Saturday, April 20, 2024
spot_img

Sistem Ekonomi untuk Aceh

Sistem Ekonomi untuk Aceh

Saiful Mahdi*

Hidup nelayan di Aceh tak lepas dari peran “toke bangku” atau “pemilik modal”. Pinjam-meminjam di kalangan petani kita, secara individu, lewat kelompok tani, atau bahkan lewat koperasi, bisa melibatkan bunga yang sangat tinggi. Sistem ijon dan peran tengkulak adalah sistem yang menguras dan menjepit daya juang masyarakat. Sementara perbankan menganggap bahwa sektor pertanian tidak bankable. Praktek riba dan penindasan oleh pemilik modal seperti ini, sementara negara tidak hadir untuk membela rakyatnya, bisa berujung pada keputus-asaan dan radikalisme di tengah masyarakat. Sistem ekonomi apakah ini?

***

Menjelang dilantiknya Pemerintah Aceh yang baru di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah sebagai gubernur dan wakil gubernur, pembangunan ekonomi menjadi salah satu yang banyak didiskusikan masyarakat. Banyak saran praktis, entah sudah teruji atau belum, yang diberikan dan didiskusikan berbagai pihak, terutama lewat sosial media.

Sayang sekali, tidak banyak diskusi pada level falsafah atau ideologi yang mengemuka. Bisa jadi karena kita semua sudah makin tidak sabar dengan makin rendah dan melambatnya “pertumbuhan” ekonomi Aceh.

Sudah mulai jengah dengan kenyataan dana besar tidak dapat menurunkan angka kemiskinan secara lebih tajam? Mulai capek menunggu hidupnya agro-industri yang membuka lapangan kerja di Aceh? Sehingga kita cendrung ingin segera berbuat, atau mengharapkan pemerintah baru segera beraksi, dan berharap keadaan akan cepat berubah?

Atau karena kita memang tidak belajar aneka ideologi ekonomi selain yang diajarkan di fakultas-fakultas ekonomi utama, yang umumnya berfalsafah neo-klasikal yang mengutamakan “pasar bebas” ala laissez faire yang kian rakus?

Terma  “Ekonomi Islam” yang sering dikampanyekan oleh para “ahli ekonomi Islam” pun seperti tak begitu terdengar. Apa karena tidak ada ahli ekonomi Islam di “Tim Sinkronisasi” RPJM yang dibentuk oleh Irwandi-Nova?

Apalagi saat “Tim Ekonomi” nya diberi nama “Pertumbuhan Ekonomi”, sesuatu yang justru langsung dikritik oleh mereka yang berada di dalam tim itu pada hari pertama pertemuan. Apakah ini pertanda adanya ketidakjelasan ideologi ekonomi pada mereka yang mebuat SK Tim? Sekedar kealpaan, salah ketik? Atau justru karena ketegasan tentang pentingnya pertumbuhan dalam visi yang mebuat SK? Atau sekedar ketidaktahuan perbedaan berbagai istilah itu? Yang jelas, beberapa yang ada dalam tim sudah meminta agar nama itu diralat menjadi “Pembangunan Ekonomi”.

Karena itu, sebelum kita bicara program dan kegiatan pembangunan ekonomi, memahami dan menetapkan platform ekonomi yang akan mendikte pembangunan ekonomi Aceh ke depan adalah sama kalau tidak lebih penting. Apakah ideologi ekonomi Aceh?

Ketidakjelasan ideologi?

Dalam sejarah ekonomi Indonesia, dan kurang lebih juga Aceh, kita mengenal istilah “ekonomi gotong royong”, “ekonomi koperasi”, “ekonomi Pancasila”, dan “ekonomi kerakyatan”. Apakah Indonesia cenderung sosialis? Sebagian mungkin akan langsung menyergah: Tidak! Sistim ekonomi sosialis-komunis yang pernah mendapat angin di awal kemerdekaan Indonesia sudah runtuh sejak runtuhnya Uni Sovyet dan ditinggalkan Cina sejak 1980.

Apakah kita cenderung menganut sistem ekonomi kapitalis? Maka yang lain juga akan menyergah: Tidak! Kita tidak suka sistem kapitalisme Barat dan membenci imperialisme.  “Kita beda!” “Kita bukan sosialis, tapi juga bukan kapitalis”, begitu biasanya kita berargumen. “Kita Pancasila!”

Tapi apa itu “Ekonomi Pancasila” atau “Ekonomi Kerakyatan”? Mungkin  ide-ide besar ini hanya jelas saat Mohammad Hatta dan Prof. Mubyarto di UGM masih hidup. Setelah itu, kita kembali gamang. Bahkan tidak peduli? Di UGM sendiri, khabarnya, ide-ide besar ekonomi kerakyatan mulai kehilangan akarnya saat Fakultas Ekonomi nya berubah menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis dengan gedung menjulangnya. Konon Mubyarto bahkan keberatan dengan penambahan kata “bisnis” pada nama salah satu fakultas ekonomi tertua di Indonesia itu.

Lalu, sejalan dengan “gerakan tarbiyah” yang melanda Indonesia sejak 1980-an, frase “Ekonomi Islam” makin sering terdengar. Sayang, kebanyakan kita percaya pada ampuhnya ideologi ini sebatas karena kita beragama Islam semata, tanpa pemahaman yang cukup mendalam.  Akibatnya, seperti Islam bagi sebagian pemeluknya, ekonomi Islam juga tak lebih dari sekedar dogma. Karena itu, tak salah kalau ada yang pesimis dan menganggap ekonomi Islam tak jelas alat analisis (metode) nya. Mungkin karena kajian epistimelogisnya juga masih lemah?

