Friday, March 29, 2024
spot_img

Syiar dalam Syair Aceh

 

“Allahu Allah Allahu Rabbi. Bek dilee neubri kiamat donya. Umat manusia cukup that lalei. Ditinggai sembahyang dengoen puasa.”

Lantunan syair itu menggema dari pengeras suara meunasah di gampong saban malam Jumat. Setelah beberapa tahun absen di beberapa gampong di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, kini kembali rutin digelar.

Dalail Khairat, begitu syair itu disebut. Dilantunkan sejumlah orang –termasuk anak kecil– selepas salat Isya berjamaah. Mereka duduk bersila di tikar membuat lingkaran kecil. Sebagian memakai peci dan sarung.

Dalail khairat merupakan budaya zikir yang sudah lama berkembang di Aceh. Tidak diketahui pasti sejak kapan budaya ini pertama kali masuk ke Aceh. Dalail khairat ini digunakan sebagai alat untuk berzikir dan memuji sang Maha Pencipta.

Takdir Feriza, putra Aceh yang menjadi qari internasional ini sudah mempelajarinya sejak kecil.

Lon meureuno wate jak beut baroe jeh (Saya belajar saat dulu pergi mengaji),” kenang Takdir.

Menurut Takdir, saat ia belajar mengaji, dalail wajib dilantunkan oleh semua santri laki-laki. Tak heran sampai sekarang ia masih sering diundang untuk menjadi syeh dalail atau likee di berbagai kesempatan.

“Karena sudah terbisa dari kecil, saya masih ingat syairnya sampai sekarang,” kata Takdir sambil tersenyum.

Dalail berasal dari bahasa Arab, yaitu dalilun yang dapat diartikan sebagai dalil-dalil atau keterangan-keterangan. Sedangkan khairat berarti kebaikan. Jadi dalail khairat adalah dalil-dalil untuk kebaikan.

“Dalam dalail, ada banyak bacaan yang dibaca dan semuanya sudah dikumpulkan menjadi satu buku atau kitab kecil,” kata Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). “Kalau isinya ada asmaul husna (nama-nama Allah), salawat, doa, dan ada juga kasidahnya,” lanjut dia.

“Semuanya disampaikan dalam gaya irama yang bernuansa pantun atau nazam, ada dua atau tiga orang sebagai pemandu awal yang disebut syeh dan disahuti oleh yang lain yang hadir, dilantunkan dengan berbagai lagu irama seperti Aceh, India dan padang pasir sehingga menarik untuk didengar.”

***

Santri melafalkan dikee maulid di meunasah Tungkop Aceh Besar. | Foto: Khiththati/ACEHKITA.COM

Assubuhul bada minthala ‘atihi wallailu dajamiu wafaratihi. Subuhlah nyata lahirnya nabi, sempurnalah malam sempurna hari. Faqad rasula fadlan wa’ula adasubula lidalalatihi. Tinggilah rasul leubeh that manyang petunyuok jalan dalilnya nabi.

Kanzur qarama maulan ni’ami hadil umami li syar’atihi. Keuhdum mulia panghule nikmat peutonyok umat syariat nabi. Azkan nasabi alal hasabi kulul arabi fi qithmatihi. Sucilah bangsa manyang derajat dum ureung Arab jak sajan nabi.

Dalail sering kali dilaksanakan pada malam hari. Biasanya, tiap-tiap daerah memiliki ketentuan masing-masing,” ujar M Nur Daud, Imam Masjid Tungkop Aceh Besar.

“Di beberapa tempat, latihan dalail  dilakukan di meunasah, musala, masjid, dan balai-balai pengajian setiap malam jumat setelah shalat Isya,” sambungnya lagi.

Jumlah anggota tidak dibatasi, tergantung keinginan masyarakat yang mau bergabung tanpa ada batasan usia. Lama waktunya, ditentukan jumlah syair yang dilantunkan.

Kelompok dalail khairat ini, sering diundang untuk meramaikan pada acara pernikahan  dan perkabungan. Selain itu, dalail khairat juga ikut diperlombakan.

Tidak hanya diikuti oleh santri dayah yang sudah biasa dengan lafal dalail, tapi juga diikuti oleh kelompok-kelompok yang mewakili gampong-gampong.

Bacaan dalam dalail tidak hanya menggunakan bahasa Arab, tapi juga dipadukan dengan bahasa Aceh. Sebagaimana yang telah dikukuhkan dalam kitab kecil karangan Syeh Hasan Sajli.

Sehingga, yang mempelajarinya menjadi mudah. Ini merupakan bentuk dari perpaduan budaya Arab dan Aceh.

“Bisa membaca Alquran, pasti bisa mengikuti syair dalail,” tutur Takdir Feriza. “Karena yang dibaca dalam dalail itu, Alfatihah, salawat, doa minta ampun, ayat Kursi, asmaul husna, dan kasidah Burdah.”

“Pada orang meninggal, dilakukan pada malam kesebelas, kelimabelas atau 44. Dimulai setelah doa samadiah, dengan peserta tidak terbatas. Lama waktunya bisa mencapai dua jam lebih,” lanjutnya.

Menurut Takdir, pada saat lomba, pesertanya dibatasi sepuluh sampai duabelas orang. Waktunya pun terbatas, hanya 30 menit. Sesuai ketentuan dewan juri dan panitia.

Karena kepandaian dan suara merdu yang dimilikinya dalam melantunkan syair-syair dalail, Takdir sering ditunjuk sebagai syeh. Kelompok dalail mereka juga sering dipanggil saat ada pesta perkawinan dan orang meninggal. Tapi, mereka tidak pernah meminta bayaran.

“Walaupun seperti grub musik tapi tidak ada bayaran khusus, paling ya ikut makan saja,” tutur dia, sembari membacakan beberapa syair yang dihafalnya.

“Saati sajaru nataqa hajaru saqhal qamarubi isyaratihi. Sujutlah kaye meututoe bate bekahlah buleun isyarat nabi. Jibrilu ata lailatal asra wa rabubul da’ahul li khadratihi.  Jibrilah neu jak bak malam isra’ Tuhan geuyue jak sajan nabi.”

“Kadang-kadang, dalam dalail diselipkan bacaan-bacaan likee atau dikee, namun bukan berarti dalail ini sama dengan dikee atau likee maulid, karena kalau yang di maulid itu khusus,” kata Badruzzaman Ismail.

Likee itu dibacakan saat interval atau waktu istirahat membaca dalail, ada istilahnya bertolak sambut yang saling menunjang, jadi saat dalail yang panjang itu di selanya dibaca likee, itu hiburan saya saat kecil,” kenang dia.

Likee maulid biasanya diselenggarakan di meunasah gampong pada hari kenduri maulid di tempat tersebut. Mereka datang berkelompok dan membaca syair bersama yang pimpin oleh seorang syekh atau syahi.

Likee atau dikee maulid, hanya ada ketika kenduri maulid Nabi Muhammad yang dilaksanakan pada bulan Rabiulawal, tahun hijriah. Isi likee maulid menceritakan sejarah kelahiran Nabi Muhammad yang dibaca dalam kasidah dan tharih seperti yang ada dalam kitab Bazanji,” papar M Nur Daud.

“Selesai pelaksanaan salat Zuhur mereka sudah bersiap dan nanti berhenti sebelum Asar,” tambahnya.

Lirik likee ini biasanya memuat tiga hal: pertama sejarah kelahiran Nabi Muhammad Saw, kedua puji-pujian kepada Rasulullah, dan ketiga adalah salawat yang dilantunkan dengan syair-syair yang indah. Sehingga tak jarang dulu likee ini diperlombakan.

Budaya meulikee sudah masuk sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Ketua Majelis Adat Aceh Badaruszaman menyakini budaya meulikee masuk ke Aceh dibawa oleh kaum muslim berkebangsaan Turki Usmani. Kerajaan Turki dan Aceh memang sudah memiliki hubungan diplomatik yang cukup lama.

“Sebenarnya likee maulid hanya ada ketika empat bulan perayaan maulid itu di Aceh, karena yang membuat likee maulid berbeda dengan likee pada umumnya adalah dengan sejarah kelahiran Nabi Muhammad yang kemudian disyairkan,” tutur Badruzzaman.

Kitab dalail khairat. | Foto: Khiththati/ACEHKITA.COM

“Dua blah Rabiulawal nabi geutanyoe lahee. Abdullah ayah, Siti Aminah ibu. Lahe di Mekah, di Madinah di sinan gob nyan kubu.”

Likee maulid menjadi salah satu bagian penting dalam syiar Islam di Aceh. Rimanya yang dibuat semenarik mungkin mengundang banyak pendengar. Melalui pengeras suara mereka yang mempersiapkan hidangan kenduri di rumah juga bisa menikmatinya.

“Sigohlom kenduri supot jih aleh Leuho na likee bak meunasah yang bisa jih diundang dari gampong laen (Sebelum kenduri sorenya setelah salat Zuhur ada likee di meunasah yang biasanya diundang grup likee dari desa lain),” cerita Muklis salah seorang warga Aceh Besar sambil tersenyum.

Menurut Muklis, saat kenduri maulid diselenggarakan di kampungnya ada grup dari kampung lain yang diundang dan biasanya masih dalam satu mukim.

“Kalau panitia atau pemuda kampung waktu itukan harus mempersiapkan hidangan dan tempat kenduri pada sore harinya, sehingga kelompok lain yang diundang,” kata Muklis.

“Ini juga merupakan ajang silaturrahmi seperti semangat yang ada di maulid itu sendiri sehingga nanti bisa juga gantiaan saat acara kenduri dilakukan di kampung yang lain,” lanjutnya.

“Mereka nantinya setelah berhenti sebelum azan Asar akan melanjutkan dengan makan bersama juga setelah salat berjamaah.”

“Masih ada lagi yang sudah jarang saya dengar yaitu, meurukon. Saya senang kalau maulid kadang kadang ada gampong yang ada likee maulidnya begitu juga dengan dalail khairat,” kata warga lainnya, Dahriani.

Jika sesekali mendengarnya, Dahriani merasa kembali terbawa ke masa kecilnya yang sering melihat meulikee pada setiap acara di kampungnya.

Panggung di samping meunasah Tungkop bergerak sedikit. Di atasnya sudah duduk beberapa lelaki melingkar. Sesekali mereka mengeleng-gelengkan kepala. Dipandu seorang syahi, rapai dipukul mengiringi syair yang mereka lantuntan dengan pengeras suara.

Itu pertanda nanti sore kenduri maulid akan digelar di halaman meunasah. Dan warga sudah bisa mempersiapkan hidangan kenduri dengan segera.

Nabi tanyoe tan meulempo, tiep-tiep malam uroe, geuseumenget pih gob nyan tan, seupanjang uroe silama-lama.

Lalei-lalei geutanyoe lalei, hana ta thei geutanyoe ka tuha, oek ka puteh dum bak ulee, hana tateume com tika musala. Allahu Allah–Allahu Rabbuna, Allahu Allah–Allahu Hasbuna.[]

Baca Tulisan Lainnya

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Stay Connected

0FansLike
21,903FollowersFollow
24,400SubscribersSubscribe
- Advertisement -

TERBARU