FOTO: Ahmad Ariska

DIPAGUT rumah-rumah penduduk, Lingga menyimpan sekelumit cerita antara Karo, Gayo, dan Islam.

Langit biru mengisyaratkan hari yang cerah. Udara sejuk Brastagi mengantarkan kami hingga sampai di Desa Budaya Lingga dan disambut dengan gapura bertuliskan “Mejuah-juah”, sebagai pengganti kata Selamat Datang atau Selamat Tinggal. Jalanan yang masih berupa tanah, anjing-anjing melolong, berlarian di depan kami sampai di depan sebuah rumah tua yang telah berumur ratusan tahun.

Beberapa orang bapak sedang mengobrol di seberang rumah tersebut. Anak-anak yang bermain guli (kelereng) di depannya serta diorama Sinabung yang langsung dapat disaksikan dengan mata di belakang rumah panggung bernama Gerga itu.

Dibangun sejak 1860 oleh masyarakat Karo yang tidak beragama, mereka menyatukan delapan sampai duabelas keluarga dalam satu rumah. Untuk membangun rumah tersebut para pemuda harus pergi ke hutan untuk melihat kayu-kayu besar. Kemudian irisan kecil kayu tersebut dibawa ke dukun untuk didoakan. Setelah dimimpikan, barulah ditunjuk kayu mana yang boleh dipotong. Lalu secara gotong royong didirikan dengan menggunakan teknik sambung kayu tanpa paku yang diikat dengan bambu dari pohon aren atau rumbia.

Atapnya yang dilapisi ijuk mulai ditumbuhi lumut. Dinding rumah dipenuhi oleh ukiran penuh makna. Di bubungnya, menjulang tanduk kerbau betina pada sisi Timur. Sedangkan tanduk kerbau jantan menghadap ke sisi Barat. Tanduk sebagai lambang untuk menghormati orang masuk dan juga penolak bala, mitosnya.

“Ijuk itu melambangkan seekor cecak. Cecak pandai cari makan. Jadi keluarga yang tinggal di dalamnya biar pandai cari uang juga,” ujar seorang bapak yang berusia 42 tahun bernama Terupu Manik, pertengahan Januari lalu.

“Ukiran-ukiran itu disebut tapak Nabi Sulaiman. Dibuat untuk penangkal racun. Juga untuk melambangkan keakraban Suku Batak. Warna merah ialah simbol Marga Ginting. Biru untuk Tarigan. Hitam itu Sembiring. Kalau Suku Karo-Karo warna kuning keemasan. Dan yang warna putih simbol Suku Perangin-angin,” ucapnya.

Untuk masuk ke dalamnya, ada tangga bambu yang tersedia di sebelah Timur dan Barat. Masuk dan keluar dari rumah ini harus sesuai dengan arah matahari dengan cara menunduk. Di dalamnya sedikit gelap. Tak ada lampu menyala. Terasa pengap. Sinar yang masuk hanya melalui jendela kayu kecil yang terbuka di samping pintu. Dan seorang ibu sedang memilah kayu bakar ketika setelah saya masuk, sedang duduk di atas sebuah tikar depan kamarnya.

FOTO: Ahmad Ariska
FOTO: Ahmad Ariska

Sisi kanan dan kirinya, terdapat empat rumah berjejeran yang berukuran sekitar enam meter. Tiap rumah hanya memiliki satu kamar dan sebuah ruang duduk yang dialasi tikar. Terdapat para (tungku memasak) di antara dua rumah. Dua keluarga tersebut harus membagi jatah masak untuk satu para.

Para berbentuk petak yang terbuat dari kayu-kayu besar. Di atasnya, terdapat tempat menyimpan kayu bakar dan ikan, serta menjemur padi. Mereka masih memasak menggunakan api. Mereka percaya bahwa asapnya dapat membuat rumah makin kuat dan tidak dihinggapi rayap.

“Ayah dan mamak tidur di dalam kamar itu. Kalau ada anak laki-laki yang sudah berumur tujuhbelas tahun, tidak boleh lagi tinggal dengan orangtua. Mereka pindah ke rumah lain. Tinggal bersama anak laki-laki lainnya. Kalau perempuan tidurnya di atas tikar ini,” jelas bapak yang pandai berbahasa Spanyol dan Jepang ini.

ARTIKEL TERKAIT:
Lingga, Dinasti yang Terlupakan [1]

Lingga, Dinsati yang Terlupakan [2]

“Nanti kalau ada cowok yang suka sama anak gadis di rumah ini, dia akan tiup seruling dari bawah sana. Nggak boleh naik tangga. Dan misalnya si gadis suka, dia akan buka jendela untuk lihat laki-laki itu. Kalau tidak, setelah dibuka, ditutupnya lagi,” lanjutnya sambil tersenyum.

Sambil berjalan ke sisi rumah dekat pintu lainnya, menuruni tangga bambu, bapak yang memiliki kulit berwarna gelap ini kembali bercerita. “Setahu saya, di Aceh, di Gayo ada yang namanya Linge ya. Di sini ada yang namanya Tengku Lobaho. Kuburannya nggak jauh dari sini. Dia itu keramat. Kalau kemarau panjang, kami ke tempat kuburan Tengku itu berdoa. Setelah itu hujan turun. Katanya dia itu ada garis keturunan dengan Gayo. Dulu sebelum 1970 penduduk Karo mayoritasnya beragama Islam. Karena hal itu makanya ada hubungan. Kalau sekarang hampir semua beragama Kristen.”

Matahari tak tampak lagi. Sebab mendung menyelimuti hari yang kian beranjak sore. Kami menutup pertemuan dengan bersalaman. Dan seketika itu, Sinabung kembali mengeluarkan isinya. Erupsi terjadi. Awan panas kembali berarak menyatu bersama gumpalan awan tertiup terbawa angin. Entah ke mana. []

FIRA AL HAURA, mahasiswi Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Budaya

3 COMMENTS

  1. mohon diralat artikel ini :
    1. tidak ada yg bermarga siangin – angin di suku karo tapi perangin angin.
    2. rajah tapak nabi sulaiman bukan sebagai penangkal racun tapi sebagai penolak bala kembali ke si pengirim.
    3. itu bukan lambang cicak tapi disebut pengeret – ret dalam suku karo.. itu diartikan bukan sebagai agar pintar mencari makan yg didalam rumah tapi sebagai pagar agar bala tidak masuk kerumah. setiap ornamen mempunyai arti dri yg disebut embun embun sikawiten,tupak salah silima lima, dan bindou matoguh dan masih banyak lgi ornamen lainnya.
    4. sensus penduduk sebelum tahun 1970 mayoritas penduduk suku karo masih banyak beragama kepercayaan kepada leluhur atau sering disebut pemena.
    5. dan terakhir sepertinya guide anda tidak paham betul rumah adat suku karo, terlebih karo juga bukan batak.. dalam artian tidak ada sangkut paut menaut dengan keturunan siraja batak seperti yg dikabarkan beberapa dekade ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.