Thursday, April 18, 2024
spot_img

Strategi (Politik) Baru

Strategi (Politik) Baru

Saiful Mahdi*

Beberapa hari belakangan media lokal di Aceh, terutama media online, memberitakan kasak-kusuk kemungkinan koalisi atau oposisi pascapilkada. Yang paling hangat diberitakan dan dibicarakan adalah kemungkinan koalisi Partai Nasional Aceh (PNA) dengan Partai Aceh (PA) untuk membentuk Koalisi Aceh Hebat.

Sebagian menganggap ini sebagai angin segar yang menyejukkan. Aceh sebagai wilayah yang masih dalam masa transisi pascakonflik masih punya banyak tantangan untuk mewujudkan reintegrasi dan rekonsiliasi  yang sebenarnya. Gesekan bahkan pake (cekcok) selama Pilkada perlu diakhiri dan didamaikan juga.

Sebagian yang lain menganggap partai lokal memang harus saling memperkuat jika keberadaannya ingin dipertahankan. Bagi Aceh, keberlanjutan hadirnya partai lokal bukan hanya masalah salah satu partai lokal dan masalah sekelompok rakyat Aceh. Ia juga masalah warisan dan inovasi politik yang terlalu berharga dari seluruh rakyat Aceh, terutama para syahid-syahidah selama 30 tahun konflik Aceh, untuk Indonesia bahkan dunia. Partai politik lokal hanya ada di Aceh sebagai bagian dari transformasi konflik. Model transformasi konflik di Aceh terus dipelajari berbagai pihak di tingkat nasional maupun internasional.

Tapi bagi sebagian yang lain, usaha merajut koalisi antara PA, yang dianggap “kalah”, dan PNA, yang dianggap “menang”, hanyalah akal-akalan para politisi untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya.  Kecurigaan ini terutama diarahkan pada mereka yang dianggap “kalah”.

Strategi vs. ideologi?

Harapan dan angan kita boleh banyak dan beragam untuk perpolitikan Aceh yang lebih baik di masa yang akan datang. Tapi mereka yang skeptis juga tak bisa disalahkan. Perilaku politisi dan partai politik dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional memang seringkali mengecewakan kita, rakyat banyak. Dagelan yang dipertontonkan politisi di Senayan, misalnya, seringkali abai terhadap rasa keadilan orang banyak, konyol, memalukan, hingga menghina akal sehat kita. Belakangan para wakil rakyat di Senayan itu sedang ngotot meminta hak immunitas hukum setelah banyak dari mereka yang dijerat kasus korupsi oleh KPK.

Pilihan menjadi oposisi atau bagian dari koalisi pasca pemilihan kepemimpinan memang bisa dianggap bagian dari strategi politik. Dengan konstelasi baru pascapilkada Aceh, misalnya, pasti kita akan melihat strategi-strategi baru para aktor dan partai politik di Aceh. Bagi sebagian, strategi itu akan menyangkut keberlangsungan dan eksistensi para aktor “dan atau” partainya.

“Dan atau”? Ya, karena seringkali strategi aktor secara individual tidak sama sejalan dengan partai sang aktor politik. Sebagian yang lain bersikeras pengurus partai harus ikut apa kata partai. Inipun bisa jadi bagian dari strategi. Sebelum hari pencoblosan saja, misalnya, sudah kita lihat bagaimana manuver para aktor dan partai politik ini, sehingga muncul istilah “grop pageu” (lompat pagar) atau “kutu loncat”.

Lantas apa masalahnya? Mungkin bagi aktor dan partai politik urusan koalisi atau oposisi ini bisa jadi sekedar bagian dari strategi (politik). Tapi bagi kita, rakyat Aceh, ini tentu bukan sekedar masalah strategi!

Yang perlu kita awasi dan terus kawal adalah apakah strategi itu hanya menjadi strategi an sich. Sekedar strategi untuk bertahan para aktor dan partai politik sehingga abai dengan kepentingan rakyat banyak, terutama yang menjadi konstituennya? Dalam bahasa lain, strategi yang mengabaikan ideologi bahkan berbenturan dengan ideologi yang diusungnya bersama para pendukungnya.  Padahal ideologi itu adalah bentuk kontrak sosial yang seharusnya mengikat para aktor dan partai politik dengan konstituennya.

Tentu saja kita tidak ingin Aceh makin dalam mengikuti peta jalan politik Indonesia yang ditandai dengan perilaku korup dan penyalahgunaan wewenang yang begitu terstruktur, sistemik, dan masif (meluas). Aceh perlu kembali ke politik yang bijak, mencerahkan, bahkan membanggakan.

Karena itu, apapun pilihannya, berkoalisi atau beroposisi pascapilkada Aceh, ada kesempatan bagi aktor dan partai politik di Aceh, parlok maupun parnas, untuk kembali melakukan inovasi. Eksperimen, kreativitas, dan inovasi baru bisa kembali lahir. Politik yang diwarnai dengan kepentingan rakyat banyak. Politik yang bisa mengangkat kembali marwah Aceh, negeri syari’ah ini.

Politik yang lebih “syar’ie” mungkin?

*Saiful Mahdi adalah salah satu pendiri dan peneliti Aceh Institute dan ICAIOS

Menulis “Kolom Fakhrurradzie Gade” di AcehKita.com setiap Kamis. Isi tulisan adalah pandangan pribadi Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU