DINGINNYA Agustus di Takengon tak terasa bagi Diki Meilala. Apalagi bila sudah berada di samping tunggangannya: kuda. Semuanya akan panas. Bahkan akan lebih panas lagi jika sudah berada di landasan pacu. Hiiyaaa… Hiiyaaa

Bak busur dilepas dari panah, bocah 12 tahun ini berpacu tanpa celana, eh pelana. Memang pancuan kuda di Takengon tanpa alat pelindung. Jokinya pun sudah biasa. ”Saya memang suka menunggang kuda, apalagi untuk pacuan. Saya juga tidak takut dengan kecelakaan yang sangat mungkin terjadi,” sebut Diki warga Pondok, Kecamatan Bandar, Aceh Tengah.

Diki tidak sendiri. Ada ratusan joki lain yang punya hobi serupa. Pacuan kuda menjadi tradisi di dataran tinggi Gayo ini. Setiap akhir Agustus, digelarlah lomba pacuan kuda di kota itu. Tidak hanya itu, setiap tahun pacuan kuda digelar untuk memperingati hari kemerdekaan RI.

Pacuan kuda dilangsungkan selama seminggu, mulai 21 Agustus hingga 28 Agustus 2007. Ada dua kategori kuda yang diperlombakan, yaitu kuda lokal dan kuda campuran. Uniknya, ada juga kuda betina yang turut diperlombakan. Joki-jokinya adalah anak-anak usia tujuh hingga 12 tahun tanpa pelana. Seperti Diki misalnya.

Masyarakat Aceh Tengah memang menggandrungi pacuan kuda. Tapi, ingat, pacuan kuda di sana tampil lebih berani seperti pacuan kuda umumnya. Di sini joki bukan lulusan sebuah akademi. Keahlian mereka alami dan tanpa aturan detail.

Para joki di Takengon bertanding tanpa pelana, cukup memakai kaus dan celana pendek kumal yang biasa dipakai sehari-hari, serta tanpa pelindung tubuh lainnya. Betul-betul alami. Para joki biasanya anak-anak seusia sekolah dasar.

Lomba pacuan kuda di sini lebih kolosal. Pasalnya butuh waktu sepekan. Sebab lebih dari 300 kuda yang ikut. Sehingga benar-benar alami bin tradisionil. Pun begitu, cuma kuda terbaik yang berhak masuk babak final. Tradisi pacuan kuda ini sudah dimulai sejak tahun 1946. Setahun usai memperingati HUT RI.

Kabarnya, pacuan kuda Gayo juga sarat nuansa mistik. ”Mereka yang mempunyai kuda pacu ada-ada saja caranya untuk memenangi pertandingan. Ada yang memandiin kudanya malam hari di sungai, ada yang nyembelihin ayam di tengah lapangan, pokoknya unik-unik pacuan kuda di sini,” papar Yuliana, warga Takengon.

Di balik yang aneh-aneh itu, Diki dan abangnya, Ferry Meilala (17) malahan sering berlatih untuk bekal sebelum laga. Bukan hanya itu, kuda pun perlu diservis. Servisnya dengan suplemen berupa telur, madu dan gula hutan (aren).

”Sebenarnya merawat kuda mahal biayanya, bahkan kalaupun menang hadiahnya tidak cukup untuk perawatan,” sambung ayah Diki, Masmiko Meilala (40) yang mengoleksi lima ekor kuda.

Untuk seekor kuda saja menghabiskan dana Rp25.000 per minggu.

Kendati mahal, Meilala ini tetap tak peduli. ”Karena ini sudah menjadi hobi dan tradisi bagi kami. Apapun caranya kami akan berusaha terus melestarikannya,” tukas Masmiko mengingatkan sebuah iklan di televisi, sudah tradisi… Hiyaaa… Hiyaaa… [a]

MISMAIL & CHAIDEER MAHYUDDIN | ACEHKINI
VIDEO: Fadel Batubara/ACEHVIDEO.tv

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.