Thursday, March 28, 2024
spot_img

Statistik “Ngopi Mahram”

Statistik “Ngopi Mahram”

Saiful Mahdi*

Model-model sosial-ekonomi baru menunjukkan eratnya hubungan antara demografi dan kekerasan. Struktur umur penduduk adalah salah satu determinan penting pada banyak masalah sosial dan ekonomi. Pengangguran pada kelompok usia poroduktif, misalnya, secara empiris punya kaitan dengan prilaku kekerasan—dalam perang, pasca-konflik, konflik sumber daya alam (SDA), termasuk konflik dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).  Kaitan ini, walaupun tidak sederhana dan otomatis, semakin penting untuk dikaji. Karena itu makin banyak perhatian terhadap struktur umur demografis dalam kaitannya dengan kekerasan, terutama di negara sedang berkembang (Cramer, 2010).

Aceh, dan Indonesia secara umum, sedang mengalami “bonus demografi” dimana rasio mereka yang dalam usia produktif (14 s.d. 64 tahun) dibandingkan dengan yang dalam usia non-produktif sedang berada pada titik terendah. Dengan kata lain, rasio ketergantungan sedang rendah-rendahnya. Namun berada dalam usia produktif belum tentu dalam keadaan produktif. Keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya kapasitas untuk bisa produktif menyebabkan bukan hanya masalah pengangguran tapi juga masalah sosial-ekonomi lainnya.

Demografi dan kekerasan di Aceh

Untuk Aceh yang merupakan wilayah pascakonflik, keadaan lebih genting lagi. Tiga puluh tahun konflik, disusul deraan mega-bencana Tsunami 2004, telah banyak merusak sistim sosial-ekonomi wilayah ini. Struktur umur penduduk Aceh yang sampai Sensus 2000 menunjukkan arah menuju pertumbuhan penduduk stabil, kembali mengalami pelebaran pada dasar piramida hasil Sensus 2010.

Pada tahun 2016, struktur penduduk Aceh yang berjumlah 5,1 juta jiwa menunjukkan dasar piramida yang makin lebar dengan kelompok usia terbesar adalah penduduk usia 0-4 tahun (balita), diikuti kelompok umur 5-9 dan 10-14 tahun. Besarnya kelompok penduduk usia muda ini, selain karena telah berakhirnya konflik, juga karena ada faktor penggantian (replacement) dengan terjadinya fenomena “baby boom” pasca Tsunami 2004. Fenomena ini terutama jelas terlihat di wilayah yang paling parah terkena dampak tsunami, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat (Mahdi, 2017).

Kelompok balita, anak-anak (0-4), remaja (5-14 tahun), dan kelompok usia lanjut bisa menjadi “triple burden” (beban berganda) yang membutuhkan pelayanan khusus untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonominya. Beban ini umumnya kita anggap hanya ditanggung keluarga. Tapi sebenarnya mereka bisa jadi beban kita semua. Lebih khusus lagi, mereka seringkali jadi beban perempuan. Kebiasaan dalam masyarakat kita, ketiga beban ini seringkali kali harus dipikul perempuan: nenek, ibu, istri, menantu perempuan, hingga anak dan cucu perempuan.

Jika para laki-laki sehat secara fisik, mental, sosial, budaya, dan ekonominya, beban berganda itu dan aneka beban hidup lainnya ditanggung bersama dalam keluarga. Kakek-nenek, bapak-ibu, suami-istri, anak-menantu saling bahu-membahu menghadapi tantangan dan beban keluarga yang ada. Juga menikmati kemudahan dan kebahagiaan bersama.

Namun seringkali, para lelaki dianggap cukup dengan memastikan tersedianya nafkah ekonomi untuk keluarga. Seorang bapak, suami, menantu laki-laki seolah menjaga dan terjaga martabatnya hanya dengan kekuatan ekonomi. Namun bagaimana kalau nafkah ekonomi juga terbatas bahkan tidak mampu diberikan? Di situlah bencana mulai terjadi. Perempuan rentan jadi korban kekerasan fisik dan mental.

Dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi, 15,92% dibadingkan dengan rata-rata Indonesia pada 10,12% di tahun 2017, pekerjaan yang tersedia sangat terbatas untuk laki-laki, apalagi perempuan. Kalaupun ada pekerjaan, seringkali tidak semua produktif apalagi berkualitas. Pekerjaan produktif artinya pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan di atas garis kemiskinan. Pekerjaan berkualitas tentu saja lebih baik lagi.

Bila faktor kemiskinan dimasukkan dalam perhitungan ketersediaan lapangan kerja, defisit lapangan kerja produktif di Aceh ada pada angka 490.716, sekitar 21,44% dari angkatan kerja pada tahun 2017 Ini artinya, 1 dalam setiap 5 orang dalam angkatan kerja di Aceh adalah pengangguran atau “pekerja miskin”, yaitu pekerja yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Para laki-laki pun rentan terhadap gangguan jiwa. Minimal stress karena memikirkan martabat yang hilang di tengah masyarakat yang kian hedonis, menilai semuanya dengan materi!

Karena itu, walaupun angka pengangguran terus menurun, pemerintah Aceh perlu terus memperkuat usaha penyediaan lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi, walaupun tetap positif, stagnan pada sekitar 4% dalam delapan tahun terakhir. Pertumbuhan berada pada 4,14% pada tahun 2017, menurun dari 4,27% di tahun sebelumnya. Sementara itu, pertambahan penduduk usia produktif terus terjadi. Mereka, khususnya para pemuda dan rumah tangga muda, perlu lapangan kerja produktif.

Menurut Urdal (2004), jumlah orang muda yang banyak di tengah keadaan ekonomi yang buruk, dapat meningkatkan resiko terjadinya konflik dengan kekerasan. Aceh sedang dan menuju pada keadaan yang mengkhawatirkan dengan bertambahnya kelompok usia muda dalam struktur penduduknya, lapangan kerja yang masih terbatas, kemiskinan yang masih tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.

Potensi kekerasan karena alasan sosial-ekonomi tersebut makin besar dalam konteks Aceh pasca-konflik. Harapan terhadap “peace dividend” atau “manfaat/keuntungan damai” terlalu besar dibandingkan dengan kenyataan yang tidak begitu menjanjikan. Bukan hanya mereka yang terlibat konflik yang berharap pada keadaan yang lebih baik, tetapi juga mereka yang tidak terlibat konflik secara langsung. “Jameun ka hek berjuang, pakon jinoe tetap hana uang?” seolah jadi pembenar untuk menuntut hak tanpa mau hek (bersusah payah). Padahal perdamaian justru berarti mulainya kerja keras baru, bukan berhentinya kerja keras perang di masa lalu.

Kemiskinan & kekerasan terhadap perempuan

Memahami kekerasan terhadap perempuan pasca-konflik di Aceh, karena itu, perlu diletakkan dalam konteks sosial-ekonomi Aceh paling mutakhir, termasuk dengan melihat “setan dalam demografi” (the devil in the demographics). Dalam insiden kemiskinan, sebagai contoh, perempuan paling banyak mengalami kekerasan. Bukan hanya sebagai “korban” atau “penyintas” yang harus bertahan dalam deraan kemiskinan, tapi karena kemiskinan itu sendiri adalah seringkali wujud kekerasan terstruktur negara dan atau struktur masyarakat pada perempuan.

Di Pidie, misalnya, jumlah perempuan paling banyak dalam struktur penduduknya dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain, ditandai dengan rasio-jenis kelamin 93,73. Artinya, setiap terdapat 100 penduduk perempuan, ada hanya 93-94 orang laki-laki. Ini bisa jadi karena kebiasaan merantau bagi laki-laki dalam tradisi masyarakat Pidie. Bisa juga karena banyaknya mortalitas penduduk laki-laki selama konflik yang berarti banyak janda korban konflik di Pidie. Dengan kemiskinan di Pidie yang mencapai 21,43% (BPS, 2017), jauh di atas rata-rata Aceh dan nasional, maka perempuan makin rentan pada deraan kemiskinan. Juga rentan pada kekerasan karena kemiskinan itu.

Perempuan kepala rumah tangga adalah korban nyata kekerasan sosial-ekonomi yang kita sebut “kemiskinan”. Insiden kemiskinan memang secara empiris makin tinggi di kalangan rumah tangga yang kepala rumah tangganya perempuan. Karena dalam masyarakat kita, kepala rumah tangga perempuan seringkali berarti kepala rumah tangga tunggal berjenis kelamin perempuan. Ini bisa terjadi karena ditinggal mati atau ditelantarkan oleh suaminya.

Kaitan antara dampak konflik, kemiskinan, dan karena itu, kekerasan terhadap perempuan berlanjut di wilayah-wilayah yang pernah menjadi hot-spot selama tiga puluh tahun konflik Aceh. Banyak kecamatan di Bireuen seperti Jeunieb, Peudada, Juli, Jeumpa, dan Peusangan adalah kecamatan dimana paling banyak rumah tangga paling miskin yang kepala rumah tangganya perempuan.

Statistik “ngopi mahram”

Jumlah perempuan yang lebih banyak dalam struktur penduduknya juga terlihat di Kabupaten Bireuen. Rasio jenis kelaminnya 95,84 pada tahun 2016. Tertinggi kedua setelah Pidie jumlah komposisi penduduk perempuan dibadingkan laki-laki. Bedanya, jumlah perempuan justru lebih banyak dalam kelompok usia produktif di wilayah ini. Sebagai penduduk usia produktif, tentu makin banyak perempuan yang aktif dalam masyarakat. Terlihat banyak hingga ke warung-warung kopi!

Bireuen memang punya banyak kerentanan. Jumlah penduduk usia mudanya besar. Jumlah perempuan lebih banyak. Jumlah rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga perempuan cukup besar. Tingkat kemiskinan yang tinggi. Kesempatan kerja dan ekonomi yang terbatas.

Efeknya, premanisme dan kriminalitas, termasuk atas nama agama dan kesukuan mudah tersulut. Perilaku KKN di kalangan birokrasi pemerintahan dan ekonomi predatori pasca-konflik jadi pilihan instan. Ini bisa saja terjadi karena para lelaki yang sedang berburu uang dan materi untuk keluarganya. Untuk anak dan istrinya. Untuk perempuan?

“Lantas, kenapa para perempuan justru ketawa-ketiwi di warung kopi?” mungkin fikir sebagian yang berada di balik surat edaran “ngopi mahram” bupati Bireuen. “Ini pertanda akhir zaman!”

He..he…jangan-jangan pengaturan terhadap perilaku perempuan berbasis syariat Islam di Bireuen dan di wilayah lainnya dipicu karena masalah kependudukan. Karena “perempuan terlihat lebih banyak di ruang publik” sementara ekonomi sedang sulit? Tentu saja perempuan akan terlihat dimana-mana lebih sering di Bireuen karena jumlah perempuan memang lebih besar! Terus kalau itu pertanda “akhir zaman” apa bisa dengan meminta mereka hanya berada di sumur-dapur-dan-kasur saja?

Mari melihat data dan fakta. Menurut Ibnu Al Haitsam, penemu metode ilmiah yang hingga kini dipakai semua ilmiawan di seluruh dunia, “Untuk mencari kebenaran, singkirkan opini manusia. Biarkan alam, data, dan fakta berbicara.”

Selamat Hari Statistik Nasional. Diperingati setiap 26 September.

*Saiful Mahdi, S.Si., M.Sc., Ph.D adalah dosen pada Jurusan Statistika, FMIPA, Universitas Syiah Kuala dan Ketua Koalisi Indonesia untuk Pembangunan dan Kependudukan (KK) Wilayah Aceh.

Saiful Mahdi
Saiful Mahdihttp://semuabisakena.jaring.id
Pembelajar di Jurusan Statistika FMIPA Unsyiah, ICAIOS, dan The Aceh Institiute. Pernah jadi kerani di PPISB Unsyiah. Belajar banyak di Phi-Beta Group dan pengagum AcehKita.com. A Fulbright Scholar, an ITS, UVM, and Cornell alumn.

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU