Friday, April 19, 2024
spot_img

Tsunami Kecil di Situ Gintung

Sungguh tak terbayang oleh masyarakat yang tinggal disekitar Situ Gintung, bahwa mereka akan mengalami nasib serupa seperti masyarakat Aceh yang pernah tertimpa musibah tsunami 26 Desember 2004. Apa yang terjadi di Situ Gintung persis seperti terjangan tsunami dalam skala kecil, tak terduga, dan memporak-porandakan apa saja yang dilewati tumpahan air dari Situ Gintung.

Media massa baik cetak maupun elektroknik melaporkan kepedihan mendalam. Kita tidak bisa membanyangkan apa yang terjadi di subuh buta itu, ketika 2 juta meter kubik air Situ Gintung tumpah ruah menerobos kemukiman padat penduduk. Hanya dalam hitungan detik, sama seperti tsunami di Aceh semua rata dengan tanah. Nyawa manusia menjadi tak berharga.

Sampai tulisan ini saya buat, tim SAR yang dibantu polisi, tentara dan masyarakat setempat masih melakukan pencarian. Bahkan presiden SBY pada hari kedua setelah musibah berharap pencarian korban Situ Gintung perlu terus dilanjutkan.

Meskipun dalam kondisi bencana, penduduk Jakarta dan Banten, berduyung-duyung mendatangi melihat lokasi kejadian. Sehingga mengundang komentar Kapolres Jakarta Selatan Kombes Firman Santya Budi. Menurutnya, ia tak bisa melarang masyarakat untuk melihat-lihat lokasi, karena menurutnya bisa jadi yang datang adalah keluarga para korban atau masyarakat dari daerah lain yang ingin memberi simpati.

Situ Gintung yang dibangun Belanda pada tahun 1932 dan selesai tahun 1933, merupakan salah satu dari puluhan situ yang ada di wilayah DKI dan Banten. Menurut informasi yang saya simak di media televisi pada hari kedua kejadian, bahwa Situ Gintung ini termasuk salah satu dari 50 situ yang harus segera mendapat perhatian serius untuk diperbaiki. Dari beberapa riset yang telah dilakukan beberapa pihak, harusnya Situ Gintung pada tahun 2005 mendapat prioritas untuk di benahi. Tapi karena problem anggaran, perbaikan tak pernah terwujud sampai bernasib tragis hingga menelan puluhan korban jiwa yang tak berdosa.

Bila kita menyimak rentan waktu tahun 1932 hingga 1999, maka sangat layak Situ Gintung untuk direvitalisasi kembali. Perubahan fungsi lahan hijau di sekeliling situ yang telah menjadi perumahan padat penduduk, dengan beberapa komplek perumahan mewah diduga sementara penggiat lingkungan hidup sebagai salah satu penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung. Semestinya dalam radius 100-200 meter dari bibir tanggul tidak boleh ada bangunan rumah penduduk. Yang boleh hanya pepohonan hijau untuk menguatkan kontur tanah penahan tanggul.

Terlepas dari berbagai analisa yang muncul, saya berpendapat bahwa Situ Gintung ketika musibah terjadi mungkin marah karena melihat dirinya diperlakukan tidak adil oleh manusia. Ia terjepit dengan kepentingan masyarakat urban. Sehingga ia sesak bernafas menpertahan ekosistemnya untuk mempertahankan diri dari kewajibannya menampung air penyangga ibukota Jakarta. Maka ketika ia murka, manusia pula yang menjadi korban.

Kejadian ini bagi kita umat manusia menjadi pemicu untuk tetap bersahabat dengan alam. Karena alam adalah penyangga hidup manusia yang paling penting dalam mempertahan kelangsungan hidup anak cucu kita selanjutnya. Semoga musibah Situ Gintung menjadi pelajaran bagi kita semua. Amin. []

*) Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI. Aktif ngeblog di http://dsatria.wordpress.com.

CATATAN REDAKSI:
Rubrik WARGA MENULIS diperuntukkan bagi para pembaca situs ACEHKITA.COM. Anda bisa mengirim tulisan ke [email protected] dengan menyertakan fotokopi identitas diri.
Semua materi di Rubrik WARGA MENULIS menjadi tanggungjawab penulis. Hak cipta ada pada penulis.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU