EKSPEDISI INDONESIA BIRU

AKHIR April lalu, saya bersama Dandhy Dwi Laksono ditemani Ignas Kunda, lelaki gagah berkulit putih, asal Bajava, Flores (saya menduga, dia keturunan portugis), menyambangi sebuah kampung adat yang tak tergerus zaman.

Berada di tempat ini, saya merasa terdampar ke masa lalu, ke peradaban megalitikum. Hanya pakaian, dan teknologi yang digunakan penghuninya. Tanda mereka tak hidup di zaman batu, tapi di era kita, zaman digital.

Tempat tinggalnya, rumah-rumah panggung berukuran sama, berformasi oval, mengelilingi tanah lapang. Tiang-tiangnya bulat, dari pohon besar yang diraut. Dindingnya papan atau bambu.

Bubungnya tinggi lancip. Atapnya susunan ilalang, yang diikat-ikat persis sapu lidi. Halamannya susunan batu. Di sini, fungsi paku digantikan, pasak, rotan atau kulit kayu.

Di halaman, batu pipih raksasa tersusun menyerupai meja makan. Membentengi sebuah bangunan mini, di tengah lapangan.

Inilah Kampung Tarung dan Waitabar, kampung adat di tengah kota Waikabubak, Sumba Barat, NTT. Sampai kini, mampu menjaga tradisi leluhurnya.

Kampung dikelilingi pohon-pohon tua besar. Selain sebagai benteng, pepohonan juga sebagai pemisah wilayah adat dengan kota.
Dari kota, wilayah adat ini kelihatan seperti belantara. Sebaliknya, selain deru mesin-mesin, dari kampung hiruk pikuk kota hanya terlihat samar, lewat celah pohon dan dedaunan.

Menurut Yuliana Leda Tara, rumah adat mempunyai tiga tingkat. Paling bawah tempat ternak babi, kerbau, kuda dan peliharaan lainnya. Di tingkat dua, tempat manusia tinggal dengan segala aktivitasnya.

“Di tingkat atas (atap), selain sebagai tempat menyimpan (bekal) makanan, kami percaya sebagai tempat jiwa nenek moyang berada,” ungkap Ibu satu anak ini.

Kepercayaan warga adat, adalah Merapu. Sebuah keyakinan yang percaya, berbuat baik sesama dalam kehidupan sehari-hari, bagian dari ibadah kepada pencipta langit dan bumi.

Merapu juga punya konsep surga dan neraka. “Di Merapu tidak sembahyang tiap hari, ada saat-saat tertentu (ritual) sembahyang dilakukan. Berkelakuan baik sehari-hari itu sudah sembahyang.”

Oktober sampai November merupakan puncak acara adat di kampug ini. “Selain sebagai waktunya menerima keluarga yang baru menikah, juga sebagai bulan-bulan bersyukur kepada Tuhan,” Yuliana menjelaskan.

Dalam bulan itu, upacara adat dilakukan siang dan malam. Diiringi nyannyian dan beragam alat musik. Bahkan alat musik tabuh dari kulit manusia. Alat musik satu ini hanya dipakai setahun sekali, pas upacara adat.

“Suaranya khas, dan lebih nyaring dari kulit binatang lainnya. Saat tidak digunakan, tak sembarang orang bisa melihat. Memindahkannya saja harus dengan ritual,” begitu kata penyimpan alat tabuh itu, ketika saya bertamu ke rumahnya.

Ritual sembahyang bersama juga dilakukan dibulan ini. Dari Uma Kabubu (rumah Tuhan) ketua adat memimpin. Jamaahnya, mengikuti dari luar.

Uma Kabubu merupakan bangunan lancip tanpa pintu dan jendela, dibaluti ilalang. Ukurannya tak sampai 3×3 meter. Terletak ditanah lapang ditengah kampung. Hanya peminpin adat yang boleh masuk ke tempat ini.

Merapu berkeyakinan untuk berinteraksi dengan tuhan tak perlu tempat mewah. “Kalau kita percaya pada pencipta dengan tulus dan bagus, kita tak perlu tempat ibadah yang wah untuk berhubungan dengan tuhan,” sebut Yuliana.

Sementara, batu-batu pipih menyerupai meja makan, merupakan makam leluhur. Terletak di depan rumah, filosofi orang Merapu, kematian selalu ada didepan, dan sebagai pengingat bahwa semua akan mati.

“Dulu orang meningal di tanam di depan rumah, tapi sekarang di pemakaman umum,” Yuliana menerangkan.

Kemampuan ekonomi orang Merapu dapat dilihat dari berapa banyak tanduk kerbau yang ditempel di dinding, serta berapa banyak rahang babi yang digantung di langit-langit rumah.
Sedangkan kasta sosial dapat dilihat dari berapa panjang tanduk kerbau dan taring babi yang ditempel.
Walau berkeyakinan Merapu, duhulu ketika mendaftar sekolah, anak-anak harus memilih satu diantara lima agama yang diakui pemerintah.

Kini, mereka sudah bersekolah tanpa harus ‘berpura-pura’ pindah keyakinan. Begitu juga kolom agama di Kartu Tanda Penduduk, sudah mulai ada yang mengosongkan.

“Orang meminta kami melestarikan semua peninggalan ini, tetapi tidak mau mengakui kami punya agama. Padahal kalau penganut Marapu sudah habis, apakah semua ini bisa bertahan?” gugat sesepuh Merapu Lida Maumude, 75 tahun. []

SUPARTA ARZ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.