Thomas dan modal kerja bisnis jasa wisatanya. "Kalau saya punya tanah, mungkin akan saya garap juga," katanya mengomentari bonanza kentang di Ranu Pani. | FOTO: Ekspedisi Indonesia Biru

HARI-HARI di Jawa Timur sepanjang bulan Februari kami isi dengan mondar-mandir dari Lumajang ke seputaran Semeru dan Bromo.

Cucuk Donartono menemani kami ke lokasi-lokasi itu. Sebagai jurnalis senior di seputaran Lumajang, jejaringnya ada di mana-mana. Ia hapal medan, jeli melihat cuaca, dan mengenal lika-liku banyak daerah. Wartawan di daerah memang ulet dan serba bisa.

“Mbah, permisi cucunya mau numpang ambil gambar,” katanya sesaat setelah kami tiba di sebuah lokasi pengambilan gambar gunung tertinggi di Jawa, Semeru.

Orang Jawa menyebutnya sebagai ‘uluk salam’ atau meminta izin alias permisi kepada kekuatan yang diyakini berada di luar manusia. Entah dia serius atau tidak, tapi kami menganggapnya serius. Dan belakangan latah ikut-ikutan. Bukan karena mistik, melainkan sebagai bentuk penghormatan. Lagi pula ini juga bukan ekspedisi alam gaib. Tak ada ruginya.

Cucuk sendiri tak pernah meninggalkan salat. Ia bahkan mengisi malam-malam sembari menunggu kamera bekerja membuat ‘time lapse’, dengan memutar lantunan ayat suci di tengah hutan dari telepon selularnya.

Di sisi lain, di depan kantor Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Ranu Pani, Lumajang, tertulis kalimat yang kurang lebih bunyinya seperti ini:

“Semeru adalah tempat hidup bagi makhluk hidup yang terlihat dan tak terlihat. Hormatilah alam dan mereka yang menghuninya.”

Peringatan itu cukup serius karena ditulis dengan huruf besar ukuran poster. 45.000 pendaki yang setiap tahun melintas, pasti paham betul apa maksudnya.  Penghormatan itu bisa dimulai dari hal kecil seperti membawa turun kembali sampah yang dibawa naik ke atas.

Tahun lalu, ada18 truk sampah bekas pendaki yang dibawa turun dari Ranu Pani ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Malang. Beruntung, 15 truk di antaranya adalah sampah yang dibawa turun sendiri oleh para pendaki Semeru. Tiga truk sisanya adalah hasil sweeping pengelola Taman Nasional, warga, atau pendaki yang lain.

***

“Sejak 5 Januari 2015 kegiatan pendakian gunung Semeru ditutup sampai batas waktu yang belum ditentukan,” tulis sebuah pengumuman di laman Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

Seperti biasa, bila cuaca telah bersahabat, pendakian akan dibuka kembali dan mencapai puncaknya pada Agustus-September.

Kalau sudah begitu, Thomas Hadi Sanjaya (47) sibuk melayani tamu di penginapannya yang berkapasitas 12 kamar. Ia mengelola guest house ‘Pak Tasrip’ bersama ibunya, di Ranu Pani.

Asetnya tak hanya penginapan, juga dua buah mobil berpenggerak empat roda yang bisa disewa para tamu bila hendak jalan-jalan ke gunung Bromo melintasi padang savana dan lautan pasir. Ini jalur lain menuju Bromo yang tidak seterkenal Cemara Lawang, di Ngadisari, Probolinggo.

Tahun 2014, memang ada 45.163 orang yang melintasi desa Ranu Pani (2.100 mdpl). Tapi sebagian besar hendak menuju puncak Mahameru (3.676 mdpl) atau sekedar bersantai di Ranu Kumbolo (2.400 mdpl).

“Dalam satu tahun, rata-rata hanya 15 kali mengantar tamu ke Bromo,” terang Thomas.

Ia biasa mematok tarif 75.000 rupiah per orang per malam untuk penginapan, dan 500 ribu rupiah untuk sekali perjalanan dari desanya ke Ngadisari, Bromo. Tempat itu kini telah bertabur villa dan hotel, meski tetap bersanding hidup dengan lahan pertanian kentang, kubis, dan bawang daun. Komoditas yang juga tumbuh subur di Ranu Pani.

“Saya tidak puny alahan pertanian di Ranu Pani. Kalau ada, pasti saya garap,” kata Thomas. Ia sendiri bukan warga asli Tengger, meski pernah menjabat kepala desa Ranu Pani periode 2006-2012. Ia tertarik dengan pesatnya kesejahteraan petani Tengger dalam lima tahun terakhir yang menikmati bonanza kentang.

Dalam satu musim selama empat bulan, satu hektar kentang bisa menangguk pendapatan kotor hingga 200 juta rupiah, dengan modal 48 juta untuk bibit, pupuk dasar, dan obat-obatan. Sedangkan jasa wisata hanya panen di bulan-bulan tertentu, tergantung pihakTNBTS.

Tapi warga Tengger yang mendiami Ranu Pani juga mengalami masalah laten terkait tanah: penduduk bertambah, lahan harus dibagi ke anak cucu, sementara areal pertanian tak bisa ditambah karena dikelilingi kawasan konservasi TNBTS.

Bersama Desa Ngadas di Malang, Desa Ranu Pani di Lumajang adalah kawasan kantong (enclave) yang berada dalam Zona Pemanfaatan Tradisional yang ditetapkan seluas 2.360 hektar berdasar keputusan Kementrian Kehutanan tahun 1998. Areal yang digunakan untuk lahan pertania nwarga Ranu Pani sendiri sekitar 500 hektar, yang berada di tengah-tengah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 50.273 hektar.

Status Taman Nasional sendiri baru ditetapkan Menteri Pertanian tahun 1982. Tapi status Ranu Pani sebagai cagar alam telah diputuskan jauh sebelum itu, yakni sejak masa kolonial melalui surat keputusan Gubernur Hindia Belanda tahun 1922. Sebab, kawasan Ranu Pani dan Semeru adalah daerah sumber resapan air bagi sungai-sungai vital di Pulau Jawa seperti Berantas dan Sampeyan Madura.

Saat itu, Ranu Pani adalah salah satu kawasan yang dibuka untuk pertanian oleh orang-orang Eropa dan mempekerjakan warga sekitar, terutama orang-orang Tengger dari Desa Argosari, yang kini dikenal dengan pesona Puncak B29-nya. Setelah republik berdiri, Agustus 1945, tanah pertanian itu diambil alih negara dan statusnya lalu ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 1982.

MENUJU PETANI GUREM?

Joko (32) mewarisi 1,5 hektar tanah dari ayahnya yang pernah memiliki empat hektar. Tapi tanah itu kini telah habis dibagi untuk ketiga anaknya. Joko sendiri memilik idua anak, yang juga akan mewarisi tanah darinya kelak. Secara matematis, 20 tahun lagi, masing-masing anak Joko hanya akan mewarisi tiga perempat hektar.

“Kalau saya ingin agar anak-anak sekolah. Setinggi mungkin,” katanya di sela-sela kesibukan memberi pupuk dasar untuk kentangnya.

“Kalau sudah sekolah tinggi dan enggan kembali bertani?” pancing kami.

Dia tak langsung menjawab.

“Ya tanahnya akan saya garap,” tandasnya kemudian.

Petani yang lain juga bernama Joko (62). Ia generasi kedua warga Tengger sejak ayahnya mendiami Ranu Pani tahun 1950-an.

“Kalau dulu hasil panen lima ton untuk saya sendiri, sekarang sudah saya bagi untuk anak dan cucu,” katanya tanpa merinci luas lahan yang dimilikinya.

Sukodono (46) lebih beruntung. Meski tak mendapat jatah warisan karena lahan ayahnya telah diberikan kepada kedua adik perempuannya, ia sanggup membeli lahan 1,5 hektar.

“Yang penting adik-adik saya sudah punya tanah. Kalau anak laki-laki kan ‘langkah kakinya lebih panjang’. Jadi saya bisa berusaha sendiri,” katanya pada suatu sore.

Namun ia juga memikirkan lahan pertanian yang makin menyempit dari generasi ke generasi. Kedua anak dan cucunya kelak, dalam tempo 30 tahun, dipastikan akan berstatus petani gurem yang berdasarkan klasifikasi Sensus Pertanian adalah petani dengan luas lahan kurang dari setengah hektar.

Di depan tungku perapian di dapur rumahnya, awal Februari sore itu, Suko sedang menerima lima orang tamu. Salah satunya Toni Artaka, Kepala Resort TNBTS wilayah Ranu Pani.

Bagi Toni, keberadaan daerah kantong (enclave) seperti Ranu Pani juga menimbulkan persoalan yang tak kalah pelik, terutama bila berhadapan dengan kepentingan konservasi.

Selain masalah pembalakan, ia juga dipusingkan soal sedimentasi atau pendangkalanranu (danau) Pani yang terletak di pintu masuk desa dan areal Taman Nasional. Penyebabnya, warga enggan menerapkan sistem pertanian terasiring atau sengkedan, karena akan mengurangi luas lahan pertanian.

“Memang tidak semua enclave bermasalah. Ada yangbisa hidup berdampingan dan saling menjaga seperti di Ciptagelar yang masuk kawasan Taman Nasional Halimun Salak,” paparnya.

“Apakah enclave 500 hektar tidak mungkin ditambah?” tanya kami.

“Tidak mungkin,” jawabnya cepat.

Namun sejurus kemudian, ia meralat: “Mungkin saja sebenarnya, tapi prosesnya rumit karena harus melalui keputusan menteri. Silakan bila warga ingin mengusulkan. Harus berangkat ke Jakarta untuk meyakinkan pemerintah.”

“Jadi jatah lahan bagi 1.300 warga Ranu Pani adalah harga mati, meski mereka lebih dahulu ada daripada status Taman Nasional?”

“Iya,” jawab Toni cepat.

Ia pun menyambung, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa, Ranu Pani akan diarahkan menjadi desa wisata.

“Hanya itu pilihannya, karena penduduk terus bertambah dan lapangan kerja harus dikembangkan.”

Petani seperti Suko sendiri tak terlalu antusias dengan gagasan desa wisata. Meski menjadi pusat persinggahan puluhan ribu pendaki setiap tahun, mereka hanya menganggapnya sebagai sumber pendapatan sampingan dari jasa porter 100 ribu rupiah per hari. Bagi Suko, hasil pertanian jauh lebih besar.

“Saya malah berpikir bagaimana agar kentang Ranu Pani tidak hanya dijual mentah ke luar,” ujarnya.

Tapi bagi warga seperti Thomas yang tak punya lahan pertanian, konsep desa wisata dapat membantu meski ia juga mengkhawatirkan dampak lainnya.

“Kita harus belajar dari Desa Ngadisari (Probolinggo), di mana tanah pertanian dulu dengan mudah berpindah tangan ke orang-orang kota dan berubah menjadi hotel. Untung mereka cepat sadar dan adatnya  masih kuat. Sekarang, orang luar tidak boleh membeli tanah. Di Ranu Pani, aturan itu baru sebatas kesepakatan yang tidak mengikat,” papar Thomas.

Sebagai mantan kepala desa, ia mencatat pertumbuhan penduduk Ranu Pani berkisar delapan jiwa setiap tahun. Pertumbuhannya tak sampai satu persen. Konversi atau komersialisasi lahan untuk kepentingan non-pertanian, lebih mengkhawatirkannya daripada laju pertambahan penduduk.

Di dapur rumah Joko, anak perempuannya menghidangkan kopi panas untuk kami.

Dalam bahasa Jawa, ia lalu berujar, “Kalau sedang sendiri, saya selalu berpikir, kalau tanah ini nanti sudah habis dibagi untuk lahan dan perumahan, lalu cucu saya kebagian berapa.”

***

Hingga bulan berganti Maret 2015, kami masih berada di Lumajang, Jawa Timur, karena harus menyelesaikan penyuntingan dokumenter ‘Samin vs Semen’. Tak semua film akan kami selesaikan di tengah perjalanan seperti ini. Kami khawatir bisa-bisa tak selesai mengelilingi Indonesia dalam tempo satu tahun.

Tapi ‘Samin vs Semen’ adalah salah satu prioritas yang kami anggap mendesak untuk segera diketahui publik. Barangkali masih banyak prioritas serupa yang menunggu di sisi lain Nusantara. Seperti yang akan kami temui di Bali sepanjang Maret ini.

“Mbah, permisi, mbah. Cucunya pamit meninggalkan pulau Jawa…” (bersambung)

SUPARTA ARZ | DANDHY D. LAKSONO | EKSPEDISI INDONESIA BIRU

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.