Dalam sebagian (besar) praktek ekonominya, Indonesia dan Aceh mungkin lebih kapitalis dari kampiun kapitalisme sendiri. Contoh kecil di awal tulisan ini pasti akrab bagi sebagian besar kita, tentu dengan ragam variannya di berbagai wilayah Aceh dan Indonesia.

Praktek ekonomi berbasis riba dengan penuh kong-kali-kong korupsi, kolusi, dan nepotisme, antara pengusaha dan penguasa yang menguras dan merusak sumber daya alam dipertontonkan di depan rakyat dengan telanjang oleh Orde Baru dan berlanjut, walaupun mungkin terus berkurang, hingga saat pemerintahan SBY.

Pemerintahan Jokowi berusaha mengubah arah yang salah ini, tapi mendapat tantangan besar dari berbagai mafia yang selama ini telah menikmati berbagai hak monopolistik dan hak istimewa dengan dukungan aparat negara yang korup. Serangan yang bergelombang terhadap KPK adalah bukti tantangan itu.

 

SEME sebagai alternatif, Islam sebagai jalan?

Jika sampai 1980-an dunia terbelah ke dalam sistem politik dan ideologi yang saling memperebutkan pengaruh, setelah itu perdebatan lebih pada sistem pasar mana yang lebih baik dalam sistem ekonomi pasar yang dianggap menjadi pemenang.  Perdebatan bukan lagi pada apakah rakyat akan lebih sejahtera dengan ekonomi yang seluruhnya direncanakan secara terpusat—seperti di Uni Soviet dan Cina sampai 1979, daripada ekonomi pasar kapitalistik, tapi kompetisi telah bergeser dari ranah politik ke ranah ekonomi. Ini telah mengantarkan ummat manusia pada pencarian yang lebih intensif terhadap sistem ekonomi pasar yang “lebih ideal”.

Jerman dan sejumlah “negara kesejahteraan” di Eropah Barat tampil dengan Social and Ecological Market Economy (SEME).  Telah mempraktekkan sistem ini sejak lama, Jerman mengklaim SEME-lah yang membuat mereka tahan-resesi (recession-proof) saat dunia dilanda resesi global beberapa tahun terakhir ini. Hingga saat ini, ekonomi Jerman memang yang paling kuat dan stabil di Eropah Barat, bahkan di dunia.

Kata sejumlah ahli SEME yang datang untuk melatih sistem ini ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, SEME mempunyai tujuan yang sama dengan Ekonomi Islam karena sama-sama berbasis pada nilai-nilai moral yang luhur. Jika, katakanlah, Ekonomi Islam dibangun dari etika Islam, SEME dibangun dari etika Protestan. Keduanya mengakui hak kepemilikan individu (individual property right) sekaligus adanya tanggung jawab  atau kewajiban individu (individual responsibility) terhadap negara dan masyarakat. Bedanya, SEME telah menjadi sebuah sistem yang lengkap dan teruji dengan model utilitasnya sendiri.

SEME adalah sistem ekonomi yang percaya pada sistem pasar tapi ikut memastikan aspek kesajahteraan dan keadilan sosial serta terjaganya keseimbangan ekologis. SEME  berusaha mencari keseimbangan dosis peran pemerintah (G, Government), masyarakat madani (CS, civil society), dan tanggug jawab pribadi (IR, individual responsibility). Ia bukan sistem ekonomi pasar yang kaku. Peran pemerintah, misalnya, bisa begeser dari kiri (lebih mencampuri) ke kanan (kurang mencampuri) sesuai kebutuhan masyarakat sebuah wilayah. Tidak seperti ekonomi pasar kapitalis yang selalu alergi dengan peran pemerintah yang dianggap sebagai distorsi terhadap pasar.

 

Sosial-demokrat-relijius

Saat membaca di media bahwa platform PNA, partainya gubernur terpilih Irwandi Yusuf, adalah “sosial-demokrat-relijius”, ada harapan “Sang Kapten” akan memperjelas juga platform ekonomi Aceh.

SEME berasal dan hingga kini masih dipraktekkan oleh Jerman dan negara-negara kesejahteraan di Skandinavia dan sebagian Eropah Barat lainnya, termasuk Irlandia. Ini adalah negara-negara sosial-demokrat.

Karena SEME sebenarnya berbasis etika Protestan, sebenarnya SEME juga adalah platform “sosial-demokrat-relijius”. Bedanya, mereka di sana tidak suka mematut-matut diri apalagi sampai memgklaim diri sebagai “relijius”. Sementara kita lebih suka menunjukkan ragam simbol bahwa kita adalah Islam. Bukan hanya itu, kita juga suka memaksa orang untuk mengakui bahwa kita adalah Islam yang taat alias relijius, walaupun dalam praktek sering kali tidak Islami.

Kalau memang nama dan simbol itu penting, mari kita pastikan Ekonomi Islam sebagai platform ekonomi Aceh, sambil kita perkuat terus aspek epistimologis, ontologis hingga metodis dan retorisnya. Tapi kalau mau lebih cepat, sebaiknya Aceh segera mengadopsi SEME. Karena SEME itu adalah sistem ekonomi berbasis nilai-nilai Islam juga.

Mana lebih penting “Ekonomi Islam” atau “Ekonomi Islami”?

 

*Saiful Mahdi adalah Ketua Program Studi Statistika FMIPA Unsyiah; Fulbright Scholar  yang juga Sekretaris Pusat Latihan Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya (PLPISB) Unsyiah. Isi tulisan adalah pandangan pribadi. Email: [email protected]

 

 

 

 

 

 

 

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU