Saturday, April 20, 2024
spot_img

Wartawan Anonim dan Ombudsman

KAMI mendirikan situs acehkita.com dan majalah Acehkita, dengan kesadaran bahwa kami tidak bisa memberitakan Aceh dengan leluasa. Untuk meliput di Aceh, wartawan harus mengantongi kartu pers khusus yang dikeluarkan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Karena berstatus darurat militer, maka semua hukum sipil, termasuk UU Pers, dianggap tidak berlaku.

Maklumat dikeluarkan agar pers tidak mengutip sumber-sumber GAM. Tanpa ikut rombongan tentara atau polisi, wartawan tidak bisa leluasa keluar masuk kampung mencari informasi. Setiap sore, ada press briefing di markas komando operasi.

Maka satu-satunya pilihan untuk mendapatkan informasi adalah sama seperti yang dilakukan kombatan: jalan “gerilya”.

Wartawan acehkita diberi pilihan untuk menggunakan nama samaran atau nama asli untuk penulisan feature, dan cukup kode “AK” (akronim acehkita) untuk straight news. Hingga dua tahun berjalan, kami memiliki AK-42, sesuai jumlah jaringan kontributor saat itu.

Memilih menjadi media alternatif punya risiko berita-beritanya dianggap tidak bermutu dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Karena itu kami mempublikasikan alamat dan nomor telepon redaksi yang jelas. Mencantumkan nama semua penanggung jawab redaksi yang ada di Jakarta.

Lalu untuk menjaga kualitas dan integritas, kami pun sepakat menunjuk Ombudsman. Ini adalah pihak ketiga yang akan menjembatani redaksi dan pembaca.

Sebagai pengawas, Ombudsman tidak berada di bawah redaksi. Dia bekerja independen untuk mengaudit kerja-kerja redaksi bila ada keluhan dari pembaca. Karena itu, dia harus lebih sakti dari orang yang paling sakti di redaksi. Bila ini media alternatif di medan tempur, seorang Ombudsman haruslah orang yang juga pernah bekerja di masa-masa konflik.

Tak banyak yang cocok untuk pekerjaan ini. Kalau pun ada yang cocok, belum tentu bersedia. Risiko, kerepotan, dan honor yang diterima dari yayasan, barangkali tak sebanding.

Maka kami pun mengundang Yosep Adi Prasetyo alias Stanley untuk mengawasi kami. Apakah kami sengaja memilih wartawan yang paling lunak untuk mengawasi kami? Saya tak perlu menulis ulang siapa Stanley.

Lewat catatan-catatannya di buku ini, kita bisa menilai bersama-sama apakah jenis wartawan seperti ini bisa kami tipu-tipu dengan berbagai dalih teknis jurnalistik dan masalah-masalah di lapangan.

Seorang Ombudsman bahkan berhak memeriksa catatan wartawan, meminta rekaman, juga melihat notulensi rapat redaksi. Sesuatu yang bila dilakukan orang lain, bisa kena delik pidana penghalang-halangan kerja jurnalistik dengan ancaman hukuman dua tahun penjara dan denda 500 juta rupiah.

Tapi kami juga tidak ingin diawasi oleh jurnalis yang secara sadar memilih “NKRI harga mati”. Sebab kami hadir justru sebagai gugatan terhadap jargon itu.

Maka integritas yang diuji dan dipertaruhkan di sini adalah apakah kami meliput secara independen dan taat metodologi (etik).

Ketika banyak keluhan yang masuk ke redaksi karena kami dianggap pro-GAM, Stanley dengan tekun membongkar satu per satu berita kami dan membuat catatan.

Ketika foto-foto kami dikritik karena dianggap mengumbar sadisme (korban konflik), Ombdusman acehkita menulis catatan khusus sembari merujuk praktik jurnalisme foto dalam konflik di berbagai negara.

Begitu juga saat banyak karya acehkita yang dicomot media lain dan mengancam keselamatan sumber berita kami, Stanley justru membuat catatan yang menohok:

“Lantas siapa yang harus dipersalahkan? Kasus ini menyimpulkan bahwa kesalahan ada pada kedua belah pihak yang berperang. Perang seharusnya tak melibatkan orang-orang sipil yang umumnya justru menderita karena peperangan tersebut.” (hal 65)

Padahal kami mengharapkan “vonis” yang lebih berpihak kepada redaksi. Tabloid Modus, yang mencomot foto kami tanpa permisi, jelas-jelas telah memelintir keterangan foto seorang warga sipil yang dimobilisasi untuk mencari kombatan GAM di hutan. Ini membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.

Tapi Stanley hanya menganggapnya sebagai “kesalahan prosedural” karena mengambil foto tanpa izin. Bukan karena membelokkan substansinya.

Tapi itulah fungsi memiliki Ombudsman yang lebih sakti dari jajaran redaksi. Substansi sebenarnya memang persoalan warga sipil yang tak boleh dimobilisasi dalam perang horizontal melawan kombatan. Substansinya terletak pada pelanggaran hukum perang internasional. Bukan hanya soal hak cipta dan memanipulasi keterangan foto.

Ketika perjanjian damai Helsinski ditandatangani, 15 Agustus 2005, justru kami lah di redaksi yang gantian berperang dengan pihak yayasan. Ombudsman Stanley yang notabene mendapat honor dari pihak yayasan, hanya memerdulikan satu hal: hak publik atas informasi.

Dia tidak masuk pada substansi konflik kami, dan hanya hirau pada apa yang menjadi mandat utamanya: publik atau pembaca.

Dan bukankah memang itu tujuan media alternatif seperti acehkita dilahirkan? []

DANDHY D. LAKSONOtulisan ini diambil dari Kata Pengantar buku Pers di Terik Matahari, Catatan Ombudsman acehkita di Masa Darurat Militer, karya Stanley Adi Prasetyo.

Redaksi
Redaksihttp://www.acehkita.com
ACEHKITA.COM hadir sejak 19 Juli 2003. Kami bisa dihubungi via @acehkita, redaksi[at]acehkita[dot]com

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU