AKU menginjakkan kaki ke tanah yang pernah bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan Jakarta, Januari 2015 silam. Pertama kali dalam hidupku yang 34 tahun ini. Menjalani sebuah misi membangun ‘jembatan’ kehidupan. Sejujur dan setulus hati kuungkapkan bahwa paha-paha putih-mulus menyambutku. Menyambut benakku yang pengap oleh kabut syahwat. Menghentak. Terhenyak. Terperangah. Tiga detik pertama aku sangak dan tersentak. “Astaghfirullahal’azim…” batinku bertutur tersadar. 

Sederet bilangan dosa pasti telah tertulis dalam alat pencatat Malaikat Atid. Ah, seperti juga dosa-dosa lain yang kubuat, kerap sesal menyusul tanpa mampu membalik waktu.

Segera kunetralkan kepanikan, mencari sudut yang berizin merokok. Aku duduk agak di tepi teras luar Bandara Soekarno-Hatta. Di depanku melintas dua orang porter bandara. Aku sempat menyapa mereka dengan menaikkan kedua alis serentak saat menyulut sebatang rokok, untuk menampakkan seolah aku sudah terbiasa dalam situasi ini. Mereka membalasnya dengan senyum lebih ramah. Aku merasa kalah ramah. Sungguh meuramah!

Mataku kembali berkeliaran memilih pemandangan yang berserakan di hadapan. Paha yang selalu berpasangan kiri-kanan yang telah membuka mata-batinku tentang betapa lemah diri, betapa dangkal aku memahaminya. Bahkan, jika aku berpikir ‘sedikit ke atas lagi’, aku tak sedang berpikir tentang mulianya tugas regenerasi yang diemban. Beribu pasang paha yang mengisi 16 hari perjalanan berakhir sebagai permenungan; begini dangkallah pemahaman dan mentalitas keimananku.

Kau tahu, Ngon, sungguh berbeda melihat paha dalam balutan bikini (atau tak berbalut sekalipun) dari layar kaca dengan yang langsung berinteraksi dengan mata. Ngon, jika live, di atas lutut saja, bahkan cukup sebetis penampakan, aku bergetar. Gelegar dalam dadaku bergolak, Ngon. Segera setelahnya, aku merasakan pemberontakan dari dalam cawat. Syahwat, Ngon. Gawat!

Aku sungguh mensyukuri perjalanan ini berlangsung dalam kemisikinan. Betapa aku bersyukur atas yang tak kupunya. Bayangkan, Ngon, jika lembar-lembar rupiah dalam ATM-ku bukan titipan dari orang-orang yang percaya dengan rencana masa depanku, entah berapa zina yang kuukir di kamar inap tanah Betawi. Entah berapa khianat yang akan segera bersanding dengan kebohonganku kepada istri. Aku tak sanggup membayangkan betapa berat mereka yang berpunya membendung pemberontakan dari dalam cawat.

Hari ini kunyatakan penghormatanku yang mendalam pada mereka yang punya banyak uang dan kesempatan tetapi tak menganggap seks sebagai sesuatu yang dapat dibeli. Aku masih teringat seorang yang kupanuti, Sujiwo Tedjo namanya. Beruntung sekali aku menonton Indonesia Lawyers Club yang diputar di tvOne pada malam yang sudah kulupa detailnya itu. “Orang yang menganggap seks bisa dibeli, tidak bisa menjadi pemimpin. Seks koq beli… apa enaknya…?!” begitu katanya, Ngon.

Ini ungkapan luarbiasa. Cobalah kau ulas dalam benakmu, Ngon. Kalau ungkapan ini kita tarik ke dalam diri masing-masing, bukankah tiap kita adalah pemimpin bagi diri masing-masing?! Bagi engkau yang telah mencapai kebijaksanaan, mungkin itu hal yang klise, Ngon.

Ke manapun aku melangkah selama di Jakarta, pemandangan serupa mengurungku dalam sebuah ujian berat di kancah hasrat. Begini macamlah dunia di luar tempurungku yang bernama Aceh. Sungguh, aku merasakan sensasi berbeda dengan membanjirnya paha sebagai pemandangan harian. Aku tak suka memikirkan betapa murah dan mudahnya mereka menggelar pemandangan indah yang penuh makna bagiku, sungguh. Bukan itu. Demi Tuhan yang melintasi semua agama dan keyakinan; aku justru menghadapkan diriku dalam sebuah persiapan mahkamah pikiran yang kali ini bernama Mahkamah Peradilan Paha.

Tak berani aku menjadikan diri sendiri sebagai Hakim Mahkamah Paha, Ngon. “Tak seorangpun boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri”. Aku ingat tulisan itu dari sebuah sticker bonus TTS tahun ’80-an yang menempel di pintu Bireuen Express, bus antarkota dalam provinsi. Kemudian, Fakultas Hukum Unsyiah mengajarkanku hal serupa. Aku tak akan menggunakan jasa pokrol. Aku akan menjadikan diri sendiri sebagai pokrol, meski hal demikian adalah selemah-lemah pembelaan.

“Tuan Hakim nan Mulia, izinkan hari ini aku mengakui bahwa katak dalam tempurung Aceh ini telah melihat Batavia sebagai sebuah pelajaran berharga. Pelajaran yang harus kupahami melalui hukuman. Aku mengakui kecabulan pikiran dalam menilai anugerah Illahi semata dalam bingkai prasangka berahi. Kuharap, Tuan Hakim nan Mulia bersedia menghukumku dengan penalti yang seberat-beratnya. Demikian pengakuan ini, semoga dapat menjadi pendukung ancaman putusan yang akan Tuan Hakim nan Mulia hempaskan atasku sebagai penebus semua salah.”

Hakim Ketua menatap empat Hakim Anggota lainnya. “Saudara Diyus Hanafi, Anda dinyatakan bersalah karena telah mendangkalkan makna paha, dengan ini Majelis Hakim Mahkamah Paha menjatuhkan hukuman !@!@###$%%^%^&&***& v#$$%^&%^*&^ %&^%&^%&^ ^*^&*^&*^&* ^*&^&*^*&^895982340975 *^*^&^).” Dok… dok… dok…!!! Lututku bergetarrr (dengan tiga huruf ‘r’), Ngon. Aku bersujud penuh syukur pada Illahi dan menghaturkan terimakasih pada lima hakim yang bersedia menderaku dengan hukuman yang pantas.

“Terimakasih atas kesempatan menjalani tanggungjawab atas kesalahan yang telah saya lakukan dari Majelis Hakim yang terhormat. Aku menerima keputusan ini sebagai kehormatan dan anugerah. Apa jadinya hidupku, jika tak dapat menebus dosa.”

***

Ngon, berita baiknya, aku telah makin terlatih menghadapi paha dan tetap berusaha mengistimewakan sepasang saja. Jakarta telah menjadi wilayah studi spiritual dan religiusku, Ngon. Kau boleh menertawakan ini sesukamu. Aku serius, Ngon. Aku bahagia mendapat kesempatan mengevaluasi makna ketahanan iman di sini. Tak salah jika ia menjadi Ibukota Indonesia, Ngon. Sebab, ujian terberat isi cawatmu ada di sini. []

DIYUS HANAFI, Warga Banda Aceh


DISCLAIMER: Materi yang dimuat pada Warga Menulis sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak mengedit materi sepanjang tidak mengubah isi dan substansi. []

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.