Wednesday, April 17, 2024
spot_img

PERJALANAN
Mencari Hulu Krueng Aceh

BERBICARA masalah lingkungan tentunya tidak lepas dari sumber daya alam (SDA), sebagai salah satu contohnya yang secara langsung berhubungan erat dengan perkembangan dan pertumbuhan daerah terhadap infrastruktur dalam mendukung pembangunan daerah.

Kali ini, tim ekspedisi ABC Regional I Banda Aceh dan Aceh Besar (Tim X-ABC I) melakukan penjelajahan dengan tema lingkungan yang bertujuan untuk mencari tahu sejauh mana pengrekrutan SDA yang dijadikan aset dalam pembangunan serta mencari tempat-tempat wisata yang masih terpelihara dan jauh dari pandangan publik.

Ekspedisi yang berlangsung pada hari minggu (2/8) memang sedikit beda seperti apa yang telah dilakukan oleh tim X-ABC III Bireuen bulan Juli 2009 yang lalu, kali ini tim X-ABC I bergerak tanpa dibantu oleh guide (pemandu), berhubungan para tim yang ikut serta sudah mengetahui beberapa titik poin yang akan dikunjungi untuk melihat secara langsung dari apa yang terjadi di lapangan.

Misi utama dalam ekspedisi yang beranggotakan lima orang ini adalah mencari hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh, pertualangan pertama dimulai dari penelusuran Krueng Lamnyong Darussalam sampai ke Aceh Besar, selain itu juga tim X-ABC I ikut serta meninjau proyek penambangan golongan C (galian C) yang terdapat diseputaran bantaran Krueng Aceh.

Saat penelurusan berlangsung, memang kami mengalami sedikit kendala ketika mengikuti hilir krueng Aceh yang terbelah dua, tepatnya berada di belakang kampus Politeknik Aceh. Tidak ketinggalan tim juga mengabadikan beberapa gambar, sebagai bukti dari penjelajahan yang masih berlanjut.

Setelah berembuk, akhirnya kami mengambil kesimpulan untuk mengikuti DAS Krueng Aceh melewati jalan raya Medan-Banda Aceh. Tidak lepas dari berbagai tantangan, kami ikut serta singgah di seputaran sungai atau dikenal dengan bendungan Lambaro yang dibangun beberapa tahun yang lalu.

Waduk Keuliling
Tidak lama-lama di bendungan Lambaro, kami beranjak langsung menuju ke Waduk Keuliling yang berada di desa Lam Leuot Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar.

Sebelum menuju tempat safari waduk buatan ini, kami juga menyempatkan diri untuk membeli bekal di perjalanan dengan santapan khas orang Aceh Besar yakni kari kambing lengkap dengan buah nangka atau boh panah dalam bahasa Aceh.

Perjalanan yang membutuhkan waktu satu setengah jam untuk menuju ke Waduk Keuliling ternyata bisa melepaskan penat kota Banda Aceh selama sepekan. Dari arah jalan raya Medan-Banda Aceh menuju ke waduk ini bisa kita tempuh sejauh kurang lebih 7 kilometer dengan kondisi jalan dalam tahap pengerasan saat kami melakukan ekspedisi.

Waduk buatan yang berada di antara bukit-bukit tersebut memberikan suasana tersendiri, tempat yang kini sudah ramai dikunjungi warga sebagai sarana rekreasi juga dimanfaatkan oleh warga setempat sebagai tempat melepaskan hobi bagi mereka yang suka memancing.

Selain itu pemandangan yang sungguh luar biasa bisa dinikmati di seputar waduk dengan view yang masih cukup memanjakan mata dengan begitu sangat jelas dan bersahabat, mulai dari gunung Seulawah sampai pegunungan yang menghubungi Aceh Besar ke pantai barat kota Lamno, Aceh Barat dan sekitarnya.

Setelah mengabadikan gambar, tim juga beranjak ke sebuah makam yang berada di areal waduk, makam yang tidak begitu jelas empunya ini sudah dipugar oleh pihak waduk dengan posisi yang sangat mencolok berada di dekat mushalla yang dikhususkan untuk para pengunjung yang ingin menunaikan shalat. Jelas terlihat dari batu nisan yang terpampang, makam ini merupakan makam terdahulu dengan corak batu nisan yang bertuliskan bahasa Arab dan juga lafadz “Lailahaillallah”.

