Tuesday, March 19, 2024
spot_img

Taloe Ingatan Rumoh Geudong

SIGLI | ACEHKITA.COM – “Saya ingin tidak ada lagi konflik. Jangan lagi dirasakan oleh anak cucu kita, Aceh ini harus aman. Anak dan suamipun sudah meninggal.” Demikian testimoni Zainabon, seorang warga Gampong Cot Tunong, Gelumpang Tiga, Pidie.

Perempuan 64 tahun itu adalah satu di antara puluhan korban yang pernah disekap dan disiksa di Rumoh Geudong saat Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).

Kutipannya itu dipajang bersama puluhan testimoni dan foto korban selamat lain.

Hari ini, Kamis, (23/3/2017) atas kebenaran dan martabat korban pelanggaran HAM, di bekas kamp penyiksaan itu dilakukan peletakan batu pertama pembangunan tugu ‘Memorialisasi Rumoh Geudong’.

Ikut hadir para korban yang merupakan saksi sejarah, berbagai elemen aktivis, mahasiswa, dan ratusan masyarakat sekitar.

Galuh Wandita, Direktur Asia and Justice Rights (AJAR) menyebut, Rumah Geudong merupakan saksi kelam konflik Aceh.

“Di tempat ini nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kita sebagai manusia ditinggalkan. Apa yang pernah terjadi di sini merupakan luka kemanusian, yang patut dikenang, tidak hanya di Aceh dan Indonesia tapi oleh umat manusia seluruh dunia,” katanya dalam sambutan.

Menurut Galuh, bila Rumoh Geudong titik kelam, korban merupakan titik harapan, hak-hak mereka atas kebenaran, atas keadilan harus terpenuhi.

Rukiyah, seorang di antara korban yang kini berusia 58 tahu hadir dan menceritakan masa-masa melewati hari di Rumoh Geudong.

Saat itu, ia sedang hamil delapan bulan. Dia datang ke Rumah Geudong atas ajakan Kepala Desa untuk melihat jasad suaminya.

Sebab, berdasarkan informasi yang diterima, suaminya ditembak di Desa Amok dan dibawa ke Rumoh Geudong. Sesampainya di Rumoh Geudong, tentara bertanya, ”Suami kamu GAM ya?”

Rukiyah menjawab dengan lantang, ”Suami saya bukan GAM, suami saya tidak terlibat GAM,”. Tak puas atas jawabannya, lalu ia pun dibawa ke lantai dua.

Di ruangan tersebut, Rukiyah mengaku dia ditelanjangi, lalu diperkosa bergantian oleh beberapa tentara. Setelah puas, tubuhnya disiram bensin dari ujung rambut hingga kaki. “Saya mau dibakar,” akunya.

Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Menjelang pagi ia dilepaskan. Hingga kini, ia tidak juga mengetahui ke mana jasad suaminya.

Yang tersisa hanyalah sarung dengan bekas lubang peluru serta sebilah parang yang biasa dipakai suaminya untuk bertani.

Pada 2013 lalu, Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang dipimpin Otto Nur Abdullah mengeluarkan hasil penyelidikannya pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Pada kasus Rumoh Geudong misalnya, tim menemukan data di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer.

Dari sejumlah data itu tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus. Kerugian materil pun mencapai Rp 4,2 miliar.

Saat ini, Komnas HAM pun masih kesulitan untuk meminta keterangan dari pihak militer terkait kasus tersebut. Otto mengungkapkan, pihak militer yang diduga terlibat takut menemui Komnas HAM.

“Yang saya bilang komandan operasi itu sudah pensiun. Ada juga komandan itu yang sekarang di masa tuanya sakit, ada yang kena parkinson, dan rata-rata yang berindikasi pelaku pelanggaran ham berat itu sakit. Itu mungkin hukuman Tuhan, kita tidak tahu. Tapi sampai sekarang umumnya dari militer itu tidak akomodatif,” jelas Otto.

Hingga kini, belum ada angka pasti  jumlah korban saat terjadinya konflik di Aceh. Tugu ini dibangun bukan untuk mengungkit luka masa lalu, tapi ‘Taloe Ingatan’ bahwa tragedi kelam pernah terjadi di Rumoh Geudong.[]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU