Friday, March 29, 2024
spot_img

Terorisme & Korupsi

Dalam beberapa hari ini, ribuan penduduk mengungsi, meninggalkan Marawi, untuk menghindari perang antara militer Filipina dengan kelompok Maute. Kota yang berpenduduk sekitar 200 ribu orang itu sejak beberapa hari yang lalu diduduki oleh kelompok yang bersetia pada ISIS itu. Sejak itu pula, militer Filipina berusaha merebut kembali  ibu kota Provinsi Lanau del Sur di Mindanao, Filipina Selatan tersebut.

Pada hari-hari yang sama, kita juga menyaksikan  media memberitakan tragedi di Manchester dan di Kampung Melayu. Bom mengguncang pertunjukan musik di Manchaster, salah satu wilayah yang paling besar jumlah Muslim nya di Inggris. Ledakan bom juga membuat panik sekitar terminal Kampung Melayu menjelang pawai obor menyambut Ramadhan.  Kedua bom itu diduga sebagai bom bunuh diri.

Sebelumnya, publik di Aceh dikejutkan dengan kekerasan karena “sie meugang” di depan kantor Gubernur Aceh.

Peristiwa kekerasan, dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dengan alasan apapun, paling tidak selalu memggelisahkan kita yang pernah dekat apalagi mengalaminya.  Sekalipun ketika kita sekarang jauh dari lokasi peristiwa kekerasan, arus informasi, termasuk lewat sosial media, membuat semuanya terasa begitu dekat. Bagi sebagian, apalagi yang dekat atau mengalami di lokasi kejadian, kekerasan pasti menimbulkan trauma.

Seperti bagi masyarakat Aceh yang pernah mengalami kelamnya masa konflik. Ketika membaca berita penduduk Marawai nun jauh di Filipina Selatan sana mengungsi demi menghindari perang, episode kelam rakyat Aceh yang pernah dibatasi mobilitasnya dan terpaksa meninggalkan rumah dan kampung-nya seolah diputar ulang di depan mata kita.

Ribuan orang, ratusan keluarga, terutama anak-anak, perempuan, dan orang tua harus meninggalkan kenyamanan rumah dan kampung halamannya. Rumah dan kampung sendiri, tak peduli  sesederhana apapun, tetap lebih nyaman ketimbang tempat pengungsian sebaik apapun di tempat yang asing dan baru.

Perasaan tidak nyaman, tidak aman, tidak pasti, tidak menentu seolah kembali memilin-milin isi perut kita yang pernah mengalami episode itu saat membaca atau menonton berita pengungsi menumpang kenderaan pribadi dan umum dengan bekal seadanya meninggalkan Kota Marawi.

Tragedi Manchaster dan Kampung Melayu juga kembali menghadirkan gambar-gambar korban ledakan granat dan bom yang sempat meneror banyak wilayah Aceh di masa konflik 30 tahun itu. Apalagi ketika banyak orang meneruskan gambar-gambar yang sangat grafik, penuh kekerasan, lewat sosial media. Tubuh-tubuh terkoyak akibat perang dan akibat pelanggaran HAM seolah kembali menjadi sangat nyata di depan mata.

Peristiwa kekerasan seolah makin susul-menyusul dalam menyambut Ramadhan tahun ini. Walaupun tak ada tubuh yang terkoyak, usaha mencari setumpuk-dua daging meugang untuk menyambut Ramadhan telah mengoyak martabat dan menisbikan rasa malu sebagian kita di Aceh.

Kerakusan dan Kepedihan

Kata banyak ahli perdamaian dan resolusi konflik, sumber segala kekerasan adalah kerakusan (greed) dan kepedihan (grievance). Keduanya menjadi sumber kekerasan karena mereka merampas keadilan.

Kerakusan menyebabkan orang mengambil yang bukan menjadi haknya atau mempertahankan kekuasaan dengan segala daya upaya demi berlanjutnya kenikmatan yang datang bersama kekuasaan itu. Privilege, fasilitas khusus yang menempel pada sebuah jabatan publik, misalnya, seringkali melenakan sehingga lama-kelamaan dirasakan sebagai hak yang harus terus dipertahankan dengan seagala daya upaya.

Kerakusan adalah penyebab korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lihatlah bagaimana makin besar kekuasaan, makin tinggi jabatan, makin banyak uang yang terlibat, makin banyak yang tergelincir oleh perbuatan nista ini. Rasanya tidak ada koruptor yang korupsi karena miskin. Artinya, yang korupsi itu pasti “orang kaya” bukan? Nah, kalau sudah kaya, kenapa masih korupsi? Kerakusan!

Kepedihan bisa muncul karena harapan yang terbenam. Makin tinggi harapan, makin pedih saat ia tak tergapai. Tapi di era informasi yang cepat dan murah seperti saat ini, memupuk harapan, sebagian menyebut mimpi, yang lain menyebut ideologi, makin mudah untuk setiap orang.

Aklibatnya, makin banyak kita yang punya harapan dan mimpi yang tidak lagi sederhana seperti orang-orang tua kita dulu. Karena bius sinetron yang memamerkan gemerlap hidup mewah, misalnya, makin banyak pemuda-pemudi kita yang bermimpi untuk hidup foya-foya ketika muda, kaya-raya ketika dewasa, dan masuk syurga karena tiba-tiba jadi alim seperti tokoh sinetron yang ditontonnya setiap malam.

Bahkan untuk kelas menengah yang berpendidikan, janji hidup senang di tengah aneka terobosan teknologi informasi, bisnis, dan industri telah membuat kita punya harapan tinggi, bahkan berlebihan pada segala sesuatu yang berbau hi-tech.

Lihatlah bagaimana sebagian besar remaja dan pemuda kita ingin dan selalu memilih belajar “komputer” ketimbang belajar ilmu atau keahlian lainnya. Wilayah pertanian kita yang konon terbaik di dunia, dengan komoditas endemik yang seringkali tidak ada duanya, selalu kekurangan ahli pertanian dan perkebunan handal dan moderen. Pada saat politeknik pertanian dibuka di sebuah wilayah, peminat terbesar pun tetap untuk jurusan “komputer”!

Apa yang terjadi pada mereka yang harapan dan mimpinya sulit bahkan tak tergapai? Awalnya mungkin hanya ada sedikit kepedihan dan perasaan salah sendiri. Setelah beberapa kali mengikuti perdebatan seru di sosial media tentang “kegagalan” pemerintah “menyejahterakan rakyatnya”, kepedihan pribadi mulai mendapat teman. Saat dibumbui isu SARA, kepedihan makin menyesakkan dan perasaan bersalah mulai hilang, digantikan dengan “menyalahkan”. Kebiasaan menyalahkan dipupuk secara berjamaah menjadi kebencian yang akut. Kebencian makin akut saat dibungkus tafsir agama.

Alhamdulillah, negeri ini masih mengizinkan demonstrasi dan menyatakan pendapat secara bebas, bahkan demonstrasi berbasis SARA sekalipun. Paling tidak ini bisa menjadi penyaluran kepedihan berjamaah, yang seringkali sudah menjadi kebencian berjamaah.

Namun sampai kapan “kepedihan”, perasaan diperlakukan tidak adil, bisa ditahan sendiri ataupun berjamaah? Apalagi saat ditingkahi tontonan “kerakusan” yang terus diperagakan lewat berbagai kasus KKN para pejabat negara? Juga diwarnai kerakusan para elit yang berebut merampok atau menjual aset negeri? Semuanya terpampang dengan gamblang lewat media berita 24 jam dan salah satu jaringan pengguna sosial media terbesar di dunia bernama Indonesia.

Saat kepedihan kian mendidih, dan tak kunjung tersalurkan bahkan lewat protes berjamaah, datang pula berita hadirnya “Ratu Adil” seperti “khilafah” atau “ISIS” dan yang sejenisnya. Bagi sebagian, kepedihan itu mendapat penyaluran karena pembenaran aksi brutal oleh tafsir agamawan tertentu.

Karena itulah terorisme itu dikatakan tidak punya agama. Karena radikalisme bisa dianut oleh penganut agama apapun. Kalau sekarang banyak aksi teror dituduhkan kepada pemeluk Islam, bisa jadi karena memang deprivasi, perasaan diperlukan tidak adil, banyak dialami oleh Muslim di berbagai belahan dunia.

Kepedihan ini sebagian karena salah si Muslim itu sendiri. Lebih banyak karena pemerintahnya yang korup sehingga gagal menyejahterakan rakyatnya. Tapi ada juga karena kerakusan para pemilik modal yang main mata dengan penguasa. Juga bisa karena bias media massa. Bukan karena agamanya, sukunya, rasnya, atau golongannya. Jelas bukan karena Islam!

Ali bin Abi Tahlib pernah berujar, kira-kira seperti ini:  “Kemewahan hidup pengusaha memotivasi, kemewahan hidup penguasa menyakiti”. Untuk Indonesia mungkin lebih tepatnya begini: “Kemewahan hidup pengusaha JUJUR memotivasi, kemewahan hidup penguasa KORUP menyakiti”.

Karena itu, deradikalisasi hanya mungkin dilakukan dengan menebar keadilan. Dan itu hanya mungkin saat pengusahanya jujur dan penguasanya tidak korup. Stop korupsi, kolusi, dan nepotisme sekarang juga!

*Saiful Mahdi, Ph.D adalah ko-pendiri dan peneliti Aceh Institute, Fulbright Scholar, dan dosen di FMIPA Unsyiah. Email: [email protected]

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU