Waktu dijelaskan bahwa dia sudah tiba di Aceh, Arif tetap protes.

“Ketika kami tiba di Meulaboh, saya melihat perubahan pada Arif. Sejak saat itu, dia tidak pernah merokok lagi,” kata Septi.

Sejam kemudian, Samsul – adik Jamaliah yang ikut ke Payakumbuh — pamit, pulang ke rumahnya. Arif ingin ikut. Jamaliah dan Septi mengizinkan. Begitu mobil berhenti di belakang rumah Samsul, Arif segera turun dan lari masuk ke rumah.

“Ini baru Aceh. Mana sepeda saya,” ujarnya. [BERSAMBUNG]

NURDIN HASAN (@nh_nh_)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.