Menelusuri Galian C
Hanya berselang satu jam dari waduk Keuliling ini, sekitar pukul 15.00 kami sudah melakukan perjalanan lanjutan lagi ke desa Lamsie wilayah Indrapuri, Aceh Besar.

Konon desa yang mempunyai sungai yang jernih ini sekarang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi oleh warga sebagai tempat menggantungkan keperluan sehari-harinya. Bahkan, jembatan yang menghubungkan dua desa dengan sebelahnya kini telah ambruk menjadi tidak terurus.

Padahal menurut keterangan saat tsunami dulu melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang silam, jembatan ini masih normal saja dan tidak ada sedikit pun yang hancur, namun akibat banjir akhir tahun 2007 yang lalu jembatan ini langsung mengalami patah tiga.

Jelas-jelas penambangan galian C diseputaran bantaran Krueng Aceh, kecamatan Cot Glie berdampak buruk secara langsung ke lingkungan setempat. Hal ini cukup terlihat secara nyata, saat kita turun langsung ke sungai, yang terlihat hanya air yang keruh dengan kondisi yang begitu tidak bersahabat lagi.

Bahkan erosi dari tanah-tanah sekitar sungai sungguh memuat pilu hati ini, tanpa ada sedikit pun tindakan dari Pemda setempat untuk peduli akan lingkungan desa setempat. Namun, warga juga tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka hanya bisa mengeluh atas dampak dari penambangan tersebut.

Berangkat dari desa Lamsie, kami juga melanjutkan ke bantaran lain sisi Krueng Aceh, ternyata cukup banyak kita temukan galian C. Mungkin kita pernah melihat dulu diseputaran jalan menuju ke Seulimun dari arah Banda Aceh, sungai yang sering disanggahi oleh para supir-supir angkutan umum seperti labi-labi untuk mencuci mobil atau hanya sebatas istrahat sejenak.

Namun, kini pemandangan yang kita lihat dulu sudah berubah drastis dan sekarang sudah tidak ada aktifitas lagi yang dilakoni oleh para supir labi-labi itu. Entah kemana, mungkin juga ini pengaruh dari galian C, dimana air sungai sudah mulai tidak jernih lagi dan mereka (supir-supir, -pen) juga sudah enggan mencuci mobilnya di air yang keruh.

Krueng Jreue
Beranjak dari sungai wilayah Kuta Cot Glie, tim X-ABC I pun bergegas untuk kembali ke Banda Aceh. Namun, dalam menghabiskan sore hari, tim juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Krueng Jreu, Indrapuri, Aceh Besar. Dengan berbekal mie instan dan alat memasak seadanya, Krueng Jreu menjadi tempat terakhir untuk melakukan ekspedisi kali ini.

Ditengah-tengah perjalanan menuju ke Krueng Jreu, kami juga menemukan proyek penambangan galian C yang dimasuki oleh truk-truk pengangkut galian.

Untuk menuju ke krueng Jreu, jalan yang dilewati tidak semulus biasanya. Jalan yang berdebu dengn kerikil kecil siap menemani kita sepanjang jalan, terlebih lagi terdapat lubang-lubang besar akibat dari keluar masuknya truk-truk pengangkut pasir dan batu.

Pemandanan di krueng Jreu masih tergolong sangat alami, air yang begitu jernih masih bisa kita dapat disana. Ikan-ikan kecil yang senantiasa mencari lumut masih sangat kelihatan jelas di dalam air jika kita lihat dengan mata telanjang. Sebagian besar warga Indrapuri juga masih mengantungkan hidupnya pada air sungai ini.

Namun, entah sampai kapan krueng Jreu ini masih bisa terus bertahan dengan kealamian yang dimilikinya. Walaupun jarang di jamah oleh masyarakat luas, tidak tertutup kemungkinan proses penambangan galian C juga akan mengintai ke pelosok sungai ini. Semoga saja pemerintah setempat dan juga warga sekitar bisa terus menjaga lingkungan ini untuk warisan anak cucu nanti.

Laporan ditulis oleh tim X-ABC I, untuk lingkungan Aceh, di antara harapan. Tim X-ABC I (Fadli Idris/fadli.web.id, Fadhlul Fahmi/ fadhlulfahmi.blogspot.com, Fachrul Fikri/blog.adikcilak.com, Husni Mubarak/hoesni.wordpress.com, Aulia Fitri/aulia87.wordpress.com)

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU